Sumber Gambar: CNN Indonesia
Liberalisasi tidak akan pernah dapat dipisahkan dengan sistem ekonomi yang mengarah kepada sistem ekonomi kapitalisme. Saat ini, banyak sekali kita jumpai berbagai praktik liberalisasi di sektor kehidupan masyarakat. Seperti ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, hingga yang berhubungan dengan lingkungan masyarakat itu sendiri.
Hal ini menjadi sebuah hambatan dalam pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, karena terlalu dibatasi oleh keberadaan sistem yang tidak berpihak kepada masyarakat.
Dalam kondisi yang mengganggu di segala sektor bidang ini, kita dihadapkan dengan kebijakan pemerintah untuk membatasi seluruh aktivitas, guna memutus rantai penyebaran Covid-19. Namun, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak disertai dengan implementasi yang sesuai dengan aturan tersebut.
Hal ini jelas terlihat dari banyaknya kesempatan dalam 'kesempitan' yang dimanfaatkan pemerintah bersama DPR. Salah satunya meloloskan beberapa produk hukum dan kebijkan yang tidak pro terhadap rakyat. Misalnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara (RUU Minerba), RUU Mahkamah Konstitusi, dan RUU Omnibuslaw Cipta Kerja.
Tak hanya itu, baru-baru ini disahkan RUU Ibu Kota Negara (IKN) yang tidak memiliki urgensi bagi masyarakat. Hal yang menjadi perhatian bahwa isi dalam RUU tersebut masih banyak yang perlu direvisi.
Pemindahan IKN dari Jakarta ke Kaltim saat ini, tentu bukanlah sekadar wacana tanpa realisasi. Karenanya tepat pada 18 Januari 2022, RUU IKN disahkan menjadi Undang-Undang (UU) IKN oleh DPR. Hadirnya UU ini semakin menunjukkan keseriusan pemerintah terkait pemindahan IKN yang telah dimulai sejak 2019 lalu.
Realisasi pemindahan IKN ke Kaltim tentu membawa dampak yang signifikan pada setiap sektor yang ada, baik positif sampai dampak negatif. Namun, bila dikaji mendalam, pemindahan IKN ke Kaltim belum memunculkan urgensi, bahkan terkesan tak melihat kondisi saat ini.
Dengan biaya anggaran yang cukup besar, yakni mencapai angka Rp466,98 triliun dari dana APBN, swasta, dan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Bagi penulis, pemerintah seharusnya bisa turut memaksimalkan anggaran tersebut guna membantu masyarakat untuk melakukan pemulihan perekonomian yang cukup terganggu selama pandemi.
Akan tetapi pemerintah bersama DPR seperti enggan untuk melihat hal tersebut dan lebih memilih mengabaikan apa yang menjadi keinginan masyarakat secara keseluruhan.
Dampak pemindahan IKN memang akan banyak yang merugikan bagi masyarakat secara meluas. Karena dalam setiap sektor perkembangan dari liberalisasi akan sangat pesat. Hal ini muncul berkenaan dengan tidak meratanya pembangunan di Indonesia dan akan mengakibatkan pemerintah untuk berbenah dalam hal infrasturktur.
Dengan kondisi APBN Indonesia yang mengalami defisit sebesar Rp783,7 triliun untuk 2021. Tentu bukan hal yang wajar jika kita melihat dampak yang akan ditimbulkan selama proses hingga setelahnya. Sebab akan banyak sektor yang dikorbankan.
Bukan hal yang tidak mungkin, penganggaran bidang pendidikan yang mendapat porsi 20% dari APBN akan turut dikurangi. Mengingat kondisi defisit anggaran yang sangat besar. Jika hal ini benar terjadi, kondisi pendidikan yang masih sangat jauh dari harapan di Kaltim akan jadi taruhannya.
Tidak sedikit anak usia sekolah yang belum bisa menyentuh bagaimana nyamannya duduk belajar dengan rasa nyaman dan aman. Itu akan mengundang banyak permasalahan muncul karena liberalisasi akan masuk ke dalam sektor sektor pendidikan. Bahkan tak pelak, kemudian hari banyak sekolah yang memasang tarif dibanding dengan sekolah negeri.
Tak hanya sekolah, permasalahan ini juga berdampak bagi perguruan tinggi yang ada di Kaltim yang masih perlu dibenahi. Misalnya saja Unmul sebagai salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) yang ada di Kaltim.
Rencana pemindahan IKN di kaltim sangat disambut hangat oleh rektor Unmul. Rektor mewacanakan Unmul sebagai kampus yang berada di sekitar IKN dengan role model Universitas Indonesia (UI) yang ada di Depok. Dengan menjadikan UI sebagai role model, tentu Unmul juga akan mengikuti langkah UI untuk menjadi PTN-BH, yang artinya kampus akan secara sadar siap untuk melakukan aktivitas secara mandiri untuk melakukan pembiayaan rumah tangga kampusnya.
Persis dengan kondisi yang telah dijelaskan di atas bahwa, APBN selalu defisit. Hal ini diperkeruh dengan hutang negara yang sangat besar serta penganggaran IKN. Bagi PTN-BH, pihak kampus akan lebih leluasa mengeluarkan kebijakan guna melakukan pembiayaan rumah tangga kampus, yang tidak jarang memberatkan mahasiswa.
Contoh kebijakan yang dimaksud ialah kenaikan tarif uang kuliah tunggal (UKT) sedemikian rupa, yang lantas menjadikan Unmul sebagai pasar bebas melegalkan praktik liberalisasi pendidikan. Kehadiran liberalisasi pendidikan tinggi di Unmul sebenarnya sudah ada sejak lama melalui beberapa kebijakan yang ada.
Pertama, penerapan uang pangkal (sumbangan pengembangan institusi) di beberapa fakultas. Contohnya FKM, FK, dan FF. Kedua, mewajibkan setiap mahasiswa baru untuk membuat surat kesehatan dari klinik Unmul dengan tarif 100 hingga 200 ribu.
Ketiga, Unmul pernah mengeluarkan kebijakan almamater berbayar yang pada akhirnya ditolak oleh banyak mahasiswa. Keempat, kenaikan UKT di masa pandemi yang dikeluarkan kebijakannya melalui Peraturan Rektor Nomor 2 tahun 2021.
Opini ditulis oleh Dandi Wijaya, mahasiswa Peminatan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum 2017 Unmul.