Tulisan Dandhy dan Kekerasan pada Masa Megawati

Tulisan Dandhy dan Kekerasan pada Masa Megawati

SKETSA - Pembantaian Rohingya di Myanmar masih jadi isu yang diperhatikan saat ini. Itu memancing Dandhy Dwi Laksono, jurnalis senior sekaligus pendiri rumah produksi WatchdoC, menuliskan kritikannya di halaman Facebook pribadinya.

Dandhy menyandingkan  Aung San Suu Kyi, Penasehat Negara Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian 1991, dengan mantan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Tak disangka, argumen yang ia sampaikan justru dipolisikan oleh Abdi Edison, Ketua Dewan Pengurus Daerah Relawan Perjuangan Demokrasi (DPD Repdem) Jawa Timur, sebuah organisasi sayap PDIP Perjuangan.

Pada Rabu (6/9) pekan lalu, Dandhy dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri.

“Apakah ini semata sikap reaksioner sekelompok partisan politik yang memanfaatkan ‘pasal-pasal karet’ dalam UU ITE dan KUHP, atau sebuah varian represi baru bagi kebebasan berpendapat tanpa mengotori tangan dan citra kekuasaan,” kata Dandhy seperti dikutip dari tirto.id.

Hingga kini kasus Dandhy masih bergulir. Argumen di tulisan Dandhy sebenarnya sedang menilik track record Megawati yang ia anggap punya kesamaan dengan Suu Kyi: mengenai omongan dan janji perdamaian, namun yang terjadi malah sebaliknya.

Jika Suu Kyi memilih bungkam saat genosida terjadi di Rohingya oleh kelompok Buddha garis keras dan itu fakta, maka kekerasan di Aceh dan Papua di masa kepemimpinan Megawati juga adalah fakta.

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bergolak di Aceh pernah mendapat respons kuat dari Megawati yang saat itu telah menjabat presiden. Pada 18 Mei 2003 Megawati mengutus 30.000 tentara dan 12.000 polisi turun ke Aceh, operasi militer ini kelak dikenal dengan sebutan "Operasi Terpadu". Puluhan ribu militer datang untuk mengurusi sekitar 5.000 orang yang tergabung di dalam GAM.

Hasilnya tak main-main, berdasarkan catatan Amnesty International, tercatat 200.000 orang Aceh tinggal di kamp pengungsian, 2.879 anggota GAM tewas sejak Mei 2003, dan 147 warga sipil kehilangan nyawanya selama Mei 2003-Februari 2004.

Masih menurut Amnesty International, pihak militer Indonesia banyak mencurigai kaum muda laki-laki yang dianggap sebagai anggota GAM tanpa pernah tahu apakah yang ditangkap adalah kombatan atau bukan. Tahu-tahu saja dipenjara, lalu dibunuh. Begitu juga dengan kekerasan seksual yang dialami perempuan ketika Operasi Terpadu ini terjadi.

Lalu di Papua, saat itu belum genap empat bulan Megawati di kursi istana, 11 November 2001 terjadi pembunuhan pemimpin Papua Theys Eluay oleh Kopassus seperti yang dicatat KontraS dan Elsam.

Menyusul kemudian serentetan kejadian lainnya. Penembakan istri dan anak Johanis G. Bonay dari orang yang tak dikenal, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM Papua, pada Desember 2002. Sebanyak 42 orang meregang nyawa karena kelaparan, pada saat pemindahan penduduk secara paksa di 25 kampung, dikenal dengan nama Tragedi Wamena-Wasior. Hingga meninggalnya Munir Said Thalib, aktivis HAM terkenal pada 7 September 2004.

Sebetulnya jauh sebelum kejadian di atas terjadi, dalam pidato 29 Juli 1999, usai kemenangan partainya di pemilihan umum pertama selepas Orde Baru, Megawati berkata: “Kepada kalian, saya akan berikan cinta saya, saya akan berikan hasil 'Arun'-mu, agar rakyat dapat menikmati betapa indahnya Serambi Mekah bila dibangun dengan cinta dan tanggung jawab sesama warga bangsa Indonesia."

Tak lama berselang ia kembali melanjutkan dengan: “Begitu pula yang akan saya lakukan buat saudara-saudaraku di Irian Jaya dan Ambon tercinta. Datangnya hari kemenangan itu tidak akan lama lagi, saudara-saudara." (asr/wal)