Mahasiswa Kaltim dalam Pusaran Pilkada

Mahasiswa Kaltim dalam Pusaran Pilkada

Sekira lima bulan lagi, Kaltim bakal memilih gubernur dan wakil gubernur baru. Pengganti Awang Faroek Ishak-Mukmin Faisal (alm). Saat ini sudah ada empat pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum. Yakni Isran Noor-Hadi Mulyadi, Syaharie Jaang-Awang Ferdian Hidayat, Rusmadi-Safaruddin, dan Andi Sofyan Hasdam-Nusyirwan Ismail.

Saat ini mereka terus melakukan konsolidasi. Menyiapkan amunisi. Mengukuhkan satu per satu simpul-simpul massa. Mereka semua sudah sangat siap bertarung di Pilkada.

Peta kekuatan politik di Pilkada Kaltim kali ini cukup unik. Kekuatan tiap pasangan calon relatif sama. Tidak ada yang begitu mendominasi. Tidak ada yang begitu percaya diri bakal menang mudah. Semua harus berkeringat. Semua harus berkorban pagi, siang, dan malam agar menang.

Tapi, riuh-riuh Pilkada ini sebenarnya untuk apa? Apakah hanya sekadar untuk menang lalu berkuasa? Atau sekadar mengganti Awang Faroek Ishak yang sudah tua dan karena dia juga sudah tidak bisa maju Pilkada untuk periode ketiga lantas menyodorkan anaknya? Tentu tidak, Pilkada ini tujuannya jauh dari itu.

Pilkada ini dilakukan demi cita-cita mulia. Menjadikan Kaltim lebih sejahtera, adil, berdaulat, dan bermartabat. Amanat reformasi untuk perbaikan menyeluruh di berbagai bidang, mulai politik, hukum, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Belum lagi, Pilkada hingga saat ini masih menjadi legitimasi paling efektif untuk menemukan pemimpin paling ideal. Itu jika Pilkada berlangsung demokratis, independen, dan jauh dari politik uang.

Di titik inilah peran mahasiswa dibutuhkan. Sebagai pengawal cita-cita reformasi, mahasiswa tidak boleh diam. Harus ambil peran. Keterlibatannya dalam mengawal Pemilu wajib hadir paling depan. Aktif bukan pasif.

Dalam konteks ini, penulis sepakat dengan pernyataan Eep Saefulloh Fatah. Dia mengatakan, mahasiswa sebaiknya berada pada posisi masa bodoh dengan ada tidaknya pemilu, namun masa bodoh yang dia maksud dalam artian siapa calonnya. Mahasiswa, kata dia, harus berada dalam posisi menyiapkan agenda besar, yakni “menyiapkan kampus sebagai kantung-kantung oposisi permanen”. Oposisi yang dimaksud bukan oposisi politis, tapi oposisi ide.

Penting memastikan posisi mahasiswa dalam gelaran Pemilu. Entah itu dalam momentum Pilkada yang kini ada di depan mata, maupun Pilpres dan Pileg tahun depan. Mahasiswa harus muncul sebagai oposisi, tapi tidak dengan isu politis melainkan ide. Karena dengan isu politis akan terbuka peluang kepentingan, dan tiap kepentingan pasti akan dilawan dengan kepentingan. Segera ketika mahasiswa memunculkan isu politis, lawan kepentingan akan mengeluarkan isu tandingan. Padahal dalam konteks politik, paradigmanya “lawan dan kawan”, “menang atau kalah”. Paradigma ini akan selalu ada, dan sangat disayangkan jika mahasiswa bermain dan berada di posisi tersebut. Karena cepat atau lambat mahasiswa akan berhadap-hadapan dengan tim sukses tiap kandidat yang merasa dirugikan.

Dalam hal ini penulis berharap, mahasiswa dalam pusaran Pilkada kali ini tampil sebagai ujung tombak gerakan moral. Gerakan yang menawarkan ide-ide untuk memastikan keadilan dan kemakmuran rakyat menjadi prioritas yang mesti ditunaikan. Pun jika gerakan ini terpaksa ditanggalkan, dan mahasiswa memilih gerakan politik, maka gerakan politik mahasiswa haruslah berbeda dengan gerakan politik partisan yang menjilat kekuasaan.

Penting dicatat, gerakan politik mahasiswa itu harus bersumber dari aspirasi dan keinginan rakyat. Sehingga, mahasiswa mulai sekarang semestinya membuka mata dan telinga selebar-lebarnya. Lihat dan dengarkan masalah rakyat di akar rumput. Kemudian angkat dan jadikan isu-isu populis dalam pusaran Pilkada.

Lalu setelah itu apa? Sampai detik ini aksi massa masih menjadi satu-satunya gerakan yang paling efektif mendorong perubahan dengan sangat baik. Mahasiswa dalam momentum Pilkada kali ini tidak bisa hanya duduk di balik meja, hadir dalam seminar dan diskusi, serta membuat status di media sosial. Seperti yang banyak dilakukan mahasiswa “zaman now”. Mahasiswa harus turun ke jalan. Menghimpun massa. Mendesak dan memaksa kehendak rakyat yang dia bawa kepada penguasa atau calon penguasa dalam momentum Pilkada.

Tentu dengan kalkulasi aksi yang jelas. Aksi yang memang disiapkan agar berdampak perubahan. Bukan aksi yang sekadar menggugurkan kewajiban, mengisi euforia politik, atau sekadar aktualisasi demi eksistensi.

Ditulis oleh Ibrahim, Wakil Presiden BEM KM Unmul 2015.