Standar Kehidupan yang Terbawa dari Bacaan AU

Standar Kehidupan yang Terbawa dari Bacaan AU

Sumber Gambar: Pexels

Genre fiksi saat ini sangat digemari oleh pembaca di Indonesia. Berdasarkan data yang diambil dari databoks, sebanyak 75 persen pembaca di Indonesia memilih genre fiksi. Angka ini tentu sangat besar dibanding genre nonfiksi yang hanya mencapai 41 persen. Hal ini didukung dengan jumlah jenis bacaan fiksi yang semakin banyak dan kian berkembang.

Saat ini terdapat jenis bacaan fiksi, yaitu Alternate Universe (AU) yang tengah digemari anak muda, dari anak sekolah hingga mahasiswa.

Bacaan AU merupakan semacam cerita bersambung atau cerita pendek yang lebih banyak dituangkan melalui bubble chat. Cerita ini dibuat dengan dimensi yang berbeda dari yang seharusnya. Misalnya, seorang personel boy group asal Korea Selatan menjadi mahasiswa Unmul.

Mengonsumsi bacaan fiksi semacam ini bukanlah suatu tindakan yang salah, sebab bacaan fiksi melatih imajinasi seseorang untuk membayangkan kejadian di cerita dalam bentuk nyata di kepala. Sekali lagi, hanya dalam kepala.

Nyatanya, sepanjang yang penulis amati, pembaca fiksi saat ini mulai menerapkan hasil bacaan fiksi mereka di kehidupan nyata. Tindakan seorang tokoh di dalam cerita menjadi standarisasi dalam menilai seseorang.

Katakanlah, saat ini terdapat standar “typing ganteng”, mengirim pesan dengan huruf awal tidak kapital, tidak terlalu menyingkat kata, dan lain lain. Typing ganteng ini, terbentuk setelah AU ramai diperbincangkan.

Standar semacam ini seharusnya dihindari. Memang, fenomena terbawa suasana saat membaca tidak dapat dihindari. Apabila membaca cerita cinta, misalnya tentang seorang kakak tingkat dengan adik tingkat yang jatuh cinta saat masa orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek). Apalagi jika kakak tingkat itu adalah personil BTS. Kita jadi ingin memiliki hubungan seperti itu.

Namun, membentuk sebuah standar bahwa seseorang di kehidupan nyata harus sama seperti yang ada di dunia fiksi merupakan hal yang keliru. Pembentukan standar ini akan mengakibatkan hidup kita menjadi tidak realistis.

Bayangkan saja, jika ada seorang perempuan dewasa yang membentuk standar lelaki impiannya adalah laki-laki anak motor yang mengirim pesan tanpa memakai huruf kapital dan kemana-mana memakai jaket kulit hitam. Hal ini akan sangat merepotkan karena tidak semua lelaki di Indonesia selalu berpenampilan seperti anak geng motor, dan tidak semua lelaki bisa menulis pesan tanpa huruf kapital.

Hal ini bukan sebagai diskriminasi terhadap pembaca setia AU. Hanya saja, perlu bijak memilih dan realistis dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sehingga tidak terlalu membentuk standar kehidupan yang sama dengan dunia fiksi.

Opini ini ditulis oleh Ai Nasyrah Nurdea, Mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia, FIB 2022.