Kebangkitan Nasional Dalam Arti Sebenar-benarnya

Kebangkitan Nasional Dalam Arti Sebenar-benarnya

SKETSA – Hampir empat dekade sebelum Indonesia merdeka, doktor Soetomo telah lebih dulu merintis jalan melawan keterjajahan. Caranya? Ia pakai sebuah metode elegan. Per 20 Mei 1908, berdirilah sebuah organisasi barbasis sosial, ekonomi, kebudayaan, namun tak bersifat politik: Boedi Oetomo.

Tanggal berdirinya organisasi pemuda ini akhirnya mengilhami tercetusnya peringatan sakral: Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Tahun 2017 kini, usia Harkitnas sudah amat tua: 109 tahun. Inilah salah satu momen sakral menapaktilasi gigihnya para pejuang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Pasca merdeka, menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara jadi pekerjaan yang tak mudah dikelola. Masihkah momen sakral Harkitnas memberi kesan bagi seluruh elemen masyarakat kini? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Namun dari beberapa indikator, ada kesan ‘ironis’ yang seketika menyeruak.

Gonjang-ganjing dagelan politik dalam proyek e-KTP, melunturnya esensi Bhinneka Tunggal Ika di tataran masyarakat, penistaan agama yang mendorong aksi berjilid-jilid, hingga kasus penistaan Pancasila. Kabar buruk itu akhirnya ‘terbiasa’ mengisi pola pikir masyarakat, minimal dalam kurun dua tahun terakhir.

“Sekali lagi, negara (berasas) Pancasila itu sudah final. Tidak boleh dibicarakan lagi,” tegas Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Tanjung Datuk, Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (19/5/2017). Orang nomor satu di Indonesia itu, kini juga mulai panas dengan runyemnya kondisi yang ada.

Jokowi kini merasakan peliknya menjaga keutuhan NKRI. Laksana arungi lautan penuh ombak dan petir, bahtera yang dinakhodainya mutlak terombang-ambing. Digoyang oleh ombak, diancam oleh petir. Jalan penuh bahaya harus dipilihnya agar target berlabuh di daratan bernama Nawacita terlaksana segera.

Bersamanya, banyak awak tak kompak satu suara. Satu berteriak nasionalis, satu berteriak ideologis, satunya lagi berteriak agamis, lainnya berteriak dilematis. Kapal tentu saja gaduh, amat gaduh. Adakah mudah sang nakhoda bernama Jokowi mengondusifkan mereka? Tentu tak mudah.

Jokowi tak sendirian mengalami getir menakhodai bahtera NKRI. Sebelum dia, enam nakhoda lain sudah dapat cobaan serupa, meski intensitas cobaannya tentu saja beda-beda. Toh juga sama tujuan yang ingin dicapai, yakni mengejar cita-cita yang termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara di kalangan masyarakat adalah hal yang fundamental, dan Harkitnas bisa saja mereuni momen itu setiap tahunnya. Upaya mengejawantahkan kata “kebangkitan” apalagi dengan embel-embel “nasional” memang tak mudah, tak bisa setengah-setengah.

Pemerintah dan masyarakat harus disiplin menjunjung nilai-nilai Pancasila agar keutuhan berbangsa dan bernegara tak mudah diadu domba. Jika disiplin berjalan, lakukan komunikasi intens. Ini kunci agar segala prahara cepat di dapat jalan tengahnya.

Dan terpenting, cita-cita yang diharap para pejuang, para pendiri bangsa, hingga para nakhoda yang satu-satu telah berpulang menghadap-Nya, haruslah bisa terpenuhi. Pergerakan menuju cita-cita yang sama, insyaallah akan merealisasikan “Kebangkitan Nasional” dalam arti yang sebenar-benarnya. (mpr/sut/dan/wal)