Peringatan Hari Ibu yang ditetapkan pada tahun 1959 berdasarkan Keputusan Presiden No. 316 merupakan refleksi dari kongres 22 -25 Desember 1928. Dalam kata kongres tersebut yang artinya bergerak, berarti sesuatu yang aktif. Kita maknai bahwa pertemuan perempuan untuk merumuskan agenda gerakan bersama yang sudah direduksi jadi hari ibu. Pada kongres kaum ibu yang memasukkan dirinya secara penuh dalam perjuangan di wilayah publik dengan memberikan peran kaum ibu untuk perjuangan kemerdekaan, akses pendidikan bagi kaum perempuan, kesehatan, hak-hak buruh perempuan, pernikahan dini dan lainnya. Tidak berbicara soal peran domestik kaum perempuan yang hanya macak, masak dan manak. Hanya seputar sumur, kasur dan dapur. Tetapi kini peringatan hari ibu justru banyak diarahkan kepada hal-hal yang bersifat domestik seperti lomba rias, memasak, dll.
Pada tahun 1947, Soekarno dalam Sekolah Politik Perempuan di Yogyakarta pernah mengatakan bahwa ibu atau perempuan bukan hanya sekedar menciptakan peradaban dalam biologis. Makna hal yang kodrati menjadi bias ketika pergerakan perempuan hanya urusan domestikasi, yang mana dalam hal itu urusan berbagi peran. Hal itu juga sudah dibahas mendalam dalam emansipasi wanita yang sekarang kita kenal dengan kesetaraan gender. Dipertegas juga dalam kalimat Soekarno di buku Sarinah, tentang kewajiban wanita dalam perjuangan Rupublik Indonesia. “Wanita di dalam revolusi kita ini harus bersatu aksi dengan laki-laki, dan wanita pun bersatu aksi dengan wanita pula.” Yogyakarta 3 November 1947.
Rusaknya Ekosistem dalam Kehidupan Manusia
Ibu adalah seorang perempuan yang telah melahirkan seseorang dan sebutan untuk perempuan yang sudah bersuami. Perempuan mempunyai rahim yang menjadi bagian dari sistem reproduksi wanita dalam mengandung dan melahirkan. Perempuan yang sangat erat kaitan dalam keberlangsungan anak yang dilahirkan. Mulai dari pertumbuhannya yang memerlukan makanan dari sumber daya alam yang ada hingga hal lainnya dalam urusan rumah tangga.
Diibaratkan oleh Renal (2008), perempuan itu adalah bumi. Bumi adalah Ibu Pertiwi yang menempatkan kedudukan bumi sebagai bumi kerahiman yang penuh kasih. Ia menjadi pelindung bagi segenap isinya termasuk manusia di dalamnya. Sebagaimana dalam ekologi Marx juga di jelaskan manusia adalah bagian dari alam. Sumberdaya alam tersusun oleh komponen biotik dan abiotik, dalam hal ini tanah merupakan bagian dari abiotic. Artinya penyusun dari ekosistem itu sendiri adalah manusia sebagai bagian dari komponen biotik.
Diilustrasikan oleh Candraningrum (2014), tanah itu ibu “Tedhak Siti”, yang dihargai dan dihormati, sebagai wujud ibu yang lain. Setelah keluar dari rahim ibu, anak-anak dilepaskan menuju rahim tanah, rahim bumi. Bumi sebagai organisme dan makhluk hidup.
Alam sebagai pengejawantahan prinsip feminim sengaja dimatikan dan seakan tak berdaya. Kita dapat lihat dalam siklus ekologik yang kian rusak. Alam sudah terdegradasi dan mengalami ketidakseimbangan dalam penghidupan mahkluk hidup. Dalam konteks ekologi, interaksi merupakan saling ketergantungan antara organisme dengan lingkungannya. Dalam hal ini berarti alam selalu berhubungan. Keberlangsungan hidup yang lestari berkelanjutan dapat diwujudkan. Kita lihat di dalam perempuan yang dianggap sebagai pemelihara alam yang memiliki keahlian emproduksi dan mereproduksi. Tetapi sejak adanya industri yang menghadirkan mesin, saat ini kondisi perempuan kehilangan peran produktifnya. Akumulasi kapital menciptakan kategorisasi pekerjaan yang semakin terfragmentasi dan rumit. Perempuan atau masyarakat yang melakukan aktivitas tani tidak dapat dilakukan lagi untuk kehidupannya. Disebabkan oleh pembukaan lahan untuk industri kehutanan, perkebunan, pertambangan dan pertanian komersial sehingga ruang produktivitas kaum perempuan dan masyarakat lokal mengalami penyempitan kuasa dalam hal lahannya. Peran perempuan tergantikan oleh mesin produksi yang pada dasarnya juga sangat mempengaruhi rusaknya ekosistem. Berdasarkan pengertian ekologinya, perempuan dan alam adalah hubungan yang tidak dapat dipisahkan
Revolusi industri di dunia yang pada awalnya didasarkan dalam pergantian tenaga manusia dengan tenaga mesin, dimulai dari sejak 1760 dengan munculnya konteks Home Industri hingga ke manufaktur. Bersamaan pula dengan revolusi agraria pada pertengahan abad-18 dalam hal penataan tanah. Era ini sebelumnya pekerjaan dilakukan masing masing individu di rumahnya, berlanjutnya tahun 1764 oleh James Watts di Inggris. Temuan James saat itu merupakan tenaga pendorong utama dalam mesin penggerak pada pertanian. Lalu dilanjutkan perkembangan era industrialisasi yang pesat hingga berpengaruh pada sosial politik dan ekonomi. Perkembangan industri menekankan suatu kebutuhan bahan dalam temuan temuan untuk meningkatkan produksi. Ilmu pengetahuan seakan berubah haluan dalam paradigmanya, seakan melegalkan hal yang merusak ekologi dengan dalih secara ilmiah. Pardigama ilmu pengetahuan yang dituntut untuk memuaskan kapitalis dalam hal memenuhi kebutuhan bahan baku dalam mesin produksi, mempercepat proses dengan menggunakan mesin hingga merubah pola pikir kita menjadi manusia yang serba cepat, pragmatis tanpa melihat dampak kemudian hari. Perempuan dalam hal ini sangat terkesampingkan dari peran sebelumnya dalam kehidupan. Begitupula dalam konteks pemahaman perempuan dalam belajar memahami sesuatu yang dibutuhkan kapitalis.
Krisis lingkungan hidup dan sumber daya alam tidak bisa dilepaskan dari ketidakadilan dan ketimpangan struktur penguasaan sumber daya alam. Tentunya dikuasai oleh korporasi dan difasilitasi oleh negara melalui berbagai kebijakan. Ini semakin diperparah dengan sama sekali tidak merefleksikan sisi pandang perempuan. Ide pembangunan telah menggeser kedaulatan perempuan dalam mengelola sumber daya alam dan menentukan pangan telah membuat pandangan perempuan tentang kehidupan menjadi kabur, bahkan oleh perempuan sendiri. (Khalid 2014)
Hal nyata dalam konteks kekinian di Kalimantan dalam hal ini kawasan hutan dan perairan digunakan untuk industri pertambangan seperti batubara dan sebagainya. Secara gamblang juga kita lihat hadirnya Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menopang kebutuhan bahan baku untuk proses produksi era perpanjangan revolusi industri. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terbaru 2017 menyatakan areal hutan produksi di Indonesia kini sebesar 68,84 juta hektar yang merupakan hutan konversi, produksi terbatas serta HTI. Adanya hutan produksi yang lahir dari pendekatan ilmu pengetahuan yang pada etikanya sesuatu yang merusak disahkan untuk melakukan suatu degradasi. Hingga lahan banyak yang dikonversi ke industri yang bersifat ekstraktif yang dengan fluktuasi perbaikannya sangat panjang atau bahkan tidak dapat diperbaharui seperti batubara dan migas. Berbagai macam eksploitasi alam terang-terangan dilakukan khususnya Kalimantan, hingga munculnya ke konversi lahan untuk HTI. Hal ini memperjelas ilmu reduksionis adalah asal mula krisis ekologis yang kian meningkat. Karena menyangkut perubahan alam sedemikian rupa sehingga proses-proses organiknya dan pengaturan serta kemampuan melakukan permudaan dirusak. Laju deforestrasi ini sebenarnya suah jelas kita lihat dalam kehidupan ini seprti dalam hal mitigasi iklim, bencana alam dan sulitnya memperoleh air bersih di era penuh keilmuan dan teknologi ini. Dalam ekosistem kehidupan makhluk, bukan hanya flora dan fauna yang terancam tetapi kehidupan manusia juga. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga terdapat sekitar 82,5 % kehancuran ekologi, perampasan lahan dan konflik sumberdaya alam disebabkan oleh korporasi, pemerintah dan aparat keamanan. Perempuan merupakan kelompok yang paling rentan dari berlangsungnya krisis ekologi, dikarena pembangunan yang saat ini digaungkan adalah pembangunan yang tidak ekologis. Paradigma-paradigma pembangunan yang tidak ekologis
Perkembangan Kaum Ibu untuk Ekologi
Perempuan dalam memenuhi kebutuhannya sebelum revolusi industri dengan bercocok tanam dalam pertanian yang sekaligus menjadi cerminan bahwa perempuan juga sekaligus menjadi sejarah penemu dalam konsep pertanian. Ekonomi subsisten, yang memproduksi dan mereproduksi kekayaan secara kemitraan dengan alam. Di samping itu juga dengan perkembangan domestikasi perempuan juga berperan sebagai perusak ondisi ekologis suatu wilayah yang tak dapat dikontrol,
Rusaknya ekologi dipengaruhi oleh Ibu dalam keluarganya dan kehidupan sosialnya. Samarinda khususnya, kondisi perkotaan tata kotanya tidak tertata dengan logika ekologi yang seimbang. Banyaknya bangunan yang tidak memperhatikan amdal secara wujud nyata yang terdekat kita lihat adalah tercemarnya sumber vital hidup yaitu air. Air ataupun sungai adalah sumber kehidupan. Sub Daerah Aliran Sungai (DAS), Sungai Karang Mumus yang panjangnya sekitar 34 km mengelilingi liku Samarinda dari hulu hingga hilir Sungai Mahakam saat ini diperkosa secara massal oleh masyarakat samarinda dan dilegalkan oleh penguasa kebijakan. Air Karang Mumus yang dikonsumsi sebagai bahan baku air minum, mandi, jalur transportasi dagang, serta tempat pembuangan sampah warga. Sungai Karang Mumus yang merupakan kumpulan dari beberapa sumber mata air dan air hujan. Banyaknya perempuan yang membuang sampah ke sungai sudah menjadi kebiasaan dipertontonkan anaknya. Bahkan dalam kehidupan sosialnya menjadi suatu hal yang lumrah. Padahal Samarinda melahirkan ribuan wisudawan mahasiswa/i di tiap tahunnya dari berbagai disiplin keilmuan. Seperti jurusan Kesehatan Masyarakat, Tehnik Lingkungan, Pertanian, Kehutanan dan Sosial Budaya yang harusnya dapat lebih peka terhadap lingkungan. Seolah ilmu pengetahuan yang didapat di perkuliahan tidak telihat dalam dunia nyata untuk bermasyarakat.
Perempuan merupakan ahli dalam hal pengetahuan holistis dan ekologis mereka. Terutama tentang proses alam reduksionisme yang menyeluruh dapat tercapai ketika alam dikaitkan dengan sebuah pandangan tentang ekonomi. Uang menjadi satu-satunya ukuran nilai dan kekayaan.
Konsep pertanian ilmiah membuat posisi perempuan menjadi sangat rentan terhadap akses dan ketersediaan pangan bahkan dapat berpotensi terjadinya kelaparan. Dalam banyak kasus, bagaimanapun hierarki kelas, kasta, ras dan gender masih dipertahankan oleh sebagian orang. Melalui kontrol diferensial atas dan akses ke pangan (Goody 1982 dalam Counihan, 1998). Alhasil, perempuan memiliki keterbatasan akses terhadap pangan karena terbentur pelembagaan hierarki berdasarkan klasifikasi gender, kelas, dan lainnya. Ditambahkan Lewin (1943), bahwa perempuan sebagai “gatekeeper” pangan didalam rumah tangga. Sementara perempuan mungkin memiliki tanggung jawab atas penyediaan pangan, “Bertanggung jawab tapi tidak memiliki kontrol atas pangan itu sendiri” yang mungkin sebenarnya berada di tangan laki-laki (Counihan, 1998).
Peran perempuan yang sangat cepat mempengaruhi sumber daya alam, mulai dari usahanya dalam mempertahankan keberlangsungan ekologi dari kaum kapitalis yang semakin memberanguskan sumber daya alam. Kita lihat kenyataan-aksi penyelematan lingkungan hidup seperti yang dilakukan Wangari Maathai, pelopor gerakan penanaman pohon secara serentak dan seluruhnya dikerjakan oleh perempuan.
Di India kita mengenal gerakan yang diinisiasi oleh perempuan Chipko, sebuah gerakan yang lahir dari aksi penyelamatan pohon-pohon keramat yang hendak ditebang dengan cara memeluknya. Gerakan ini tercatat sebagai gerakan penyelamatan lingkungan hidup pertama di dunia dan menjadi booming. Sebab tedapat ekologi dan keberanian perempuan mempertahankan sesuatu yang penting yang dalam penilaian konteks kulturalistik dan keramat, yakni pohon Khejri, sebagai simbolisasi penting dari etika kerahiman. Di Indonesia kita lihat ibu-ibu Rembang yang di Jawa Tengah yang berusaha berjuang mempertahankan kehidupannya.
Peran Ibu dalam hal ekologi sangat berpengaruh mulai dari hal terkecil dalam rumah tanngga hingga ke edukasi terhadap keluarga dan keturunannya sebagaimana keluarga adalah struktur terkecilnya. Ibu sebagai pengontrol ekologi dalam kehidupan yang berdampingan antara manusia dengan tumbuhan dan hewan. Peran ibu dalam konteks ilmu atau edukasi kepada anaknya sangat penting seperti menjaga lingkungan.
Perempuan saat ini harus melek politik, advokasi ekologi, dan progresif untuk untuk keberlangsungan hidup. Baik itu kaum ibu maupun mahasiswi, harus membuka ruang bersama dengan lelaki. Karena lelaki dan perempuan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan untuk kemajuan pergerakan bersama. Perempuan yang melek politik dam arti sebagai formulasi terstruktur dalam sistem keberpihakan masyarakat. Penyadaran yang hakiki dengan tidak hanya ruang diskusi, seminar dan talkshow seperti agenda-agenda organisasi jaman now, yang banyak berkedok publik untuk popularitas sedang hal yang substansi tak terjamah. Advokasi ekologi yang progresif dalam arti mengejawantakan solusi dalam bentuk aksi nyata tidak hanya konteks teoritik tanpa ada penyadaran dalam konteks perwujudan praktek dalam kehidupan tatanan masrayakat.
Perlu adanya restorasi dalam lintas sektor dalam di jaman now, mulai dari restorasi ekosistem, sosial dan ekonomi. Mari kita andil mempercepat pemulihan alam ini agar kita tetap hidup berdampingan.
“Wahai kaum intelektual, kamu belajar dari alam, bukan alam yang kamu ajari.”
Ditulis oleh Fitriyani Sinaga, Mahasiswa Fakultas Kehutanan.