Kembalikan Militer ke Barak: Demokrasi Digembosi oleh Pemimpin Bertangan Besi

Kembalikan Militer ke Barak: Demokrasi Digembosi oleh Pemimpin Bertangan Besi

Sumber Gambar: Ilustrasi dari Muhtada Billah Doa Syafaat

Ada sebuah negeri di mana kebebasan adalah mitos, ketakutan menjadi mata uang politik, dan demokrasi tidak lebih dari perhiasan yang ada di pajangan etalase kekuasaan. 

Di sini, seragam loreng bukan sekadar pakaian, melainkan lisensi untuk memerintah. Mereka yang berbicara terlalu lantang akan disuruh diam. Mereka yang melawan akan lenyap dalam senyap sejarah yang dibuat-buat.

Konon, tentara adalah penjaga bangsa. Mereka disebut tembok pertahanan, perisai rakyat. Namun, sejarah berkata lain. Dari Romawi Kuno hingga junta militer modern, tentara tidak pernah puas dengan sekadar menjaga. Mereka ingin mengatur. Mereka ingin berkuasa. 

Di Romawi, para jenderal lebih sering naik tahta daripada melindungi rakyat. Di era perang dunia, nasionalisme picik digerakkan oleh mesin perang. Perang dingin ketika dua moncong besar beradu perkasa. Namun itu bukan hanya tentang rudal dan spionase, tetapi juga tentang militer yang mengontrol isi perut dan pikiran rakyatnya. 

Korea Utara adalah puncak eksperimen saat negara dikuasai militer yang warganya hanya boleh berpikir dalam garis komando. Thailand pun tak jauh berbeda, dengan kudeta sebagai tradisi yang diwariskan.

Para ahli sudah lama membunyikan alarm kritis. Michel Foucault menulis tentang bagaimana disiplin dan hukuman menjadi alat kendali. Ia melukis panjang dengan teorinya bahwa seringkali kebenaran adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah kebenaran. 

Di sisi lain, Samuel Huntington membongkar bagaimana militer selalu mengintai kesempatan untuk berkuasa, dan sebaiknya di negara-negara demokrasi, kembalikan militer ke baraknya. 

Hannah Arendt memperingatkan kita bahwa totalitarianisme lahir dari kontrol mutlak—dan militerisme adalah pion terbaiknya. 

Dalam konteks Indonesia, militer sudah lama berjalan. Dari Orde Lama hingga Orde Baru, militer selalu punya tempat di tampuk kekuasaan. 

Pada zaman Soekarno, mereka adalah wasit dalam kekacauan politik. Sebagaimana yang dimaksud oleh Alm. Salim Said yang menulis Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi Abri bahwa dimulainya dwifungsi adalah era Soekarno. 

Selain mengundang kontroversi, dengan kemerdekaan yang baru bertumbuh, tentu ketegangan politik dalam-luar negeri dipertimbangkan. Sehingga ini untuk jalur mitigasi dari gangguan yang hendak kembali menguasai bekas koloninya. 

Ini merupakan pertimbangan yang dimatangkan oleh A.H Nasution pada 1958 dengan konsep "jalan tengah" agar alat negara atau Dwifungsi ABRI memiliki dua fungsi, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban negara serta pembinaan masyarakat dan pembinaan wilayah.

Di Era Soeharto, melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 yang diklaimnya diserahkan oleh Soekarno, sehingga secara de facto ia menapaki kekuasaan pemerintahan. Sikap militer begitu kental, mereka menjadi pemain, wasit, sekaligus pemilik lapangan. 

Semua gol harus atas nama mereka. Militer berubah wujud menjadi lebih superior ketika secara resmi diterapkannya Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969. Menduduki posisi penting di pemerintahan, mulai dari eksekutif, legislatif hingga sektor strategis lainnya adalah perubahan konsep Dwifungsi ABRI. 

Secara praktis, ungkapan atas nama kepentingan bangsa dan pembangunan nasional beberapa sektor di isi oleh pasukan bersenjata. 

Tiba di reformasi, lautan massa menuntut turunnya rezim Soeharto yang otoriter dan korup. Dari berbagai lapisan masyarakat, sebagian terdiri atas kalangan mahasiswa. Mereka datang dengan lantang menyuarakan untuk mengembalikan sistem demokrasi yang seutuhnya.

Namun, runtuhnya rezim Orde Baru yang berkuasa 32 tahun ini dengan bedil, pentungan dan senjata, suara itu harus dibayar mahal dengan darah, kekerasan, kebengisan bahkan penculikan aktivis oleh ABRI. 

Apakah betul setelah runtuhnya rezim otoriter, bahkan setelah reformasi, sisa-sisa hegemoni itu masih hidup? 

Deretan nama seperti Wiranto, Luhut dan tentu Prabowo adalah bukti masih eksisnya mereka dalam pemerintahan. 

Alih-alih sejarah mengutuk mereka, justru sebagian masyarakat lupa akan peran-peran mereka yang bertangan besi. Bahkan Prabowo menjadi Presiden hari ini yang belum diadili dengan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Selebihnya mereka masih eksis, sebab memiliki tanah berhektar luasnya, bisnis, perusahaan. 

Kini, dengan revisi UU TNI, telah diketuk palu pada 20 Maret 2025 oleh parlemen di Senayan, yang sebelumnya digeruduk oleh tiga aktivis yang menjadi sorotan media sosial. 

Mereka berteriak dengan mengatakan "TOLAK RUU TNI" ketika berlangsungnya rapat tertutup di Fairmont Hotel, Jakarta Pusat. Tentu kebijakan ini sangat sukar melihat prosesnya yang kilat dan menghilangkan transparansi serta kurangnya partisipasi publik.

Kekhawatiran mencuat dengan spekulasi mengembalikan dwifungsi. Ini menjadi anasir yang serius dengan mengutarakan pertanyaan, apakah kebijakan ini untuk kepentingan rakyat banyak atau kepentingan segilintir kelompok? 

Sebab mereka melompat batas pagar-pagar yang telah disusun dalam UU nomor 34 tahun 2004 dengan semangat reformasi.  Penunjukkan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet dan Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Staf Khusus Panglima TNI (untuk penugasan sebagai Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Bulog). 

Ini merupakan preseden ke depan bahwa mereka ingin lebih dari itu dengan memperluas kembali posisi di pemerintahan sipil.

Bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa militer akan melindungi rakyat sipil, ketika sejarah menunjukkan hal sebaliknya. 

Dalam sejarah di berbagai belahan dunia mengajarkan "militer tidak pernah cukup dengan satu kemenangan dan dominasi militer ranah sipil hanya akan menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan”.

Myanmar pada 1962 dan 2021 adalah pengulangan sejarah paling brutal, di mana penggunaan intervensi militer dalam pemerintahan sipil melalui dominasi dan jabatan strategis—tentara datang, demokrasi pergi. 

Di Turki sebelum tahun 2000-an, pemerintahan sipil hanyalah boneka para jenderal. Sehingga intervensi dan kudeta pun terjadi pada 1965 dengan ditandai digantinya perdana Menteri oleh Jendral Cemal Gursel yang merupakan seorang militer. Di Indonesia pada Orde Baru, era Soeharto dan pasukannya membantai 400 ribu hingga 1 juta warga sipil Indonesia. 

Kita hidup dalam cerita Marsinah, Wiji Thukul, Munir dan para tokoh yang lantang bersuara kebenaran, namun dibungkam, diberangus dan hilang berpulangan nama. 

Dalam perspektif ini, militerisme acapkali dikatakan sebagai ideologi penindas yang bukan hanya urusan politik, tapi juga merasuk ke dalam lapisan sosial, ekonomi, serta budaya. Pertanyaannya kemudian, jika militerisme telah masuk ranah sipil, bagaimana kira-kira hal tersebut berdampak di beberapa sektor?

Sejarah telah banyak membuktikan, bahwa hal pertama yang dirasakan tentu dampak sosial karena sifat militer adalah bergerak dengan komando. Maka, untuk negara demokrasi seperti Indonesia merupakan hal yang berbahaya. Sebab, akan ada upaya-upaya represi dan intimidasi terhadap suara-suara yang mengkritisi pemerintah. 

Dari hal ini timbul masalah baru, yaitu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Penculikan, kekerasan terhadap sipil, hingga pembunuhan merupakan hal yang pernah terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM akibat militerisme di bumi Nusantara telah memberikan trauma kolektif yang berkepanjangan. 

Walaupun Era soeharto dikatakan pembantaian paling intensif sejak Nazi. Namun, sampai sekarang pun masalah-masalah HAM di Indonesia sangat tidak mudah untuk dituntaskan dan masih belum menemukan titik yang benar-benar terang.

Di sektor ekonomi tentu akan terdampak dengan kehadiran militer di ranah sipil. Sebelum RUU TNI disahkan, Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun 2025 Kementerian Pertahanan sebesar Rp166,26 triliun, berbanding terbalik dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, yaitu Rp 57,68 triliun dan Kemenkes yang hanya Rp 105,64 triliun. 

Dari hal tersebut dapat diketahui alokasi anggaran lebih banyak diperuntukkan untuk pertahanan, seperti penambahan kodam berjumlah 22 yang akan tersebar di berbagai Provinsi. Ini tentu tidak sejalan dengan perintah konstitusi yang fokus pada  pendidikan dan kesehatan yang semestinya merupakan prioritas, namun menjadi second choice dalam Anggaran Negara tahun 2025. 

Ancaman korupsi dan nepotisme juga tidak terelakkan, hal ini sejalan dengan yang disampaikan Anne Krueger dalam teorinya, Rent-Seeking, militer sebagai aktor dominan dapat menggunakan kekuasaan untuk mengamankan keuntungan monopoli tanpa menciptakan nilai tambah. Hal ini bisa menyebabkan terhambatnya persaingan dan inovasi karena dapat merusak produktivitas nasional.

Dan sisi lain adalah budaya, yakni identitas nasional dipaksa seragam. Propaganda berjalan tanpa henti, penuh kontrol dan pengendalian. Dalam politik, demokrasi hanya ada sejauh diperbolehkan oleh mereka yang menenteng senjata di bawah ketiak pemerintahan.

Kenapa pendekatan kali ini dipilih? Dalam banyak kasus, yang diutarakan adalah kelemahan pemerintahan sipil yang ditandai dengan korupsi dan inefisiensi birokrasi sebagai pembenaran untuk melibatkan militer dalam pemerintahan. 

Tapi, menurut Alfred Stepan dalam Rethinking Military Politics (1988) bahwa bukan alasan kegagalan sipil untuk memberikan ruang keleluasaan pada militer, melainkan momentum memperkuat institusi demokrasi melalui reformasi struktural. Seperti memperkuat Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga ini adalah logika yang berbahaya.

Dari studi PBHI (2025) memberikan temuan terkait keterlibatan militer dalam birokrasi sering diikuti oleh intimidasi dan penyalahgunaan wewenang. Jika kita membaca buku Il Principe karya Machiavelli adalah ketakutan itu menguntungkan. 

Ketika rakyat takut, mereka patuh. Ketika mereka patuh, mereka mudah dikendalikan. Samuel Finer memperingatkan kita bahwa militer, ketika diberi sedikit kuasa, akan selalu menginginkan lebih. Jadi, tak sedikit kita akan mendengar dalih "stabilitas".

Lalu dari semua yang telah terjadi, apakah kita akan terus hidup dalam ketakutan? Atau sadar untuk berjuang demi negara demokrasi yang kita inginkan selama ini? 

Semua berada di tangan kita, jika demokrasi ini ingin terus hidup, sadarlah bahwa kita akan dijajah oleh bangsa sendiri. Kita akan kembali melakukan perang kata, tenaga, hingga nyawa. 

Tidak perlu takut sebab Bung Hatta pun meyakini bahwa demokrasi yang dijiwai oleh masyarakat yang majemuk tak akan sirna begitu saja, asal bangsa kita mau belajar dari kesalahannya dan berpegang kembali kepada ideologi negara yang berjiwa murni. 

Demokrasi yang mati suri akan bangun kembali ketika rakyat betul-betul menghargai nilai-nilai tersebut. Kemerdekaan telah diraih, bukan lain dan tak bukan adalah sumbangsih rakyat revolusioner. 

Revolusioner akan selalu ada di benak rakyat entah muda ataupun tua, laki-laki ataupun perempuan. Sebab, perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia senantiasa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur. Dalam pengertian "Berdaulat" UUD 1945 tertulis bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat.

Opini ini ditulis oleh Mario Jonathan Imaat dan Ismail, mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Unmul 2022