Perlawanan Senyap Petani Ladang atas Kuasa Tambang

Perlawanan Senyap Petani Ladang atas Kuasa Tambang

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Provinsi Kalimantan Timur banyak menetapkan desanya menjadi Desa Budaya, salah satunya adalah Desa Budaya Lung Anai yang didiami oleh Suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan. Masyarakat yang menempati Desa tersebut didorong untuk menampilkan tradisi dan upacara adatnya. 

Kendati demikian, tampilan dari wujud ekspresi tradisi dan upacara tersebut, hanya semata-mata untuk menarik pengunjung dan meningkatkan pariwisata. Label dari Desa Budaya tidak bisa menjamin bahwa ruang hidup mereka aman dari ekspansi berbagai industri ekstraktif.

Padahal, kebudayaan masyarakat Desa Lung Anai tidak hanya sebatas pada kesenian, seperti tarian, alat musik, dan ukiran. Tetapi kebudayaan mereka juga terbangun dari praktik perladangan dengan sistem gilir balik yang telah dilakukan selama ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.

Hingga hari ini para petani ladang di Desa Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara masih terus memperjuangkan kehidupannya atas kuasa tambang batu bara yang memporak-porandakan pranata-pranata kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, dan lingkungan.

Sebelum salah satu tambang batu bara masuk di Desa Lung Anai pada tahun 2018 yang setidaknya memiliki wilayah konsesi sebesar 30.409,00 hektar, mayoritas atau 90 persen masyarakat Desa Lung Anai adalah petani ladang padi gilir balik. Namun, setelah kehadiran pertambangan batu bara di sekitar wilayah mereka, terkhususnya pertambangan mengeksploitasi lahan perladangan milik masyarakat yang berada di Sungai Gitan. 

Penurunan drastis terjadi pada petani ladang yang mengusahakan lahannya. Kehadiran pertambangan batu bara pada akhirnya menyebabkan hanya tersisa 20 kepala keluarga yang bisa mengusahakan lahan pertaniannya.

Dahulunya, wilayah perladangan milik masyarakat Desa Lung Anai yang ada di sekitar Sungai Jitan memiliki luas sekitar 200-300 hektar. Masing-masing perkepala keluarga membuka lahan untuk perladangan padi sebesar 1 hingga 3 hektar. Kini, lahan pertanian yang subur tinggal menyisakan cerita saja. Menyempitnya lahan pertanian milik petani ladang, juga turut mempengaruhi hasil produksi padi milik masyarakat. 

Sebelum masuknya pertambangan, di mana petani masih bebas untuk membuka ladangnya, para petani bisa menghasilkan 200 hingga 300 kaleng padi dalam 1 hektar lahan. 1 kaleng padi bisa menghasilkan padi sebanyak 11 kilogram. Artinya para petani ladang dalam 1 hektar lahannya bisa menghasilkan produksi padi sebanyak 3.300 kilogram atau setara dengan 3 ton lebih padi.

Nahas, setelah pertambangan masuk, kini para petani ladang tidak bisa membuka lahan pertaniannya lebih dari 1 hektar atau hanya setara luas bukaan lahan untuk pertaniannya 0,5 hektar. Hasil produksi sebanyak 30 kaleng padi, setara dengan 330 kilogram padi saja.

Namun para petani ladang ingin tetap melawan dengan kondisi yang mereka hadapi sekarang. Ihwalnya, praktik perladangan dengan mekanisme gilir balik menyiratkan simbol perlawanan. 

Pertanian dengan sistem gilir balik tidak hanya bisa dilihat melalui dimensi ekonomi semata, melainkan menyiratkan ihwal historis antropologis untuk terhindar dari jerat cengkeraman penguasa.

Perlawanan dalam praktik perladangan gilir balik merupakan upaya senyap para petani untuk terhindar dari kuasa negara dan korporasi yang ingin menghegemoni kehidupan mereka. 

Perlawanan secara senyap merupakan jalan terakhir para petani ladang untuk kembali merengkuh kedaulatan mereka sebagai seorang petani.

James C. Scoot menyebut pertanian dengan sistem gilir balik ini sebagai "pertanian melarikan diri". Ia juga menjelaskan bahwa para petani ladang memiliki alasan politik tersendiri dalam hal pemilihan jenis tanaman yang ingin ditanam, seperti tanaman yang tidak mudah dipajaki dan bernilai ekonomi rendah. 

Ini cocok pada kasus masyarakat Dayak Kenyah yang cenderung memiliki mobilitas yang tinggi, artinya praktik perladangan dengan sistem gilir balik ini, merupakan mekanisme yang dilakukan oleh masyarakat untuk menghindar dari hegemoni negara atau korporasi. 

Masyarakat yang cenderung memiliki mobilitas atau perpindahan yang tinggi, dominan memakai sistem pertanian gilir balik agar mempertahankan kemerdekaan diri mereka dari kekuasaan dan dominasi.

Jurus-Jurus Petani Ladang untuk Merdeka:
Perlawanan tidak melulu dengan aksi atau konfrontasi langsung dengan pihak lawan. Perlawanan senyap merupakan senjata yang digunakan oleh kelompok subordinat untuk melawan kuasa kelompok yang menguasai kehidupannya macam negara dan korporasi. Perlawanan senyap dimungkinkan untuk dilakukan, apabila perlawanan secara langsung dianggap tidak memadai atau kurangnya sumber daya dalam melakukan perlawanan.

Dengan menyempitnya lahan milik petani ladang, para petani memiliki jurus untuk melawan agar sama sekali tidak terputus dengan sarana mereka dalam membangun kebudayaannya. Berikut adalah jurus-jurus petani ladang untuk merdeka dalam membuka ladang:

Ladang Kolektif
Ladang kolektif yang dibuka seluas 1 hektar merupakan salah satu siasat yang masyarakat lakukan, sebab lahan perladangan mereka makin tak bersisa. Siasat ini diambil agar praktik kebudayaan yang dihasilkan lewat siklus perladangan tidak musnah. Perladangan kolektif ini juga merupakan salah satu bentuk perlawanan terselubung yang dilakukan oleh masyarakat Desa Lung Anai agar mereka tidak terpisah dari identitas budayanya, sehingga perladangan kolektif dapat dikatakan sebagai senjata peladang melawan pihak yang mendominasi kehidupan mereka, yang dalam hal ini ialah perusahaan.

Membuka Ladang ke Tempat Lain
Menurut keterangan petani ladang yang penulis wawancarai, saat ini hanya terdapat kurang lebih 20 kepala keluarga yang masih bertani dengan praktik gilir balik. Mereka mengolah lahan pertanian yang berbatasan dengan PT. Niaga Mas, PT. Budi Duta di arah Selatan Desa Lung Anai, Jonggon, Sepaku, hingga Kabupaten Berau. 

Hal ini merupakan salah satu jurus yang dilakukan oleh para petani ladang untuk dapat bisa terus membuka ladangnya. Membuka ladang ke daerah lain, bukan bermaksud untuk mengekspansi ke daerah lain, sebab lahan yang digunakan adalah milik keluarga yang dipinjam atau telah dibeli sebelumnya.

Mendirikan Lumbung Padi (Lepubung Lepoq)
Lumbung padi merupakan wadah penyimpanan padi yang telah dipanen sebelumnya dan agar padi yang telah dipanen terhindar dari hama. Saat pesta panen tiba, masyarakat akan memberikan padi yang diambil dari lumbung padi, untuk diberikan pada setiap tamu undangan sebanyak 1 kg sebagai oleh-oleh. 

Masyarakat membangun Lumbung padi bukan sekedar membangun bangunan yang berdiri tanpa makna, ia menyimpan makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Para petani ladang ingin menegaskan, Lumbung Padi berdiri sebagai pertanda bahwa kebudayaan masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Desa Lung Anai tidak bisa dilepaskan dari perladangan padi.

Membakar Ladang Secara Sembunyi
Berbagai peraturan dibuat oleh pemerintah untuk menjerat petani ladang masuk ke dalam penjara. Tahun 2018 silam, 2 orang masyarakat Desa Lung Anai dilaporkan oleh salah satu Perusahaan monokultur karena dituduh telah membakar hutan. 2 orang tersebut mendekam di dalam penjara selama 8 bulan lamanya. 

Oleh sebab itu, kini para petani ladang tidak lagi membakar ladangnya pada siang hari, tetapi mereka beralih membakar ladangnya di sore hari atau malam hari. Hal ini dilakukan agar aparat tidak mengetahui aktivitas mereka dalam membakar ladang.

Siklus dalam Berladang
Dalam mengerjakan ladangnya, masyarakat Desa Lung Anai melewati 11 tahapan yang mutlak harus dikerjakan oleh mereka. 

11 tahapan perladangan itu meliputi: 1) Naat Bai (memeriksa lahan); 2) Atep/Bioq Bai (menentukan areal lahan); 3) Mendoakan perkakas yang digunakan saat berladang; 4) Midik Bai (menebas); 5) Nepeng (menebang); 6) Nutung Uma (Membakar Ladang)-Mekup (Membakar Kembali Sisa Ranting yang Belum Terbakar Habis); 7) Menugan (menanam); 8) Mabau (merumput); 9) Mecaq Ubek (pra panen); 10) Majau (panen); 11) Uman Undrat (pesta Syukur).

Jika dicermati, maka akan ditemui 7 unsur pembentuk kebudayaan yang diutarakan oleh para ahli. 7 unsur kebudayaan itu adalah sistem bahasa yang digunakan oleh ketua ladang untuk mengorganisir masyarakat lainnya untuk saling bahu-membahu dalam proses pengerjaan ladang. Sistem peralatan atau teknologi yang digunakan oleh peladang seperti parang, kapak beliung, ani-ani, dan teng sebagai pengetahuan masyarakat menentukan waktu untuk menanam padi. 

Sistem organisasi sosial yang jelas terlihat adalah gotong-royong yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam proses pengerjaan ladang. Proses tersebut merupakan cerminan kekayaan sosial yang paling dasar dalam masyarakat desa atau peladang yang disebut sebagai solidaritas sosial. 

Gotong-royong yang dilakukan juga menunjukkan jaring pengaman yang dibentuk oleh masyarakat. Sistem religi ini dapat terlihat saat sebelum mengerjakan ladangnya, masyarakat memanggil pendeta untuk mendoakan alat-alat yang akan digunakan dalam pekerjaan, agar benda-benda tersebut tidak mencelakai pemiliknya. Kemudian, ada sistem keseniaan yang dapat terlihat saat proses pesta panen seperti tari-tarian, alat musik dan permainan tradisional.

2 Bentuk Relasi Kerja
Terdapat 2 wujud relasi kerja yang hingga kini masih bertahan di Desa Lung Anai yaitu kerja kolektif atau timbal balik (senguyun) dan gotong-royong (pekuaq).

Dalam praktiknya, senguyun tidak seketat gotong-royong atau pekuaq. Setiap orang yang terlibat dalam senguyun mereka bebas memilih untuk berpartisipasi atau tidak. Berbeda halnya dengan gotong-royong yang memang telah diatur dalam hukum adat. Senguyun didasarkan pada kebutuhan para peladang agar setiap ladang anggota komunitas dapat tergarap secara baik. Senguyun di Desa Lung Anai biasanya dilakukan pada saat proses menanam bibit padi, pra panen dan panen yang melibatkan 10 hingga 20 orang. 

Walaupun dalam praktiknya Senguyun lebih bebas dan tidak terikat secara moral seperti Pekuaq, tetapi masing-masing individu yang terlibat memiliki kewajiban yang telah tertananam di dalam batinnya atau yang disebut sebagai etika otonom. Kini Senguyun telah beralih pada praktiknya, Senguyun yang dahulu dilakukan pada saat perladangan padi gunung, kini beralih pada sektor lain seperti di kebun kakao, karet dan sawit.

Pada praktiknya pengerjaan Senguyun di ladang dan kebun kakao memiliki kesamaan dalam pengerjaannya. Si pemilik kebun akan mengundang beberapa keluarga untuk melakukan senguyun dan berikutnya si pemilik kebun yang mengajak di beberapa keluarga tadi, akan melakukan senguyun pula di kebun milik keluarga yang sudah ia ajak.


Opini ini ditulis oleh Andreas Hului, mahasiswa Program Studi Pembangunan Sosial, FISIP Unmul 2020