Opini

Di Bawah Langit yang Sama: Mengapa Mentari Terbit Lebih Sulit di Mata Perempuan?

Perempuan bekerja lebih keras karena pajak waktu dan bias struktural yang belum terselesaikan

Sumber Gambar: Pexels

Opini ini bukan tentang meniadakan peran laki-laki, melainkan menantang struktur yang diam-diam memihak. Ini adalah ajakan untuk melihat lebih dalam; di era modern ini, perjuangan untuk sekadar “terbit” dan bersinar bagi seorang perempuan sering kali harus melalui labirin ganda yang penuh rintangan tak terlihat.

Kesenjangan ini paling nyata dalam ranah ekonomi, di mana Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya sekitar 54 persen, jauh di bawah laki laki (sekitar 82 persen). Lebih provokatif lagi, kesetaraan bukan hanya masalah akses, tetapi juga penghargaan; kesenjangan upah rata-rata (Gender Pay Gap) mencapai 20 persen antara buruh perempuan dan laki-laki dengan kualifikasi setara.

Angka penurunan ini bukan cerminan kurangnya ambisi perempuan, melainkan bukti bahwa pasar kerja dan sistem dukungan sosial gagal mengakomodasi peran ganda yang dituntut masyarakat. Perempuan dipaksa memilih antara karier atau keluarga karena sistem tidak fleksibel. Sementara laki-laki tidak pernah dihadapkan pada dilema eksklusif ini.

Disparitas waktu ini bukanlah sekadar perbedaan hobi atau kecenderungan, melainkan sebuah "Pajak Waktu" yang wajib dibayar oleh perempuan. hal tersebut dikarena norma sosial yang patriarkal. Pajak waktu ini memiliki konsekuensi ekonomi dan profesional yang parah.

Pertama, ia menciptakan "kesenjangan waktu" yang fundamental yang mana perempuan memulai perlombaan karier dengan defisit jam kerja dan jam istirahat yang krusial. Kedua, pekerjaan yang tidak dibayar ini secara efektif menahan perempuan dari pasar kerja, atau membatasi pilihan karier mereka pada pekerjaan yang lebih fleksibel namun berupah rendah. 

Mentari terbit menjadi sulit karena perempuan harus sudah bangun jauh lebih awal dan bekerja sebelum mentari profesionalnya tiba. Hal tersebut membuat mereka kehabisan energi sebelum fajar. Partisipasi angkatan kerja perempuan menurun drastis setelah memiliki anak, bukan karena kurangnya kemauan, tetapi karena sistem tidak mendukung peran ganda yang mereka emban.

Taroreh dkk. (2023) Mengenai Prasyarat Karier: "Untuk meraih pekerjaan di luar rumah bagi wanita seringkali disertai persyaratan bahwa pekerjaan rumah seperti mengasuh anak, mengerjakan tugas-tugas rumah tangga harus beres terlebih dahulu, sementara hal yang sama tidak menjadi persyaratan bagi pria yang bekerja di luar rumah." 

Kutipan ini secara eksplisit mendukung argumen "Pajak Waktu" dan standar ganda yang menghambat perempuan.

Penulis percaya bahwa tesis ini bukan sekadar klaim akademis; realitas pahit yang dialami oleh ibu, saudara perempuan, dan rekan kerja kita setiap hari. Kita sering menggunakan frasa "langit yang sama" seolah-olah kesetaraan sudah menjadi kenyataan, padahal yang kita saksikan adalah langit yang bersekat dan berjenjang.

Sulitnya mentari terbit di mata perempuan, bagi penulis, bukan karena perempuan kurang gigih atau kurang ambisius. Sebaliknya, hal itu adalah bukti dari ketahanan luar biasa yang mereka miliki. 

Mereka tidak hanya berlari di lintasan yang sama dengan laki-laki, tetapi mereka berlari sambil membawa beban domestik yang tidak pernah dihitung dan harus berjuang melawan angin kencang bias struktural di setiap tikungan.

Kekecewaan terbesar saya terletak pada desain sistem itu sendiri. Mengapa kita merayakan kemajuan perempuan tetapi menolak untuk mendesain ulang tempat kerja, waktu cuti, dan ekspektasi sosial agar benar-benar setara? 

Kita mengharapkan perempuan menjadi pemimpin yang tegas dan berani (ciri yang dihargai di ranah publik), namun pada saat yang sama, kita menghukum mereka secara sosial jika mereka tidak lembut, mengayomi, dan berkorban (ciri yang dihargai di ranah domestik). Ini adalah jebakan yang tidak adil.

Mentari yang terbit menjadi sulit karena perempuan harus menghabiskan energi luar biasa hanya untuk menavigasi kontradiksi ini mereka harus selalu berusaha menjadi 'cukup' profesional tetapi tidak 'terlalu' ambisius, 'cukup' peduli tetapi tidak 'terlalu' emosional. Energi yang seharusnya digunakan untuk inovasi dan pencapaian, habis untuk mengelola persepsi publik.

Opini ini ditulis oleh Said Ahmad Aldahuri, mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP 2025



Kolom Komentar

Share this article