Debat Kandidat Ricuh (Lagi) Akibat Kebodohan yang Tiada Henti-hentinya

Debat Kandidat Ricuh (Lagi) Akibat Kebodohan yang Tiada Henti-hentinya

Debat kandidat Pemira BEM KM Unmul yang diselenggarakan Minggu (15/12) berakhir dengan kericuhan. Persoalan berkas administrasi paslon nomor 1 menjadi pemicu yang dipertanyakan oleh timses paslon nomor 2 kepada panitia pemira. 

Penyebab kericuhan ini tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada debat kandidat tahun lalu yang berakhir dengan keributan, bahkan parahnya pada tahun sebelumnya adu jotos menjadi penutup dalam pertarungan pemilihan Presiden BEM KM UNMUL.

Pertama, ini bukan hanya persoalan teknis administrasi semata, melainkan cerminan dari malasnya organisasi-organisasi mahasiswa dalam pembangunan kesadaran. Singkat kata malas membaca dan berdiskusi. Tapi, beranggapan mampu mengubah dunia.

Kedua, mahasiswa dihadapkan dengan pendidikan yang semakin mahal serta biaya hidup yang terus meningkat, hal ini yang menyebabklan mahasiswa dituntut untuk lulus secepat mungkin dengan IPK yang memuaskan. Ditambah dengan beban kuliah yang menyita waktu serta kurikulum yang jauh dari realitas yang ada.

Ketiga, event-event organizer menjadi wajib bagi setiap kepengurusan organisasi mahasiswa. Walaupun terdapat momentum untuk membangun gerakan (konsolidasi dan aksi massa). Namun tak jarang membangun sekat-sekat identitas dalam gerakan. Hingga pembangunan gerakan inipun tidak pernah menunjukan keseriusannya dalam melibatkan partisipasi massa luas dan konsistensinya. Di lain hal, sekretariat organisasi kini menjadi tempat ngerumpi, kumpul-kumpul main game online, belum lagi menjadi tempat pesta miras. Hal ini berperan dalam minimnya angka keterlibtan mahasiswa dalam organisasi.

Keempat, di tengah permasalahan dunia pendidikan yang kompleks ini. Gerakan mahasiswa bukannya melakukan pembangunan kesadaran melainkan melemahkan gerakan itu sendiri. Dalam dua tahun terakhir ini saja, kericuhan yang tolol akibat perebutan kerkuasaan dengan tajuk PEMIRA BEM KM UNMUL.

Maka tidak heran dalam perdebatan kemarin kita tidak menemukan akar permasalahan dari komersialisasi pendidikan yang memunculkan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT), padahal beberapa kali kedua paslon selalu menggunakan kata UKT. Hingga ancaman pengangguran kepada mahasiswa yang akan meninggalkan kampus. Ini belum lagi dengan tenaga kerja outsourcing di kampus dengan upah di bawah UMR.

Satu hal yang menjadi ironi adalah kericuhan ini buah dari perebutan kekuasaan Presiden dan Wapres BEM KM UNMUL. Namun bila kita telusuri, bagaimana mungkin BEM yang adalah bagian kebijakan NKK/BKK Orde Baru untuk melemahkan gerakan mahasiswa itu sendiri mampu menjawab permasalahan-permasalahan di kampus hingga luar kampus. 

Bisa saja bagi mereka yang terjebak dalam kericuhan-kericuhan yang tolol ini tidak mengetahuinya. Justru ketidaktahuan ini adalah buah dari kemalasan dalam membangun budaya membaca, menulis, hingga berdiuskusi. Ironinya, mereka menganggap kekuasaan yang mereka perebutkan mampu menjadikan dirinya sebagai super hero yang mampu menyelesaikan semua masalah.

Sudah saatnya kita keluar dari logika demokrasi sempit yang dua tahun terakhir malah menciptakan budaya yang tidak ilmiah berupa kericuhan hingga adu jotos. Membangun budaya ilmiah adalah pekerjaan mendesak gerakan mahasiswa itu sendiri. Membawa masuk realita ke dalam kampus sehingga kampus benar-benar menjadi wadah perjuangan buruh yang diupah murah, petani yang dirampas lahannya, perempuan yang rentan dilecehkan, diskriminasi kepada kelompok minioritas, hingga persoalan kerusakan lingkungan. 

Lebih lanjut, membangun partisipasi aktif seluruh mahasiswa sampai menuntut kedaulatan penuh oleh mahasiswa dalam setiap pembuatan kebijakan oleh birokrasi kampus. Bahkan, bukan hanya partipasi mahasiswa saja, namun seluruh elemen rakyat tertindas lainnya.

Sehingga kampus benar-benar menjadi wadah dan memberitakan perjuangan rakyat tertindas dengan budaya-budaya ilmiahnya. Bukan lagi memberitakan ketololan-ketoloan yang diciptakan oleh mahasiswa sendiri untuk merebut kekuasaan.

Ditulis oleh Fargu, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unmul.