
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Ketika mendengar kata Roblox, sebagian orang mungkin menganggapnya hanya gim sederhana untuk anak-anak. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Roblox menjelma menjadi fenomena sosial budaya lintas usia. Dari balita yang baru mengenal dunia digital, anak sekolah dasar, remaja, hingga dewasa, banyak yang larut dalam ekosistem virtual ini.
Roblox kini bukan sekadar permainan, melainkan platform yang menghadirkan pengalaman sosial, ekonomi, bahkan spiritual.
Fenomena Roblox menarik karena mampu menembus sekat kehidupan nyata. Di dalamnya, kita tidak hanya menemukan mini game lucu dengan karakter Blocky, tetapi juga konser musik band lokal, komunitas kreatif yang membangun dunia virtual, bahkan ruang dakwah yang dijalankan penceramah.
Semua hal tersebut menegaskan Roblox menjadi cermin bagaimana manusia menggunakan teknologi untuk memperluas ruang interaksi.
Awalnya, Roblox identik dengan anak-anak yang memainkan gim kasual di ponsel atau laptop. Kini, platform ini berkembang menjadi ruang kreatif terbuka. Pengguna tidak hanya bermain, tetapi juga dapat menciptakan gim mereka sendiri dengan Roblox Studio. Di sinilah daya tarik utama Roblox, ia memosisikan pemain bukan hanya sebagai konsumen, melainkan juga kreator.
Banyak remaja bahkan orang dewasa belajar dasar-dasar coding dan desain melalui Roblox. Kreativitas ini menjadikannya laboratorium digital yang mempertemukan imajinasi dengan teknologi.
Tidak heran, Roblox digandrungi lintas generasi. Anak-anak menyukainya karena simpel dan imut, remaja menjadikannya ruang ekspresi, sementara orang dewasa ikut nimbrung untuk nostalgia, melepas penat, atau belajar membuat gim.
Intinya, Roblox membuat orang bukan sekadar pemain, melainkan kreator yang bisa mendesain item, membuat gim, bahkan menjual karya mereka.
Salah satu fenomena paling menarik adalah bagaimana Roblox menjadi panggung alternatif industri musik. Sejumlah band dan musisi lokal pernah menggelar konser virtual di dalam platform ini. Konser tersebut bukan sekadar hiburan, melainkan eksperimen budaya digital.
Para musisi menjangkau audiens baru, terutama generasi muda yang akrab dengan dunia virtual. Pengalaman yang ditawarkan pun interaktif, penonton bisa bergerak bebas, berdansa, atau berinteraksi dengan avatar lain. Konser di Roblox menghadirkan musik yang lebih inklusif, tak perlu tiket mahal, cukup masuk server untuk merasakan atmosfer konser dunia.
Lebih mengejutkan lagi, Roblox kini juga dimanfaatkan sebagai ruang dakwah. Beberapa penceramah menggunakan platform ini untuk menyampaikan pesan moral dan keagamaan, terutama kepada generasi muda.
Fenomena tersebut menunjukkan adaptasi dakwah di era digital. Jika dulu ceramah hanya bisa diakses di masjid, majelis taklim, televisi, atau YouTube, kini hadir pula di dunia virtual. Roblox, dengan jutaan penggunanya, menjadi medium baru untuk menjangkau digital native.
Tak hanya itu, fenomena unik juga muncul di kalangan mahasiswa. Di Unmul misalnya, ada server Roblox yang meniru suasana GOR 27 September Unmul lengkap dengan atribut almamater di dalamnya. Mahasiswa memanfaatkan server ini untuk bermain, bercengkerama, dan berkomunikasi. Hal ini menegaskan bahwa Roblox benar-benar mampu menghadirkan ruang sosial alternatif, bahkan di lingkungan akademik.
Tentu saja, keberadaan dakwah dan komunitas kampus di Roblox juga memunculkan diskusi. Di satu sisi, ini inovatif karena mampu menyentuh audiens muda. Di sisi lain, muncul pertanyaan etis: Sejauh mana ruang bermain anak sebaiknya diisi dengan konten religius atau politik, dan bagaimana memastikan pesan yang disampaikan sesuai konteks?
Bagaimanapun juga, hal tersebut menegaskan bahwa Roblox sudah berkembang menjadi “miniatur dunia” yang isinya bukan sekadar hiburan, tetapi juga nilai dan ajaran hidup.
Kehadiran konser musik, dakwah, dan komunitas kampus menunjukkan Roblox sebagai ruang sosial baru. Orang tidak lagi hadir hanya untuk bermain, melainkan juga mencari identitas, komunitas, dan pengalaman kolektif. Hal ini sejalan dengan teori bahwa dunia digital kini menjadi perpanjangan kehidupan nyata. Apa yang dulu dilakukan di lapangan, aula, atau gedung konser, kini bisa dipindahkan ke ruang virtual. Dengan kata lain, Roblox membentuk masyarakat miniatur di dunia digital.
Namun, perkembangan ini juga menghadirkan tantangan. Anak-anak yang terlalu lama larut dalam Roblox berisiko mengalami kecanduan digital. Interaksi sosial mereka bisa terjebak dalam dunia maya sehingga mengurangi hubungan nyata dengan keluarga dan teman sebaya. Peran orang tua penting untuk mengarahkan penggunaan Roblox agar tetap seimbang.
Roblox juga memiliki mata uang virtual bernama Robux. Banyak anak meminta orang tua membeli Robux untuk skin, item, atau mengikuti acara eksklusif. Hal ini membuat Roblox menjadi “ekosistem kapitalisme kecil” yang memperkenalkan anak pada transaksi digital sejak dini.
Di sisi lain, peluang ekonomi kreatif terbuka lebar. Banyak kreator meraih pendapatan dari gim atau item yang mereka desain. Roblox pun menjadi ruang konsumsi sekaligus produksi.
Budaya yang lahir dari Roblox pun unik. Ada bahasa gaul khas, komunitas solid, dan tren yang cepat menyebar. Roblox menciptakan identitas budaya digital yang memengaruhi cara anak, remaja, bahkan orang dewasa berinteraksi.
Jika dilihat lebih jauh, Roblox kini menyerupai ruang publik virtual tempat orang berkumpul, berdiskusi, bersenang-senang, hingga menyerap nilai baru. Dalam konteks ini, Roblox tak jauh berbeda dari media sosial, hanya saja lebih interaktif dan imersif.
Pertanyaannya: Bagaimana masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan menghadapi fenomena ini?
Pertama, perlu kesadaran bahwa Roblox bukan sekadar gim, melainkan media sosial. Edukasi digital kepada anak-anak harus dilakukan sejak dini agar mereka menggunakan Roblox secara sehat dan produktif. Kedua, lembaga pendidikan dapat memanfaatkannya sebagai media belajar kreatif. Daripada melarang, lebih baik mengintegrasikan potensi Roblox dalam pembelajaran digital, misalnya untuk simulasi atau proyek kolaboratif. Ketiga, masyarakat perlu beradaptasi menghadapi dinamika baru, ketika aktivitas, dakwah, musik, dan hiburan berpindah ke dunia virtual. Regulasi dan etika diperlukan agar ruang publik digital ini tetap sehat, aman, dan inklusif.
Roblox telah membuktikan dirinya sebagai fenomena budaya digital lintas generasi. Dari balita hingga orang dewasa, semua menemukan tempat di dunia blok virtual ini. Kehadirannya sebagai ruang bermain, bercengkerama, konser, hingga ruang dakwah menunjukkan betapa fleksibelnya platform ini mengikuti kebutuhan manusia.
Namun, kita juga perlu bijak. Jangan sampai tren ini hanya menjadi konsumsi tanpa kendali yang berujung pada kecanduan atau masalah sosial. Roblox bisa menjadi jembatan antara hiburan, kreativitas, dan spiritualitas—asal dimanfaatkan dengan penuh kesadaran. Seperti teknologi lain, Roblox hanyalah alat. Pertanyaannya bukan lagi “apa Roblox hanya gim anak-anak?”, melainkan “bagaimana kita memanfaatkannya dengan bijak?”.
Opini ini ditulis oleh Assyfa Maulida Dharma, mahasiswi Program Studi Sastra Inggris FIB Unmul 2024