Opini

Kerusakan Lingkungan Melalui Legitimasi Hukum

Pencemaran lingkungan dan legitimasi hukum

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Pexels

Pencemaran lingkungan merupakan kondisi di mana terjadinya kontaminasi atau perubahan komponen fisik maupun biologis, dari sistem bumi dan atmosfer yang mengganggu keseimbangan ekosistem lingkungan.

Melihat kondisi kini, Bumi tengah banyak terjadi aktivitas yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab hingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak negatif pada ekosistem lingkungan sekitar.

Secara konstitusional hak atas lingkungan hidup telah secara tegas diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan salah satu hak asasi manusia. Sehingga dalam konteks ini siapapun yang melakukan aktivitas yang menyebabkan terjadinya kerusakan dan atau pencemaran terhadap lingkungan hidup harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.

Kerusakan maupun pencemaran lingkungan hidup pada dasarnya mengakibatkan terjadinya beberapa fenomena alam, misalnya banjir. Itu dapat dilihat dari kondisi saat ini, khususnya di Samarinda dengan sering terjadinya banjir yang tak lain diakibatkan kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup. 

Kerusakan ini terjadi akibat aktivitas oknum yang tidak bertanggung jawab seperti aktivitas pertambangan yang terus membabat hutan. Saat ini kondisi Samarinda cukup mencemaskan karena lebih dari separuh, yaitu 38.814 hektar dari 71.823 hektar luas kota, telah menjadi tambang batu bara.

Fenomena ini tentu mencemaskan kondisi kota kita saat ini karena hal tersebut telah menjadi ancaman terhadap lingkungan hidup yang ada di Kota Samarinda. 

Dari uraian di atas, apa yang menjadi kaitannya kerusakan lingkungan dengan legitimasi hukum? Secara normatif pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengembangkan daerahnya dengan menetapkan sejumlah peraturan untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah.

Berbicara masalah tambang yang kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan harus diberikan sanksi secara tegas untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.

Namun, yang menjadi titik permasalahannya adalah ketidaktegasan dalam menegakkan hukum untuk menindak pelaku tambang ilegal, yang terjadi malah dibiarkan begitu saja oleh aparat penegak hukum. 

Sehingga hal ini secara tidak langsung para penegak hukum melegalkan aktivitas oknum tersebut. Fakta tersebut sangatlah disayangkan karena pada dasarnya suatu aturan hadir untuk kesejahteraan masyarakat yang kemudian ditegakkan untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi setiap orang. 

Di sisi lain kebijakan yang dikeluarkan atau aturan yang ditetapkan oleh pemerintah malah menjadi peluang bagi oknum-oknum untuk memperkaya diri sendiri yang menyebabkan terjadinya kerusakan maupun pencemaran terhadap lingkungan hidup.

Salah satu contoh nyata yang kita jumpai saat ini adalah undang-undang yang dibuat untuk kepentingan oligarki dan perizinan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 

Oleh karena itu, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus betul-betul melakukan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan dan perlu adanya kekritisan masyarakat dalam menghadapi fenomena tersebut serta gerakan bersama untuk melawan setiap aktivitas oknum yang tidak bertanggung jawab atas kerusakan pun pencemaran lingkungan hidup.

Harapannya para pejabat juga harus betul-betul menggunakan kekuasaan sesuai dengan hukum yang berlaku khususnya dalam pemberian izin usaha pertambangan serta penegakan hukum harus diberlakukan bagi siapapun yang melakukan pelanggaran khusus untuk tambang ilegal yang saat ini banyak terjadi di Kalimantan Timur. Hal ini dimaksudkan agar ke depannya tidak terjadi kerusakan lingkungan hidup yang kian parah.

Opini ditulis oleh Dede Wahyudi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.



Kolom Komentar

Share this article