Negara Rakus, Alam Kalimantan Semakin Tergerus

Negara Rakus, Alam Kalimantan Semakin Tergerus

Sumber Gambar: blogunik.com

Di bumi Kalimantan, alam memang memberikan kekayaan yang melimpah. Namun, di balik keindahan dan keanekaragaman hayati tersebut, tersembunyi kisah kelam eksploitasi alam yang rakus. Hutan Kalimantan, sebagai paru-paru dunia, terancam oleh tangan-tangan manusia yang tanpa ampun merusak kelestariannya.

Pembukaan demi pembukaan hutan untuk kelapa sawit dan lahan batubara adalah salah satu bentuk eksploitasi yang merajalela. Perusahaan-perusahaan besar dengan ambisi ekonomi tinggi terjun tanpa pandang bulu, membabat habis rimbunnya hutan hujan. Akibatnya, ekosistem yang sudah terbentuk selama ribuan tahun mengalami kerusakan yang tak terelakkan. Binatang-binatang langka kehilangan habitat, sementara suara riuh rendah alam pun redup.

Sungai-sungai yang mengalir tenang pun tidak luput dari masifnya eksploitasi alam ini. Limbah industri dan pertambangan dibuang begitu saja ke sungai-sungai, mencemari air yang seharusnya menjadi sumber kehidupan. Ikan-ikan yang dulu melimpah kini sukar didapatkan masyarakat karena kualitas air yang semakin buruk.

Dampak dari eksploitasi ini tidak hanya terasa di dalam hutan, melainkan juga meluas ke masyarakat sekitar. Masyarakat asli yang hidup bersama alam sejak zaman nenek moyang mereka, kini harus menghadapi perubahan besar dalam pola hidupnya. Sungguh ironis, mereka yang hidup harmonis dengan alam sekarang terdesak oleh gelombang modernisasi yang tidak mengenal belas kasihan. 

Masyarakat asli kini dihadapkan pada realitas pahit. Tanah leluhur mereka diklaim oleh perusahaan-perusahaan besar yang bekerja sama dengan negara yang rakus. Hak-hak adat dilupakan, dan suara mereka yang teriak-teriak untuk keadilan seringkali tenggelam dalam kebisingan mesin-mesin pembabat hutan.

Bukan hanya ekosistem alam yang tergerus, tetapi juga budaya dan identitas masyarakat yang semakin terkikis, digantikan oleh arus modernisasi yang tidak menghargai warisan nenek moyang. pengetahuan lokal dan kearifan lokal lainnya semakin terpinggirkan.

Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang sebenarnya akan menanggung dampak dari rakusnya eksploitasi alam ini? Jawabannya, sayangnya, jatuh pada bahu mereka yang tak memiliki kekuatan untuk melawan. Masyarakat lokal yang hidup dari dan dengan alam menjadi korban utama. Mereka kehilangan mata pencaharian tradisional mereka karena hutan yang menjadi sumber kehidupan telah sirna.

Tak hanya itu, dampak eksploitasi alam ini juga berdampak pada iklim global. Hutan hujan Kalimantan yang mengandung sejumlah besar karbon, ketika dibabat habis, melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer. Inilah ironi lainnya, eksploitasi alam yang dilakukan dengan dalih kemajuan ekonomi justru memberikan kontribusi besar pada perubahan iklim global yang semakin mengkhawatirkan.

Sementara perusahaan-perusahaan besar dan negara mendulang keuntungan dari eksploitasi ini, masyarakat lokal dan Kalimantan, bahkan Indonesia secara keseluruhan akan menanggung beban dampaknya. Bencana alam semakin sering terjadi, cuaca ekstrem menjadi lebih umum, dan keseimbangan ekosistem terus terganggu. Apakah keuntungan ekonomi sesaat bisa dibandingkan dengan hilangnya keanekaragaman hayati dan kehancuran lingkungan?

Namun, dalam kegelapan terdapat cahaya kecil harapan. Pasti ada hasil selaras dengan perjuangan, jika kita terus menyuarakan pentingnya menjaga keseimbangan alam demi keberlanjutan hidup manusia dan planet ini. Namun, sayangnya, suara mereka dan kita seringkali diredam oleh kepentingan ekonomi yang besar dan kuat.

Kita semua, sebagai bagian dari masyarakat lokal dan umumnya Kalimantan, memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan membantu melindungi kelestarian alam pulau ini. Memberikan dukungan kepada seluruh stakeholder yang berupaya, mendukung program kelestarian hutan, dan berkontribusi pada upaya mitigasi perubahan iklim adalah langkah-langkah kecil tetapi berarti. Hanya dengan kesadaran dan tindakan bersama, kita dapat membantu mencegah eksploitasi alam yang rakus ini dan menjaga keberlanjutan bumi yang kita tinggali serta Kalimantan yang kita cintai ini.

Opini ditulis oleh Andrianus Ongko Wijaya Hingan, mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, FKIP 2020.