SKETSA - Menjadi satu bagian kehidupan sebuah negara, politik tak henti disorot. Bisa dibilang, kokoh tidaknya negara terlihat dari sebaik apa sistem dijalankan. Masyarakat Indonesia turut mengamati roda gerak politik negaranya.
Kampus pun jadi salah satu wadah bertukar pikiran membahas keadaan politik Indonesia dewasa kini. Mengamati urgensinya, bahkan ada beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan politik sebagai ilmu terapan. Salah satunya di Kampus Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), tepatnya di jurusan Ilmu Komunikasi. Memasuki semester empat, terdapat mata kuliah Komunikasi Politik.
Membahas seputar komunikasi dengan melibatkan pesan serta aktor politik, dan juga berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan juga kebijakannya.
Salah satu dosen pengampuh mata kuliah ini, Inda Fitriyani, menilai kondisi politik Indonesia kini masih dalam masa peralihan antara Orde Baru ke Era Reformasi.
“Arus politik masih liberal. Mencari bentuk, dan masih berada di persimpangan,” ungkapnya.
Berkaca dari maraknya kasus korupsi di berbagai elemen terlebih ranah politik, Inda menyatakan hal ini merupakan sebuah ciri khas negara berkembang. Lepas dari sistem otoriter, kebanyakan pola pikir masyarakat menjadi bebas dan tak jarang menjadi lepas kendali.
"Mereka memiliki pemikiran bahwa, 'Saya punya kuasa dan bebas menentukan apapun'. (Tapi) bebasnya itu yang tidak bertanggung jawab," tutur dosen yang saat ini tengah melanjutkan pendidikannya di Universitas Chulalongko, Thailand.
Meski kerap dielukan sebagai negara yang kaya, sayangnya tidak sedikit mental masyarakat Indonesia masih tergerus arus teori politik. Yakni, sebagai negara berkembang identik dengan korupsi yang tinggi. Diakui Inda, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan dengan negara berkembang lainnya. Namun, jika negara berkembang tersebut sudah menjadi negara maju dan dapat menentukan arah sistem politiknya, ia tak menampik bahwa korupsi akan berkurang.
Kerap berinteraksi di kelas, Inda menyadari perlunya pemikiran kritis yang lahir dari mahasiswa. Tidak hanya terbuai dengan buaian kalimat dalam masa kampanye, tetapi juga cerdas dalam menelisik sosoknya.
“Mahasiswa harus bisa meneliti bahasa politik, jangan hanya memilih. Tapi juga melihat latar belakang, dosa politik, dan track recordnya,” pesannya.
Mengamati pemerintahan saat ini, ia mengaku setuju dengan konsep revolusi mental. Menurutnya, jika mental sudah tidak lagi berpikir untuk memperkaya diri sendiri, tentu akan lebih mengutamakan tentang cara untuk memajukan bangsa. Meski memang, mental buruk yang melekat tidak bisa diubah secara singkat, terlebih jika sistem tidak mendukung perubahan.
“Kita sebagai warga negara yang memiliki ideologi Pancasila harusnya berpikir tentang kemajuan bangsa. Toh, nanti dampaknya jika sudah berhasil, anak cucu akan merasakan kemajuan negara ini,” tutupnya. (adl/jdj)