Ibu Kota Baru, Bukan Ibu Ideal

Ibu Kota Baru, Bukan Ibu Ideal

Sumber: Istimewa

Hiruk pikuk pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim) menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia terutama warga Kaltim sendiri. Bagaimana tidak? Pasalnya Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor telah menyatakan kesiapannya untuk menjadikan Kaltim sebagai ibu kota baru.

Dalam kesempatannya ketika diundang pada sebuah acara TV ILC (Indonesia Lawyers Club), Isran Noor menyatakan bahwa pemerintah dan masyarakat Kaltim telah siap. Beliau mengatakan, “Kalimantan Timur memiliki posisi yang sangat strategis, yang kedua di sana kita melihat peran terhadap negara sudah cukup besar. Setiap tahun DRB Kalimantan Timur menyumbang pada PDB Nasional dari sumber daya alam masih yang terbesar.”

Namun, rasanya sangat tidak memungkinkan jika melihat kembali kondisi Kaltim saat ini dengan segala problematikanya terkait dengan sumber daya alam yang masih menyisakan persoalan tanpa solusi. Salah satu permasalahan tersebut terkait dengan tambang. 

Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah. Dari beberapa wilayah penghasil batu bara yakni Aceh, Sumatera dan Papua, Kaltim juga termasuk provinsi penghasil batu bara yang cukup besar di Indonesia.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bahkan menyebutkan bahwa Kaltim memiliki potensi 42,54 miliar ton batu bara, dengan cadangan sekitar 12,45 miliar ton dan produksi mencapai 235,80 juta ton.

Namun, Kaltim dianggap telah gagal mengelola sumber daya alamnya menjadi kesejahteraan rakyat melainkan justru mencekik dan menjadi petaka maut yang mematikan secara perlahan. Bagaimana tidak? Kekayaan alam yang dieksplor dan dikeruk untuk mencukupi dan memberikan kehidupan yang layak, kini justru menjadi musibah bagi masyarakat.

Kekayaan alam batu bara di Kaltim mampu menarik dan mendatangkan sejumlah perusahaan besar untuk berlomba-lomba melakukan aktivitas pertambangan. Kini, semakin banyak hutan terkikis menjadi lahan pertambangan tempat perusahaan beraktivitas dan semakin banyak pula lahan dan hutan yang dieksploitasi.

Banyaknya perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan, maka banyak pula lahan yang digali untuk mengeruk batu bara. Dari aktivitas pertambangan ini, tersisa lubang-lubang tambang yang menganga yang dikenal dengan lubang maut. Selain menyisakan lubang maut, aktivitas pertambangan juga merusak lingkungan dan menyisakan duka mendalam di hati masyarakat.

Bagaimana bisa?

Dengan banyaknya lubang sisa pertambangan, kini menjadi sumber kepedihan dan kepiluan masyarakat. Hingga hari ini, lubang maut ini telah menelan sebanyak 34 korban tewas di lubang bekas aktivitas pertambangan.

Terkait dengan perizinan, Pasal 29 (1) butir (g) Peraturan Daerah Kaltim No.1 tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur tahun 2016-2036 menyebutkan bahwa di dalam pola ruang untuk kawasan budi daya, terdapat kawasan peruntukan pertambangan dengan luas 5.227.136 hektare, di mana peta kawasan ini termuat dalam Lampiran XII Perda tersebut. 

Lebih lanjut, Perda mengamanatkan arahan peraturan zonasi pertambangan di dalam Pasal 51(8) butir (b), bahwa arahan pemanfaatan pertambangan tidak menerbitkan perizinan baru untuk batu bara dan pada butir (d) menyebutkan arahan pemanfaatan pertambangan pada lokasi pemukiman tidak diizinkan kecuali harus mendapat persetujuan dan memberikan nilai tambah bagi masyarakat setempat melalui konsultasi publik dengan ketentuan jarak 1 kilometer dari pemukiman terdekat. 

Perda ini juga mengamanatkan pelarangan pemanfaatan pertambangan pada kawasan pertanian dan wisata yang sudah ditetapkan. Tentunya ini menjadi hal penting dan perlu perhatian khusus bagi Kaltim pada 20 tahun berjalannya Perda ini, bagaimana kemudian dapat terealisasikannya Perda ini.

Sangat jelas sekali, pemerintah sampai dengan hari ini belum mampu memberikan solusi konkret atas permasalahan tambang. Terbukti dengan banyaknya korban lubang tambang yang sampai saat ini sudah mencapai 34 orang yang tewas dalam lubang sisa galian tambang. Bahkan celotehan yang disampaikan oleh Isran Noor saat diwawancarai wartawan berkata, “Gak masalah, nasibnya kasihan, turut prihatin”, “Namanya nasibnya dia meninggal di kolam tambang”. Apakah ucapan beliau ini memberikan solusi? Sama sekali tidak.

Sampai dengan hari solusi yang diberikan pemerintah tetap minim. Dengan aktivitas tambang yang terus berjalan dan lubang bekas galian tambang semakin banyak. Selama tak ada solusi, lubang bekas galian tambang itu akan terus menjadi lubang maut yang akan meregang nyawa korban selanjutnya.

Tragedi di bawah kepemimpinan gubernur ini semestinya bisa mendapat perhatian yang serius. Namun, sampai saat ini belum ada ketegasan sikap atau pun solusi yang diberikan yang sesuai dengan harapan dan ekspektasi masyarakat.

Ditengah riuhnya permasalahan tambang yang tak kunjungan menemukan solusi, kini  masyarakat digegerkan dengan pemindahan ibu kota ke wilayah Kaltim. Apakah ini menjawab permasalahan? Tidak. Kondisi tersebut hanya akan memperburuk kondisi lingkungan.

Jangan sampai akibat kelalaian pemerintah, masyarakat justru semakin dirugikan, dan yang katanya ingin menyejahterakan  masyarakat justru mencekik dan membunuh secara perlahan.


Hentikan atau korbankan.

Itulah pilihan yang ada saat ini.

Hidup Mahasiswa !

Hidup Rakyat Indonesia !

Hidup Perempuan Indonesia !


Ditulis oleh Rondongala Rismawati, Bendahara Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Komputer dan Teknologi Informasi.