Ketika Orba Mengintip: Ulasan Singkat Wacana Sentralisasi Kekuasaan Presiden Prabowo Subianto

Ketika Orba Mengintip: Ulasan Singkat Wacana Sentralisasi Kekuasaan Presiden Prabowo Subianto

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Dalam pidatonya saat menghadiri perayaan HUT ke-60 Partai Golkar, Presiden Prabowo Subianto sepakat dengan pernyataan Ketua Umum partai Golkar, Bahlil Lahadalia, yang menyatakan bahwa proses demokrasi di Indonesia perlu dievaluasi. Ia beranggapan ada ketidakefisienan yang terjadi dalam Pilkada yang menyebabkan negara menggelontorkan triliunan rupiah dalam “satu-dua hari”. 

Sebagai solusinya, ia mengajukan agar Kepala Daerah diangkat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) agar menghemat anggaran yang dapat dialokasikan ke sektor-sektor yang lebih vital, seperti program makan gratis dan perbaikan infrastruktur pendidikan.

Sebuah pernyataan yang membuat dahi berkerut walaupun tidak membuat terkejut. Pasalnya, menurut La Nyalla Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Presiden Prabowo pun disinyalir mempunyai visi untuk mengembalikan mekanisme penunjukkan Presiden dan Wakil Presiden melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) alih-alih melalui Pemilihan Umum (Pemilu). 

Wacana pemusatan kekuasaan seperti ini harusnya membuat siapapun yang menyatakan dirinya sebagai “aktivis” mulai mengumpulkan ban bekas dan bahan bakar sebagai tanda persiapan untuk aksi di jalanan. Karena, wacana tersebut berbanding terbalik dengan aspirasi reformasi yang menyerukan desentralisasi kekuasaan dan melibatkan partisipasi aktif publik dalam politik.

Jika wacana tersebut berhasil lolos ke tahap realisasi, tergulunglah karpet reformasi yang telah diulur sejak 26 tahun silam.

Langkah bertahap menuju perubahan sistem suksesi kekuasaan secara nasional, dimulai dari tingkat lokal, bukanlah sesuatu yang baru. Penulis teringat pada kasus historis yang terjadi di Kekaisaran Utsmani. Merujuk pada buku “Ottoman Reform and Muslim Regeneration: Studies in Honour of Butrus Abu-Manneh” yang disusun oleh Weismann dan Itzchak, pada pertengahan abad ke-19, Sultan Abdulaziz berupaya mengganti sistem suksesi dari agnatic seniority (diwariskan kepada kerabat laki-laki tertua) menjadi primogenitur (diwariskan kepada anak laki-laki tertua). 

Demi melancarkan rencananya, Sultan Abdulaziz menerapkan sistem primogenitur tersebut di Mesir dengan mengakui dinasti Muhammad Ali sebagai penguasa sah Eyalet (wilayah administrasi setingkat provinsi) tersebut. Kendati rencananya gagal untuk diterapkan di tingkat kekaisaran, langkah yang diambil Sultan Abdulaziz dapat menjadi cerminan bagaimana penguasa mencari legitimasi perubahan suksesi politik dengan menjadikan keberhasilan di tingkat lokal sebagai langkah awal.

Hal yang serupa dapat terjadi di Indonesia. Apabila wacana penunjukkan kepala daerah melalui DPRD diloloskan, langkah ini dapat menjadi fondasi untuk mewujudkan visi Presiden Prabowo dalam mengembalikan penunjukan Presiden dan Wakil Presiden kepada MPR.

To be fair, secara teknis tidak ada yang salah dengan wacana tersebut. Perlu diakui bahwa proses Pemilu/Pilkada memakan biaya yang sangat besar baik dari pihak negara sebagai penyelenggara, maupun dari pihak kandidat calon kepala daerah sebagai peserta. Dalam studi “Efektivitas Pemilihan Kepala Daerah Melalui Dprd Dan Pemilihan Secara Langsung Oleh Rakyat Dalam Sistem Demokrasi (Studi Di Kota Medan) tahun 2022, Hasibuan menyebutkan bahwa Pilkada serentak dapat memakan biaya sebesar 20 triliun rupiah. 

Dalam Proses Pemilu/Pilkada juga rawan akan politik uang yang dimainkan oleh para kandidat calon kepala daerah. Di samping hal-hal tersebut, bunyi sila ke-4 pun melegitimasi terlaksananya pemilihan kepala negara/daerah melalui mekanisme permusyawaratan/perwakilan.

Namun, apa yang menjadi permasalahan selama praktik tersebut berlangsung ialah ketidaknetralan lembaga perwakilan dalam memilih kepala negara/daerah. Sebagai contoh, selama Orde Baru MPR sebagai lembaga permusyawaratan/perwakilan tertinggi yang berhak untuk menunjuk Presiden dan Wakil Presiden pada saat itu hanya menjadi alat legitimasi rezim ketimbang mewakili aspirasi dari rakyat Indonesia. 

Kepala daerah pun dipenuhi oleh orang-orang dengan latar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang ditunjuk langsung oleh Soeharto. Hal tersebut jugalah yang membuat Soeharto dapat berkuasa selama 32 tahun tanpa adanya oposisi yang berarti baik dari lembaga legislatif maupun yudikatif karena adanya sentralisasi kekuatan politik pada pucuk lembaga eksekutif, yaitu Presiden. 

Dengan demikian lembaga lain seperti legislatif dan yudikatif, tidak mampu menjalankan tugas mereka sebagai check and balance kekuasaan tanpa adanya intervensi secara masif dan terstruktur dari pihak lembaga eksekutif.

Oleh karena kegagalan fungsi check and balance dari lembaga-lembaga tersebut, bergulirlah gerakan Reformasi pada tahun 1998 yang bertujuan untuk mengembalikan demokrasi dan kedaulatan politik Republik Indonesia ke tangan rakyat sipil. Dari era Reformasi pula lah diadakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah secara langsung. 

Dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden dapat melegitimasi kekuasaannya atas dasar kehendak langsung dari rakyat yang akan dipimpinnya, bukan lagi dari sekelompok elit politik yang ada di MPR. Digaungkan pula upaya desentralisasi dalam wujud otonomi daerah sebagai respon dari kebijakan pembangunan yang dianggap tidak merata selama masa Orde Baru. 

Fungsi MPR juga ikut “diberedel” dengan membatasi fungsinya “hanya” sebagai lembaga yang berhak mengamandemen UUD tahun 1945. Langkah tersebut diharapkan dapat menaruh lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam kursinya masing-masing serta dapat menjalankan fungsinya sebagai antitesis dari sentralisasi kekuasaan dalam kehidupan bernegara.

Setelah penjelasan singkat tadi, lalu bagaimana kita harus menanggapi pernyataan Presiden Prabowo yang telah saya terangkan di awal? Tidak seperti biasanya, di kesempatan ini saya mencoba untuk “kolaboratif” dengan wacana Presiden Prabowo, yaitu menerima wacana beliau secara bersyarat.

Pertama, sebelum DPRD berhak untuk menetapkan kepala daerah, para legislator perlu memenuhi syarat-syarat kualifikasi yang ketat diluar dari persyaratan yang sudah ada, seperti wajib melampirkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), tidak pernah terjerat kasus pidana korupsi, memiliki rekam jejak turun langsung mengabdi pada masyarakat dan, last but not least, tidak memiliki kerabat yang sedang menjabat di posisi strategis pemerintahan setempat. 

Kalau perlu, dan memang perlu, syarat pendidikan harus diubah dari minimal tamat SMA se-derajat menjadi minimal Strata 1 dengan IPK sekurang-kurangnya 3,0. Dengan menaikkan standar anggota DPRD seperti yang telah disebutkan, diharapkan para legislator memiliki kualifikasi secara moral dan intelektual sebagai representasi masyarakat yang ada di daerahnya masing-masing serta tetap menjaga nafas Reformasi yang anti-KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).

Kedua, cabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia (TAP MPRS) Nomor 25 tahun 1966. Eits, jangan emosi dulu. Usulan ini bukan berarti saya pro-PKI ataupun Komunisme. Tapi, saya beranggapan bahwa TAP tersebut membatasi diskursus perpolitikan Indonesia yang sekarang dikuasai oleh partai-partai berhaluan “Kanan” (Nasionalis-Agamis) dengan kebijakan ekonomi yang berpihak pada pemilik modal.

Silakan anda sebutkan partai mana yang tidak berhaluan Kanan? Bahkan partai “wong cilik” yang berkuasa selama 10 tahun terakhir menghasilkan produk legislatif pro terhadap kebijakan pemilik modal dan menggerus hak-hak pekerja seperti yang termanifestasi dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2022. Kalaupun ada partai yang pro terhadap pekerja, seperti Partai Buruh, mereka masih “berselimut” dalam narasi sosial-demokrat yang “pancasilais” dengan merujuk pada sila ke-2 dan ke-5. 

Narasi yang mudah untuk ditiru dan diklaim oleh partai-partai lain bahwa mereka juga beraspirasi hal yang serupa. Tidak ada partai yang benar-benar kritis terhadap pemerintah terkait kebijakan-kebijakan ekonomi ekstraktif-eksploitatif dan secara nyata berpihak pada kaum pekerja dengan diskursus politik yang konkret. Pelarangan ideologi Komunisme dan politk berhaluan “Kiri” atas dasar Gerakan 30 September ibarat melarang gerakan politik Islam atas dasar pemberontakan DI/TII. 

Sesuatu yang tidak objektif maupun solutif dalam jangka panjang. Mengingat keputusan tersebut digunakan Soeharto untuk membasmi lawan politiknya dan sebagai tanda keberpihakannya kepada Blok Barat di tengah berkecamuknya perang dingin. 

Sekali lagi, bagian ini bukan untuk meng-endorse komunisme, melainkan opsi yang bertujuan untuk membuka diskursus politik selebar-lebarnya demi adanya keterwakilan kelas pekerja secara jelas berlandaskan teori politik yang konkret dalam penentuan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang ada di Indonesia.

Syarat-syarat yang telah saya sebutkan diatas sebenarnya mempunyai satu tujuan: yaitu pembuktian diri Presiden Prabowo Subianto bahwa ia bukan representasi dan tidak membawa aspirasi kebijakan Orde Baru. Jika ia tetap setia pada semangat reformasi, sebaiknya wacana penghapusan partisipasi publik dalam penentuan kepala negara/daerah ataupun politik harus dibuang jauh-jauh. Dan apabila ia ngotot dengan “evaluasi” sistem pemilihan, maka ia harus bisa menjamin bahwa para legislator perwakilan rakyat ialah orang-orang yang terkualifikasi dan membuka serta menjamin kebebasan diskursus politik di negara ini.

Kita pun sebagai masyarakat sipil wajib waspada dengan wacana beretorika agresif seperti apa yang telah diucapkan Presiden Prabowo. Kita perlu ingat bahwa Reformasi di Indonesia dibangun dengan keringat, bahkan darah masyarakat sipil. Kita perlu ingat bahwa rezim KKN Soeharto selama 32 tahun gagal dalam mensejahterakan tumpah darah Indonesia dan gagal dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara maju. Jangan sampai pengorbanan dalam menumbangkan The Smiling General dirobohkan begitu saja oleh The Dancing General.

Opini ini ditulis oleh Zain Aqil Hidayat, mahasiswa Prodi Sastra Inggris FIB Unmul 2018 sekaligus Koordinator Laboratorium Intelektual Humanawa 

DAFTAR PUSTAKA

Hasibuan, Ros Intan Hasinah. 2022. Efektivitas Pemilihan Kepala Daerah Melalui Dprd Dan Pemilihan Secara Langsung Oleh Rakyat Dalam Sistem Demokrasi (Studi Di Kota Medan)Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum. Vol 2 Nomor 3: 205-216.

Weismann, Itzchak, and Fruma Zachs, editors. Ottoman Reform and Muslim Regeneration: Studies in Honour of Butrus Abu-Manneh. Bloomsbury Academic, 2005.