Sumber Gambar: Pexels
Sejatinya, pengadilan merupakan tempat untuk mengadili suatu perkara, tempat peradilan bagi mereka yang sedang mencari keadilan untuk hak-hak yang diperjuangkan atas perkara yang akan diputuskan.
Dalam memutuskan perkara, hakimlah yang akan mengambil peran utama. Dengan berbagai macam pertimbangan kebenaran yuridis, filosofis, dan sosiologis maka diketuklah palu untuk mengadili putusan.
Maka dari itu, pengadilan merupakan ruang hukum yang harus terjaga keamanan dan kehormatannya. Segala macam proses yang berjalan di dalamnya haruslah diikuti dengan khidmat dan kondusif.
Begitupun dengan hasil keputusan peradilan yang ditetapkan oleh hakim harus diterima oleh berbagai pihak. Adapun jika keputusan tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan, bisa kembali diperjuangankan lewat prosedur hukum yang telah ditentukan.
Namun keputusan yang telah dibuat oleh hakim, nyatanya tidak semua pihak bisa menerimanya dengan baik. Tidak banyak dari mereka yang ingin menempuh prosedur hukum lanjutan untuk kembali memperjuangkan keadilan agar sesuai dengan apa yang diharapkan. Bagi mereka yang merasa keputusan hakim tidak adil, biasanya akan menolak keras dan melakukan upaya pemberontakan.
Bahkan, tak jarang penolakan putusan tersebut disertai dengan aksi penyerangan hakim di ruang peradilan. Tak hanya melontarkan caci maki secara nyata di ruang pengadilan, jari jemari pun turut serta bergerak lincah mengetik di atas layar mengirimkan ujaran-ujaran kebencian yang dapat memprovokasi pengguna sosial media untuk ikut serta menjatuhkan nama baik hakim. Hal-hal tak pantas seperti itulah disebut sebagai Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH).
Adanya perbuatan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim tersebut, Komisi Yudisial Republik Indonesia telah menetapkan dalam Peraturan Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Advokasi Hakim.
Melalui Pasal 1 telah dijelaskan bahwa advokasi hakim dilakukan sebagai langkah hukum terhadap orang perorangan, kelompok, ataupun badan hukum yang telah merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Karena pada dasarnya, advokasi hakim ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Meskipun peraturan tersebut telah dibuat, nyatanya tindakan PMKH masih sering terjadi hingga saat ini. Khususnya dalam ruang pengadilan, jika dirasa keputusan yang dibuat oleh hakim dianggap tidak adil, berbagai tindakan yang melanggar protokol persidangan di ruang pengadilan pun dihiraukan. Padahal, semua itu telah diatur sedemikian rupa dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan.
Proses peradilan yang seharusnya bisa dijalankan dengan suasana kondusif, nyatanya masih ada saja yang menimbulkan keributan di dalamnya. Mulai dari mengabaikan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dengan melakukan demonstrasi dalam persidangan, melakukan teror yang mengancam ataupun mengintimidasi hakim, mencemarkan nama baik hakim, bahkan tak jarang kekerasan fisik pun dilakukan untuk menyerang hakim juga sarana prasarana pengadilan.
Terbukti, di sepanjang tahun 2021 lalu, setidaknya KY telah menerima sebanyak 13 laporan atas kasus perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran maratabat hakim.
Seperti yang pernah terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur saat sidang perkara Muhammad Rizieq Shihab. Dalam proses persidangan saat itu, sempat terjadi ricuh sehingga mengganggu jalannya proses persidangan. Tak hanya itu, tindakan PMKH berupa ancaman teror di luar persidangan juga terjadi di Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan Agama Wangi-Wangi.
Tindakan PMKH lainnya dalam kasus yang tercatat di KY berupa perusakan sarana dan prasarana di ruang pengadilan yang terjadi di Pengadilan Negeri Dobo dan Pengadilan Negeri Bengkulu.
Tak hanya di dunia nyata, di tengah pesatnya era teknologi komunikasi saat ini pun tindakan PMKH makin marak terjadi. Tindakan PMKH juga terjadi di Pengadilan Negeri Pekalongan berupa penghinaan hakim dan pengadilan yang dilakukan melalui media sosial.
Mirisnya, tindakan PMKH tersebut tak hanya dilakukan oleh orang-orang awam, melainkan juga banyak dilakukan oleh kelompok yang berpendidikan dan berprofesi serupa. Oknum tak bertanggung jawab ini terus menutup mata, menjadikan pemberontakan, kekerasan, penyerangan dan perbuatan tak pantas di pengadilan dan muka hakim lainnya sebagai perbuatan yang wajar untuk mendapatkan keadilan yang tak berpihak.
Tak peduli adanya aturan-aturan hukum yang melindungi hakim dan pengadilan yang bisa saja menyeret tindakannya ke hadapan hakim untuk diadili atas tindakan PMKH yang dilakukannya. Sebab pada dasarnya, PMKH bukanlah perbuatan yang boleh dilakukan, justru merupakan sebuah bentuk perbuatan melawan hukum yang tidak bisa dibenarkan.
Maka dari itu untuk mencegah terjadinya tindakan PMKH, salah satunya perlu dilakukan advokasi hakim kepada masyarakat dan penekanan kode etik profesi. Khususnya peran mahasiswa di perguruan tinggi sangat diperlukan untuk membantu KY dalam mengedukasi dan mengabdi ke masyarakat.
Sebagai agent of change, sudah seharusnya mahasiswa turut serta menjadi bagian dan pelopor dan pelapor dari tindakan PMKH. Karena merendahkan hakim, sama halnya dengan merendahkan muruah pengadilan.
Ditulis oleh Rhiska Afriliani, mahasiswi Fakultas Hukum 2021.