Sumber Gambar: Website Kompasiana
Dewasa ini isu perubahan iklim kian akrab di telinga. Bahkan ia sudah mengakrabkan diri dengan anggota tubuh lain melalui banjir yang menggenang kaki, serta hujan tak tentu yang kerap membasahi badan. Sampai-sampai saya berpikir untuk menentang dua pertiga isi puisi Sapardi yang berjudul "Hujan Bulan Juni". Bahwa yang lebih bijak dan arif daripada hujan bulan Juni ialah hujan bulan Agustus, September, Oktober, November dan Desember.
Bulan-bulan yang dalam ingatan masa kecil saya, seharusnya kering dan panas sebagai siklus pergantian musim hujan. Ia menghapus jalan dan rumah-rumah dengan banjirnya. Ia juga menggenang dengan tenang karena tidak ada yang menyerapnya. Kebijaksanaannya terletak ketika ia hanya mengirimkan banjir sedemikian dalam ketimbang menghanyutkan kita sama sekali. Kearifannya berwatak ketika ia menggenang dalam waktu yang cukup untuk kita berkontemplasi kenapa ia tidak pergi lebih cepat.
Walaupun perubahan iklim adalah fenomena global, adanya hal-hal yang telah saya sebutkan juga difasilitasi oleh fenomena lokal. Apa yang telah terjadi, seperti deforestasi massal, bukan sesuatu yang bisa kita kembalikan seperti mengkombinasikan tombol Ctrl + Z. Belum terhapus dari ingatan generasi Baby Boomer, terutama yang tinggal di pesisir sungai Mahakam, tentang banjir kap.
Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan fenomena di mana ribuan bahkan jutaan batang kayu yang dihanyutkan di Sungai Mahakam sebagai bagian dari eksploitasi besar-besaran hasil kayu. Kayu dihanyutkan demi efisiensi transportasi. Kayu dihanyutkan dari hulu, dikumpulkan di hilir, lalu dimudikkan entah ke mana.
Keuntungan dibagi kepada mereka yang berpartisipasi. Mulai dari birokrat pemerintahan hingga pekerja di lapangan. Banyak anggota generasi Baby Boomer yang menjadi “Orang Kaya Baru”. Dari situ pula, Generasi Milenial dan seterusnya menjadi OKB, “Orang Kebanjiran Baru”, karena banjir yang semakin meluas akibat berkurangnya lahan resapan air hujan.
Masih segar pula di ingatan saya pada awal tahun 2022 silam, perihal sekelompok bapak-bapak di Melak Ilir, Kutai Barat yang bersaksi bahwa banjir yang baru saja terjadi di akhir tahun 2021 merupakan banjir terbesar yang pernah mereka alami. Padahal lingkungan mereka berada sekitar satu hingga dua meter lebih tinggi dari air sungai jika dalam kondisi wajar. Di satu sisi memang agak sedih mendengarnya. Namun di sisi lain adalah suatu ironi ketika orang yang hidup dengan menyaksikan pembabatan pohon secara brutal malah kebingungan ketika lingkungannya kebanjiran diakibatkan air yang bingung ingin pergi ke mana.
Hal tersebut dimungkinkan terjadi, menurut Seyyed Hossein Nasr dalam buku “Krisis Spiritualitas Manusia Kontemporer”, karena adanya keterceraian Manusia dengan alam. Alam diperlakukan hanya sebagai data yang menyelimuti profit. Objek siap eksploitasi dan komoditas siap olah oleh siapapun yang memiliki modal. Padahal alam adalah ciptaan Tuhan yang diadakan untuk mendampingi dan menyokong kehidupan manusia.
Sebagai gantinya, diwajibkan pula bagi manusia untuk menjaga dan mengapresiasinya sebagai bentuk penghambaan kepada Tuhan. Namun hubungan itu seakan ditalak dua oleh manusia. Manusia berpaling dari kewajibannya tetapi masih ingin menikmati apa yang disediakan oleh alam.
Ketimpangan berakar ketamakan yang akan berujung pada kehancuran kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, bukan suatu kesalahan jika ada yang mengatakan bahwa bencana ekologis adalah “azab dari Tuhan”. Seakan Tuhan menegur manusia agar bisa “rujuk” kembali dengan alam agar keduanya selamat dari kehancuran total.
Nenek moyang kita juga tahu akan pentingnya menjaga relasi antara manusia dengan alam sekitarnya. Hal tersebut mereka simpan melalui memori kolektif dalam bentuk sastra lisan yang kaya akan makna.
Sebagai contoh, mitologi “Temputn” masyarakat Dayak Benuaq dan Tunjung tentang penciptaan alam dan seisinya. Dalam mitologi mereka, langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantaranya diciptakan oleh para roh agung demi memberi tempat tinggal untuk keluarga sepasang kekasih, Imang Mengkelayakng dan Lolang Kintang.
Mitologi tersebut menggambarkan alam dan seisinya tidak hanya sebagai gestur kekuasaan para roh agung, tetapi juga sebagai bentuk perhatian dan cinta mereka teruntuk sepasang kekasih tersebut.
Penciptaan alam dan seisinya pun tidak terjadi dalam sekejap melainkan sebuah usaha berskala besar yang memerlukan kerja gotong royong selama beberapa masa serta penuh, baik secara metafor maupun literal, pengorbanan para roh agung. Di dalam objek-objek hasil penciptaan langit dan bumi itulah bersemayam keturunan Imang Mengkelayakng dan Lolang Kintang.
Dengan demikian penghormatan terhadap alam tidak hanya dipandang sebagai pelestarian ekologi, namun juga sekaligus upaya menghubungkan diri dengan kosmos yang dicipta dan diisi oleh para roh agung. Sebaliknya, pengrusakan terhadap alam tentu saja berbanding lurus dengan perilaku penghinaan sekaligus desakralisasi terhadap kosmologi yang begitu kompleks. Sekiranya juga tak layak bagi manusia untuk bersikap tamak pada hal yang disebabkan oleh rasa cinta dan dibangun dengan penuh kasih dan pengorbanan.
Sebagaimana halnya kita tidak perlu membakar tangan demi mengetahui panasnya api, kita juga tidak perlu menunggu puncak akibat perubahan iklim demi memvalidasi fenomena tersebut.
Banyak penelitian ilmiah yang telah memprediksi dampak perubahan iklim dengan memperhatikan apa-apa saja yang sedang terjadi seperti banjir, curah hujan yang tak menentu, pencairan es di dua kutub Bumi, dan sebagainya. Berbagai ajaran keagamaan maupun kepercayaan spiritual pun, sejak jauh-jauh hari, telah menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dengan alam.
Kendati demikian, ketamakan manusia nampaknya masih berada di puncak klasemen penguasa dunia. Rujuknya kita dengan alam hanya bisa terjadi ketika kita meninggalkan orang ketiga yang terwujud dalam sifat tamak.
Memang susah mengakui kesalahan, apalagi menjadi pihak yang pertama menyebabkan masalah kemudian menjadi pihak pertama yang mengulurkan jabatan tangan permintaan maaf. Tetapi itu jauh lebih baik dilakukan sekarang ketimbang di kemudian hari.
Barangkali alam masih mau menyambut jabat tangan kita ketimbang mengacungkan jari tengah karena dendam yang tak terucapkan.
Opini ini ditulis oleh Zain Aqil Hidayat, mahasiswa Prodi Sastra Inggris FIB Unmul sekaligus Koordinator Laboratorium Intelektual Humanawa