Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Akhir-akhir ini, banyak kita temui fenomena-fenomena di mana masyarakat secara terang-terangan mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap lembaga peradilan di Indonesia. Menurut mereka, lembaga peradilan di Indonesia yang seharusnya mampu menciptakan dan menghadirkan keadilan di tengah masyarakat, kini justru malah memunculkan ketidakadilan dan keresahan di masyarakat.
Sebagai contoh pada kasus-kasus fenomenal seperti unjuk rasa oleh Masyarakat Adat Papua Barat. Ini terkait dengan tuntutan pembatalan izin perusahaan sawit di Boven Digoel dan Sorong yang berpotensi mengganggu hutan adat. Ada pula unjuk rasa karyawan PT Polo Ralph Lauren Indonesia dan PT Manggala Putra terkait sengketa hak kekayaan intelektual. Di mana keduanya terjadi di depan gedung Mahkamah Agung.
Setelah melihat fenomena-fenomena di atas, muncullah satu pertanyaan: Apakah hal tersebut merupakan suatu Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH)?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kita ketahui pengertian PMKH terlebih dahulu. Pengertian PMKH sendiri dapat dimaknai sebagai tindakan yang dilakukan baik oleh perorangan, kelompok, maupun badan hukum yang mengganggu jalannya proses peradilan atau mengganggu hakim dalam melaksanakan tugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Tindakan tersebut juga dapat mengancam keamanan hakim, baik di dalam persidangan maupun di luar persidangan, serta dapat berupa perbuatan menghina hakim dan lembaga peradilan itu sendiri.
Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa hal-hal yang termasuk PMKH adalah perbuatan yang mengintervensi atau menghambat hakim dalam melakukan proses peradilan yang dapat berbentuk seperti memberikan ancaman fisik atau verbal terhadap hakim maupun lembaga peradilan.
Lalu apa saja yang melatarbelakangi PMKH?
Kurangnya pemahaman masyarakat tentang independensi hakim
Masyarakat seringkali beranggapan bahwa hakim dapat diintervensi atau dipengaruhi dalam proses pengambilan keputusan. Padahal berdasarkan norma hukum, seorang hakim harus independen dan bebas dari segala bentuk tekanan atau intervensi pihak manapun.
Adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan pengadilan
Tidak jarang masyarakat merasa tidak puas dengan putusan yang dikeluarkan oleh hakim, terutama jika putusan tersebut tidak sesuai dengan harapan mereka. Rasa ketidakpuasan ini terkadang dilampiaskan dengan melakukan kritik atau bahkan penghinaan terhadap hakim.
Terdapat perbedaan persepsi atau pemahaman antara hakim dan masyarakat.
Adakalanya terdapat perbedaan pemahaman antara masyarakat dan hakim terkait isu-isu hukum yang sedang dihadapi. Adanya persepsi masyarakat bahwa setiap hakim yang berbeda pemahaman dengan masyarakat merupakan mafia peradilan, menjadi faktor yang paling banyak memicu munculnya pernyataan atau tuduhan yang dapat merendahkan kehormatan dan keluhuran hakim. Keempat,
Minimnya apresiasi terhadap profesi hakim
Di tengah masyarakat, profesi hakim terkadang kurang mendapat penghargaan dan apresiasi yang sewajarnya. Hal ini dapat mendorong munculnya sikap semau-maunya pada saat proses peradilan sedang berlangsung.
Tetapi perlu kita ketahui juga, bahwa istilah Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim sendiri tidak ada dijelaskan secara gamblang dalam KUHP Wetboek van Strafrecht (WvS) peninggalan Belanda dan juga dalam KUHP Nasional (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023).
Namun istilah yang digunakan dalam KUHP WvS adalah Rechtpleging atau Kejahatan Terhadap Pengadilan dan Instansi Pemerintah, sedangkan istilah yang digunakan dalam KUHP Nasional adalah Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan. Istilah dan pengertian Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim dapat ditemukan pada Pasal 1 Angka 2 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim.
Kemudian terdapat lima hal yang diklasifikasikan sebagai Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim.
1. Tindakan mengganggu jalannya persidangan dengan kata-kata atau tindakan yang tidak pantas dan juga perilaku yang dapat mengganggu proses peradilan.
2. Tidak mematuhi perintah pengadilan yang dapat berupa instruksi atau keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan, hal ini dapat mengurangi otoritas dan kredibilitas pengadilan itu sendiri.
3. Menyerang integritas dan imparsialitas pengadilan, seperti membuat pernyataan di luar pengadilan yang bersifat mengganggu dan menghina pribadi hakim maupun pengadilan. Pernyataan-pernyataan tersebut sering kali dilontarkan kepada hakim dengan tujuan untuk mempertanyakan integritas mereka.
4. Menghalangi proses penyelenggaraan pengadilan, yang di mana bertujuan untuk mengacaukan fungsi dan jalannya proses peradilan dengan cara memutarbalikkan keadaan.
5. Melakukan penghinaan terhadap pengadilan melalui publikasi atau pemberitahuan, hal ini merujuk pada upaya mempengaruhi keputusan hakim dengan cara mengeluarkan pernyataan atau sikap tertulis atau lisan yang menjadi sorotan media atau memiliki implikasi hukum yang memengaruhi keputusan hakim.
Polemik Tentang PMKH
Apabila kita melihat kembali sejumlah fenomena yang sering terjadi seperti demonstrasi besar-besaran di depan pengadilan, menghujat lembaga peradilan dan pribadi hakim di media sosial, dan bahkan melakukan penyerangan fisik kepada hakim saat proses peradilan sedang berlangsung. Menurut hemat penulis, hal-hal tersebut telah memenuhi klasifikasi PMKH.
Tetapi meskipun perbuatan tersebut sudah termasuk PMKH, tidak semua orang dapat memberikan aduan terhadap PMKH. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013–022/PUU-IV/2006 menerangkan bahwa Pasal 207 KUHP WvS yang berisi tentang penghinaan terhadap badan umum merupakan delik aduan. Begitu pula dengan Pasal 280 KUHP Nasional, disebutkan secara tegas bahwa tindak pidana PMKH merupakan delik aduan yang hanya dapat diadukan secara tertulis oleh hakim.
Lebih lanjut, muncullah satu masalah lain, yaitu masih banyak hakim yang menganggap PMKH itu merupakan suatu hal yang lumrah dan wajar ditemui saat penanganan perkara di pengadilan. Sikap pembiaran oleh hakim ini menjadi suatu masalah tersendiri karena menyebabkan masyarakat juga menganggap PMKH itu suatu kewajaran dan hal ini bermuara pada meningkatnya frekuensi terjadinya PMKH setiap dilaksanakannya persidangan.
Solusi Perihal PMKH
Pada akhirnya, dapat ditarik kesimpulan guna memecahkan permasalahan PMKH ini yaitu dengan mengakselerasi dan mensosialisasikan pemahaman terkait Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim serta Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim kepada masyarakat dan aparat penegak hukum.
Aktor utama dalam sosialisasi ini di antaranya adalah pemegang kekuasaan kehakiman, Komisi Yudisial, akademisi, dan mahasiswa. Bentuk-bentuk sosialisasi ini dapat berupa penyuluhan secara daring maupun luring, Focus Group Discussion (FGD), hingga pemuatan mata pelajaran Pendidikan Etika dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Di samping pelaksanaan program sosialisasi kepada masyarakat, perlu adanya penegakan hukum yang serius dan efektif terhadap para pelaku PMKH. Penegakan hukum yang efektif tentunya akan terwujud apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur PMKH secara khusus, aparat penegak hukum yang paham dan patuh terhadap kode etik profesi, serta budaya hukum yang menjunjung nilai-nilai keadilan dan etika.
Opini ini ditulis oleh Luthfi Ahmadani Rahman mahasiswa Prodi Ilmu Hukum, FH Unmul angkatan 2021