Bukan Solusi, RUU Masyarakat Adat Justru Bukti Keterputusan Negara Dengan Rakyat

Bukan Solusi, RUU Masyarakat Adat Justru Bukti Keterputusan Negara Dengan Rakyat

Sumber Gambar: Website Pexels

Beberapa waktu ini layar media sosial saya sering dilewati dengan berita demonstrasi menuntut segera disahkannya RUU Masyarakat Adat. Ketika melihat itu saya langsung berpikir, lha, kok perlu undang-undang kayak gitu? Udah kayak zaman kolonial aja perlu diadakan legislasi yang mengatur hubungan antara para menir dengan pribumi! 

Mengapa saya berpikir demikian? Karena seingat saya, dan saya yakin teman-teman pembaca juga ingat, dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan semasa sekolah kita selalu diajarkan untuk menjunjung Bineka Tunggal Ika. Menjunjung perbedaan sekaligus persatuan. Bahwa kita bersatu karena kita berbeda dan karena berbeda maka kita bersatu. 

Selain itu kita juga diajarkan tentang demokrasi, bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Istilah kerennya sekarang ini vox populi, vox dei (suara rakyat ialah kehendak ilahi). 

Dengan demikian, seharusnya fakta bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam kepercayaan dan pemahaman kebudayaan tercermin dalam pemerintahan yang demokratis sebagai representasi dari rakyat Indonesia itu sendiri. Seharusnya, pemangku kebijakan juga memangku kebajikan dari nilai-nilai kebudayaan masyarakat yang ada sebagai pertimbangan serta haluan kebijakan dan pembangunan negara. 

Jika semua itu diterapkan, lantas mengapa usulan pengesahan RUU Masyarakat itu muncul? Bahkan, RUU itu seharusnya tidak ada sama sekali! Tapi saya sadar negara kita ini seakan hobi untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak perlu. Begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, saya melakukan “riset” untuk membantah argumen-argumen saya sendiri yang saya tulis di paragraf ini.

Setelah melakukan riset kecil-kecilan, saya menemukan argumentasi diusulkannya RUU Masyarakat Adat ini adalah untuk melindungi, mengakui, dan menghormati masyarakat adat yang ada di Indonesia. Menurut Sandrayati Moniaga, salah satu komisioner Komnas HAM, dalam berita yang dilansir dari Tirto.id menyatakan, RUU tersebut berfungsi “menjembatani” negara dengan masyarakat adat yang ada di Indonesia. 

Argumentasi ini, yang saya sebut pro RUU, justru menambah pertanyaan di kepala saya, apakah negara sudah tidak melindungi, mengakui dan menghormati masyarakat adat? Apakah negara dan masyarakat adat sudah terpisah sejauh itu sehingga perlu ‘jembatan’ yang menghubungkan mereka? Lalu, apakah selama ini negara tidak hadir dalam hidup masyarakat adat yang juga merupakan warga negara Indonesia itu sendiri? 

Dari ketiga pertanyaan tersebut, saya hanya mendapat jawaban untuk pertanyaan yang terakhir. Situs berita VOA Indonesia melansir pendapat seorang pakar Hukum Agraria dan Hukum Adat, Dr. Aartje Tehupeiory, yang menyatakan bahwa regulasi pengakuan eksistensi masyarakat adat memang sudah ada. Namun berbenturan dengan investasi, terutama pasca disahkannya UU Ciptaker (lagi-lagi kita kembali ke UU ini tapi tidak akan saya bahas lebih jauh). 

Jawaban ini membuat saya menggelengkan kepala. Lagi-lagi negara berpihak pada investor dan sekelompok pemegang modal dengan mengesampingkan kehadiran masyarakat yang justru merupakan tonggak berdirinya negara ini. 

Jika berbicara lebih jauh lagi, jawaban tersebut seakan memperkuat kecurigaan saya selama ini bahwa negara menggunakan keanekaragaman tradisi dan kebudayaan hanya sebagai ajang pamer dan hura-hura. Praktik kebudayaan hanya dilestarikan demi sekadar menjadi hiburan orang-orang kaya yang ingin menghamburkan uang dan diperlakukan layaknya pelacur. 

Kembali ke dua pertanyaan saya yang belum terjawab sebelumnya, mungkin bisa saya jawab dengan “ya” dan “ya.” Ya, negara sudah tidak tahu dan tidak mau tahu dengan masyarakat adat. Ya, negara perlu “jembatan” dengan masyarakat adat karena ia telah tumbuh menjadi entitas yang seutuhnya berbeda dari asalnya.

Kendati demikian, saya tetap menolak RUU Masyarakat Adat ini. Saya menolak masyarakat adat dan segala keluhuran tradisinya dijadikan entitas terpisah dari negara, sehingga perlu diregulasi sedemikian rupa. Saya menolak RUU berbau neo-kolonialis yang mengatur relasi antar pemerintahan dan masyarakat lokal. Apalagi disusul dengan wacana absurd seperti pendirian sekolah masyarakat adat, seakan kita hidup di zaman kolonial Hindia-Belanda. 

Saya juga menolak RUU ini karena hanya menyelesaikan permasalahan negara-masyarakat adat secara dangkal tanpa melihat akar rumput dari permasalahan itu sendiri, yaitu absennya masyarakat adat maupun nilai-nilai yang mereka pegang dalam penentuan arah suatu kebijakan. 

Jika RUU ini disahkan, apa sekiranya halangan untuk mengesahkan RUU yang diperuntukkan pemeluk agama-agama tertentu dengan dasar ajaran masing-masing? Apa halangan untuk mengesahkan RUU yang diperuntukkan untuk ras-ras tertentu dengan alasan historis masing-masing? Dengan demikian, apalah makna sejati dari NKRI jika masing-masing kelompok mempunyai otonomi tersendiri untuk mengatur dirinya masing-masing?

Solusi yang saya tawarkan ialah perlunya partisipasi masyarakat adat secara resmi dan inklusif pada tiap-tiap pembentukan regulasi, baik itu regulasi yang menyangkut hukum, sosial, pengelolaan sumber daya alam, dan sebagainya. Sehingga nilai-nilai luhur universal yang ada di dalam kebudayaan masyarakat Indonesia dapat terimplementasi secara nyata. Bukan hanya sebagai semboyan-semboyan yang menempel di logo-logo dan acara-acara resmi pemerintahan. 

Hal tersebut juga berlaku untuk lembaga atau organisasi nonpemerintah yang saya perhatikan sering menggunakan diksi-diksi bahasa asing, seperti bahasa Inggris atau Sansekerta. Tindakan tersebut semata hanya supaya terlihat keren tanpa pemaknaan yang mendalam. 

Perlunya kesadaran dari pemangku kebijakan bahwa pembangunan di atas penggusuran dan eksploitasi kebudayaan bukanlah sebuah kebajikan. Perlunya pergerakan dari seluruh elemen masyarakat sebagai bentuk kesadaran dan eksistensi bahwa sejatinya rakyat adalah pemegang kedaulatan negara yang tertinggi. 

Dengan demikian, orientasi kebijakan negara mesti kembali ke haluannya seperti yang termaktub pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “memajukan kesejahteraan umum”, bukan kesejahteraan segelintir kelompok.

Opini ini ditulis oleh Zain Aqil Hidayat, Koordinator Laboratorium Intelektual Humanawa, Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris, FIB Unmul 2018