Batu Hitam: Harga dari Kemajuan?

Batu Hitam: Harga dari Kemajuan?

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

"Ini yang terakhir," tuturku di dalam hati (Lagi-lagi aku berbohong), seperti janji si penguasa yang kadang tidak utuh. Mulai kuketik beberapa kalimat di laptop tua, lalu menyelipkan sebatang rokok di sela jemari, mencari inspirasi yang kadang hadir di antara kepulan asap dan secangkir kopi.

Pesut-pesut itu sudah mulai naik ke daratan dalam bentuk patung-patung, lukisan, dan dongeng kakek kepada cucunya. Tidak lagi di perairan sungai yang mungkin tersingkirkan oleh pendatang baru, si ikan besar yang berenang perlahan dengan "batuan hitam" di punggungnya. Mereka bilang, "ini harga yang dibayar untuk kemajuan”. Tapi, siapa yang membayarnya, ikan-ikan kecil? atau sungai yang sekarat? Sudahlah toh kalian juga menikmatinya hahaha ….

Waktu kian berlalu. Asap rokok telah menggelung-gelung ke udara. Kepulan putih itu mereka bilang membahayakan pernapasan, ayat-ayat yang lebih sering terdengar dibandingkan teriakan para buruh.

Berbicara soal ayat aku teringat pada seonggok mayat, yang hak-haknya dirampas hanya karena perbedaan pendapat. Sepenggal pertanyaan muncul dibenakku, mana yang lebih berbahaya, asap rokokku atau asap racun dari pabrik-pabrik batu hitam itu? Mungkin sama berbahayanya.

Di Benua etam, dahulu aliran sungai mengalir jernih membawa kisah pesut dan mitos nenek moyang. Syahdan, airnya berganti menjadi keruh dan asam hingga kian parah mengusir ikan pergi. Tak ada ikan, tak ada nelayan.

Di jantung dunia, tempat burung enggang dan orangutan bergelantungan kini menjadi padang gersang. Jika Homo Erectus berhenti bergelantungan karena evolusi, dorongan adaptif untuk mencari makan dan bertahan hidup. Nasib miris dialami orangutan, mereka tidak lagi bergelantungan, bukan karena untuk bertahan hidup, namun pijakan mereka sudah berganti rupa menjadi danau asam mematikan. Bukan karena pilihan tapi pemaksaan.

Cakrawala tak lagi cerah, kelabu dari pagi hingga magrib tiba. Di balik itu, lirih nyanyian adat tak lagi bersahut, teredam gemuruh mesin dan gurauan buruh. Pohon berganti bendera perusahaan.

Melarung menjadi penghubung antara manusia dan alam, namun kini tersisa cerita mulut ke mulut. Hasil alam diserahkan kepada arus sungai dengan harap kebaikan, namun kini bukan itu, melainkan limbah tambang yang dilarungkan. Tak ada lagi melarung doa, berubah menjadi racun.

Korban telah jatuh, laut tak lagi berisi, warga pindah kampung, yang bertahan harus siap berhadap-hadapan dengan abu dan debu. Sementara elit masih berdebat soal kebutuhan listrik dan berusaha tetap mendirikan pembangkit listrik berbahan bakar batubara.

Kini, saatnya kita bertanya: Apakah kemajuan harus dibayar dengan kerusakan lingkungan dan penderitaan manusia? Apakah kita rela mengorbankan masa depan demi keuntungan sesaat?

Aku diselimuti kebimbangan, menulis ini sembari merokok, di bawah remang lampu yang entah darimana sumbernya. Mungkin dari batu hitam yang diam diam kusalahkan. Apakah aku sedang melawan? Atau aku hanya seorang perokok murung, menggugat sambil menikmati hasilnya.

Aku sampai pada kesimpulan, asap kretekku akan hilang dihembus angin, tapi asap racun itu akan terus menghantui kita.

Rokokku telah tandas, tinggal abu dan kenangan yang menempel di ujung jari. Kepulan terakhirnya melayang, seperti harapan-harapan yang terhempas di ladang-ladang tambang.

Ah, barangkali aku harus ke warung mencari sebatang lagi, sebab tulisan ini belum rampung. Masih banyak luka yang belum sempat diceritakan, masih ada bau belerang yang belum sempat kusematkan di kalimat.

Tunggu sebentar ... aku kembali, membawa asap baru untuk menyulam cerita yang sama.

Opini ini ditulis oleh Zul Fahmi, mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unmul 2023