Raja Inggris, Raja Jawa, dan Presiden Amerika

Raja Inggris, Raja Jawa, dan Presiden Amerika

Sumber Gambar: Pinterest

Akhir-akhir ini, percakapan di media sosial ramai dengan pembicaraan perihal 'Raja Jawa'. Beberapa puluh tahun lalu, pada November 1997 pembicaraan tentang Raja Jawa pernah dibawakan oleh WS Rendra di Taman Ismail Marzuki dalam sebuah pidato kebudayaan bertajuk 'Megatruh". WS Rendra membandingkan 'ruh' kekuasaan Raja Jawa dari masa ke masa dan membandingkannya dengan Kerajaan Inggris.

Sebagian dari kita mungkin sudah tahu legenda Kesatria Meja Bundar, sekumpulan kesatria yang dipilih oleh Raja Arthur. Di momen- momen tertentu, Raja Arthur akan memanggil mereka dalam sebuah meja bundar yang melingkar. Kesatria-kesatria Itu ada untuk menjadi penyeimbang kekuasaan Raja Arthur, memberi masukan bahkan mengkritisi sang raja. Oleh karena itu, dalam berbagai lukisan digambarkan bahwa kursi Raja Arthur sama tingginya dengan para kesatria. Lukisan itu menggambarkan posisi mereka yang setara dan tidak berada di bawah sang raja.

Dalam pidatonya, WS Rendra menggambarkan bagaimana legenda fiktif itu selaras dengan watak kekuasaan Raja Inggris di dunia nyata. Di tahun 1215 misalnya, Raja John menandatangani sebuah dokumen bernama Magna Carta. Berdasarkan dokumen tersebut, terbentuklah sebuah badan parlemen yang terdiri dari para baron-baron dari berbagai wilayah kerajaan di Inggris. Mereka kemudian bertindak sebagai 'pengawas' raja. Artinya, raja tak lagi berkuasa sepenuhnya.

Berbanding terbalik dengan raja-raja Jawa di periode yang sama. Dari Ken Arok hingga Panembahan Senopati, raja-raja Jawa adalah mereka yang berkuasa secara absolut. Titah raja adalah sabda Nabi, bahkan firman Tuhan yang tak bisa dibantah.

Kerajaan-kerajaan di Jawa dan berbagai daerah lain di nusantara telah runtuh. Berganti dengan sebuah republik (berasal dari kata 'res publica', yang berarti 'kepentingan publik') yang kita kenal sebagai Republik Indonesia. Namun, watak Raja Jawa itu masih bertahan. Mulai dari Soekarno yang sempat menasbihkan dirinya sendiri sebagai 'presiden seumur hidup', hingga Soeharto yang berkuasa selama tiga puluh tahun lebih lamanya.

Saat itu, setahun sebelum reformasi, WS Rendra membawakan pidato bertajuk 'Megatruh bukan tanpa alasan. Megat artinya memutus. Di situasi krisis di mana kekuasaan Soeharto berada di ujung tanduk, besar harapan WS Rendra agar berakhirnya kekuasaan Soeharto menjadi tonggak awal 'terputusnya' watak kekuasaan absolut raja-raja Jawa.

Reformasi telah sekian tahun berlalu. Presiden Indonesia tetap selalu berasal dari Jawa Termasuk Jokowi, yang awalnya diharapkan dapat menjadi megatruh itu, dengan keberadaannya yang berasal dari latar belakang sipil tanpa orang tua yang berasal dari kalangan elit tak seperti presiden-presiden sebelumnya. Namun, ia justru membangkitkan kembali mitos Raja Jawa itu.

Jika WS Rendra berbicara tentang Raja Inggris dan Raja Jawa, izinkan saya menambahkan tentang Presiden Amerika. Tepatnya Presiden Pertama Amerika, George Washington. Setelah dua periode kekuasaannya, la memutuskan tidak mencalonkan diri lagi dan kembali menjadi rakyat biasa. Padahal, belum ada konstitusi yang mengatur pembatasan dua periode kekuasaan presiden saat itu di Amerika. Namun ia sadar, la perlu memberikan pelajaran kepada generasi selanjutnya untuk membatasi kekuasaan, termasuk kekuasaannya sendiri.

Kontradiktif dengan Jokowi si Raja Jawa (atau lebih tepat saya sebut Mulyono?) yang sempat mewacanakan perubahan konstitusi agar dirinya dapat berkuasa untuk periode ketiga. Kita juga melihat bagaimana di Pilkada serentak ini, ia nyaris banyak membuat daerah berakhir dengan kotak kosong dengan mengkonsolidasikan berbagai partai hingga hanya menyisakan PDIP. Secara waktu maupun ruang, ia berusaha keras untuk mempunyai kekuasaan yang mutlak.

Memberikan harapan ‘megatruh’ itu kepada pemerintahan selanjutnya (yang juga menang atas cawe-cawe Jokowi) tentu merupakan sebuah hal yang sangat naif. Namun pertanyaannya kini, apakah harapan 'megatruh' itu dapat diberikan kepada generasi muda, khususnya mahasiswa yang dalam beberapa tahun ini kembali turun ke Jalan berdemonstrasi? Apakah harapan memutus. 'ruh' watak kekuasaan yang absolut itu dapat terwujud?

Tanpa mengurangi sedikitpun apresiasi, izinkan saya menjawabnya dengan sedikit sinisme. Di kampus saya sendiri, Universitas Mulawarman, Pemilihan Raya BEM KM Unmul berakhir dengan calon tunggal. Dilakukan dengan kesengajaan hingga calon pesaing tak dapat mendaftarkan diri. Peristiwa itu berdekatan dengan cawe-cawe Jokowi di Pilkada serentak, yang (ironisnya) kemudian membuat mereka turun ke jalan.

Rekonsiliasi memang akhirnya telah terjadi. Calon pesaing itu akhirnya memimpin salah satu divisi di BEM KM Unmul (yang justru mengingatkan saya akan Prabowo yang menjadi Menteri Pertahanan setelah Jokowi mengalahkannya di 2019).

Namun tulisan ini dibuat memang bukan untuk membela atau menyerang pihak mana pun. Tulisan ini adalah 'peringatan darurat' bahwa jika kekuasaan dalam bentuk apapun tidak boleh mutlak dan absolut. Jika saat menjadi mahasiswa sudah membiasakan diri dengan cara-cara seperti itu, maka apa bedanya mahasiswa ini dengan kekuasaan yang mereka kritik?

Seperti kata pepatah lama itu, '’power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely'’.

Opini ini ditulis oleh Muhammad Al Fatih, Mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi FISIP Unmul 2022

Opini ini juga bisa dibaca di Majalah PDF Sketsa Edisi ke-44 

(Baca: Majalah PDF Sketsa Edisi ke-44)