Berkah Mudik bagi Perekonomian
Ilustrasi mudik ke kampung halaman.
Sumber: backgroundcheckall.com
Mudik merupakan salah satu kearifan lokal Indonesia. Setiap tahun, arus mudik senantiasa melibatkan banyak lapisan masyarakat. Mulai dari presiden, para menteri, ketua DPR RI hingga buruh sekalipun hanyut dalam arus ini. Dengan banyaknya masyarakat yang terlibat, tidak dipungkiri tradisi ini berdampak luas terhadap beberapa sektor. Salah satunya ialah sektor ekonomi. Pada sektor ini, setidaknya ada tiga nilai positif yang diperoleh apabila tradisi mudik dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah.
Pertama, aktivitas mudik akan menciptakan redistribusi kekayaan. Pergerakan manusia dalam jumlah yang sangat besar tentu diikuti dengan pergerakan uang. Sehingga, tingkat perputaran uang yang besar dan cepat atau dalam teori ekonomi di sebut sebagai velocity of money akan mendorong produksi barang dan jasa terutama di sektor riil. Dengan demikian, aliran uang dari kota yang di bawa pemudik ke daerah-daerah dapat menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi regional. Tentu secara agregat bukan hanya uang cash yang dibawa, namun juga berupa barang-barang elektronik, pakaian, makanan dan sebagainya. Dengan jumlah arus mudik yang besar, dapat dipastikan redistribusi kekayaan dari daerah satu kedaerah lainnya atau dari satu individu ke individu lainnya akan terjadi.
Kedua, aktivitas mudik berdampak positif terhadap pembangunan infrastruktur. Mudik yang tiap tahunnya melibatkan jutaan masyarakat mestinya harus disuplai oleh infrastruktur yang memadai. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada Senin (6/5) menyatakan bahwa kondisi infrastruktur yang baik akan berpengaruh positif terhadap meningkatnya animo masyarakat untuk mudik lebaran. Oleh sebab itu, setiap tahunnya ada saja pembangunan atau pembaharuan infrastruktur publik oleh pemerintah. Misalnya seperti jalan tol, pelabuhan, rel kereta api, jembatan dan sebagainya. Efeknya tidak hanya dirasakan ketika musim mudik saja, namun akan berpengaruh positif bagi sektor ekonomi selepas arus mudik dan lebaran. Infrastruktur yang ada pasti akan dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Ketiga, mudik menjadi salah satu momen pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Tercatat data masyarakat yang mudik di 2017 berkisar 18,6 juta orang. Sementara di 2018, masyarakat yang mudik ada sebanyak 19,5 juta orang. Tahun ini diprediksi akan meningkat menjadi 23 juta orang. Dengan jumlah pemudik yang terus bertambah setiap tahunnya, secara agregat akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi. Jenis konsumsi berupa kendaraan bermotor, pakaian, makanan, biaya komunikasi dan sebagainya tentu akan meningkat.
Selain itu, naiknya volume kendaraan bermotor ketika mudik akan berbanding lurus dengan naiknya konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas'ud Khamid pada Senin (27/5) menyebut persentase kenaikan BBM diproyeksikan akan naik 15% rata-rata nasional pada arus mudik tahun ini. Hal itu juga tidak terlepas dari masifnya pembangunan infrastruktur berupa jalan tol yang ada di beberapa titik di pulau Jawa. Hal ini diprediksi akan melambungkan konsumsi BBM sebesar 30-40% dari tahun sebelumnya. Naiknya jumlah konsumsi BBM tiap tahunnya pada saat mudik lebaran akan berdampak positif terhadap pendapatan ekonomi nasional. Dari fakta ini, berarti mudik bisa dijadikan sebagai salah satu akselerator dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan berbagai geliat ekonomi yang terjadi pada saat mudik lebaran, seharusnya dapat memberikan kita pemahaman serta gambaran mengenai tradisi mudik yang ada di Indonesia. Karena selain beberapa hal di atas, tentu masih banyak lagi dampak dari adanya tradisi mudik yang perlu dikaji dari berbagai sudut pandang.
Namun, para pemudik harus tetap berhemat dan berjaga-jaga dengan kondisi ekonominya. Buatlah perencanaan keuangan yang matang, baik sebelum maupun sesudah mudik lebaran. Hal ini dilakukan agar pengeluaran pada saat mudik lebaran dapat terkontrol, dan tidak berada pada titik klimaksnya. Mari, kita berharap perekonomian dapat tetap bugar dan tidak lesu kembali pasca mudik lebaran.
Ditulis oleh Pandu Fazri Harmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis.