Ayo Rebut Demokratisasi Pendidikan (Bacaan Wajib Mahasiswa Tingkat Akhir)

Ayo Rebut Demokratisasi Pendidikan (Bacaan Wajib Mahasiswa Tingkat Akhir)

Pendidikan saat ini dianggap sebagai jalan untuk membebaskan dari jeratan keterbelakangan finansial bagi pemangku kepentingan. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena saat ini kita seakan “dipaksa” untuk membayar mahalnya biaya pendidikan tinggi, padahal kita berada di lingkungan Perguruan Tinggi yang non profit oriented. Pendidikan merupakan tanggung jawab negara,serta hak warga negaranya.Sehingga wajib hukumnya, negara menyediakan pendidikan tinggi yang terjangkau.

Mungkin saat ini kita bertanya-tanya, apakah pendidikan tinggi bukan lagi merupakan suatu hal yang dianggap penting bagi negara, sehingga negara leluasa memungut biaya pada warganya yang ingin merasakan pendidikan tinggi? Padahal kita semua tahu pendidikan merupakan aspek fundamental bagi kemajuan sebuah negara.

Sebenarnya apa yang diinginkan negara kita? Apa ia tidak mau melihat warganya pintar? Apakah negara tidak mau melihat bangsanya maju?

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sejatinya adalah perpanjangan tangan dari negara yang bertugas menyediakan public goods berupa pendidikan. Saat ini pendidikan mulai bergeser dari fungsinya. Seakan-akan pendidikan dijadikan sebuah komoditas yang layak diperjual belikan.

 

Neoliberal dan Mahalnya Uang Kuliah

Pasti banyak pertanyaan yang berseliweran ibarat virus yang menjangkit pendidikan tinggi kita. Virus tersebut bukanlah sebuah wabah yang kebetulan turun dari langit. Tetapi perkara tersebut merupakan konsekuensi logis dari penetrasi neoliberalisme ke dalam sistem pendidikan tinggi kita.

Mari kita buka secara historis. Kita mengetahui saat ini adalah zaman milenial. Negara kita sedang dilanda krisis “terpaksa” melakukan sebuah privatisasi besar-besaran mulai dari BUMN, kesehatan hingga ke ranah pendidikan.

Pertanyaan yang timbul mengapa harus membidik pendidikan? Dalam prespektif neoliberal (pendidikan dalam barang-barang publik lainnya) harus dilempar ke mekanisme pasar. Lalu, alasan yang sering dikemukakan, jika terlalu banyak dibebankan pada negara, konsekuensi logisnya akan membebani anggaran negara, atau negara tidak memiliki kemampuan untuk meng-cover seluruh biaya tersebut.

Alibi tersebut yang menjadi awal mula praktik politik dan neoliberalisme, bisa dikorelasikan dengan paham monoterisme Milton Friedman, terutama dalam bab pengetatan biaya sosial. Selagi memperkecil anggaran pengeluaran pemerintah yang tidak efisien atau pemborosan anggaran (seperti pendidikan, kesehatan, BBM dan layanan sosial lainnya), urusan tersebut harus diserahkan kepada individu.

Hasil dari kebijakan tersebut secara langsung merubah public goods menjadi private consumtion goods atau semi private goods. Implikasinya, muncul kondisi bahwa biaya-biaya pendidikan, kesehatan, BBM dan layanan sosial diserahkan kepada individu.

Oleh karena itu, praktik privatisasi barang-barang publik adalah landasan utama. Dengan demikian, semua aspek penunjang diprivatisasi. Semuanya yang dulu dibebankan kepada negara, tiba-tiba hanya bisa diakses secara individual oleh publik. Contohnya, pendidikan tinggi.

Beberapa contoh lain dari bentuk semi-privatisasi yang dilakukan negara, di bidang pendidikan tinggi dengan melengkapi status Unmul menjadi PTN Badan Layanan Umum (BLU), berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 51 /KMK.05/2009 tentang Instansi yang menerapkan pola pengelola keuangan BLU.

Ditambah saat ini pemerintah sedang memangkas kuota penerima beasiswa secara besar-besaran. Sejak itulah, negara sudah mulai tidak menyubsidi penuh biaya  pendidikan tinggi. Akibatnya, Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi momok yang sangat membebani pundak mahasiswa.

Kondisi ini diperparah setelah munculnya Peraturan Rektor Unmul No. 3 tahun 2016 yang menyebutkan, mahasiswa baru yang diterima melalui jalur seleksi SMMPTN langsung dikenakan UKT golongan 4 dan 5. Selain itu, menyambung polemik yang sedang bergejolak saat ini, UKT mahasiswa angkatan 2013 di atas semester 8 pun sedang diuji. Ternyata, kampus pun jarang melakukan transparansi terkait untuk apa saja UKT yang mahasiswa bayarkan. Oleh karena itu, kita jangan terus-terusan woles dengan kondisi seperti ini.

Biasanya, mereka yang woles ini berasal dari keluarga yang tingkat ekonominya mapan, sehingga tidak ingin repot dengan masalah ini. Anehnya, malah ada mahasiswa yang tingkat ekonominya menengah juga turut mendukung kebijakan kampus ini.

Mereka terpatok dengan logika “tidak apa-apa lah seperti itu, toh fasilitas yang kita terima sesuai".Hal ini sangat ironis, karena sebenarnya mereka lupa bahwa kita sedang belajar di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang seharusnya negara menjamin akses kita terhadap pendidikan tinggi.

Ia telah lupa bahwa, pendidikan harus sesuai konstitusi. Kita berhak mendapatkan pendidikan tinggi yang dijamin oleh negara. Logika yang diajarkan neoliberalisme memang tidak pernah menganggap pendidikan adalah hak, sebab dalam kerangka neoliberalisme, pendidikan tinggi adalah jasa yang memerlukan pengorbanan tertentu untuk mendapatkannya. Prinsip tersebut adalah prinsip yang sekian lama telah dianut oleh bangsa barbar dari waktu ke waktu, bahwa homo homini lupus (manusia ibarat serigala, yang memangsa satu dengan lainnya).


Neoliberal dalam Kurikulum

Penetrasi neoliberal dalam sistem pendidikan tinggi kita tidak cukup dengan memaksa mahasiswa dengan membayar mahal ongkos kuliahnya. Neoliberal ternyata telah mengakar dalam sistem kurikulum pendidikan tinggi.

Apakah hal tersebut sebuah bentuk kesengajaan atau tidak, tetapi filsuf besar Perancis, Michael Foucault menyebut gejala itu sebagai governmentality. Maksudnya, kondisi dimana normalisasi paradigma (baca: neolib) kehidupan sehari-hari melalui aturan formal (baca: kurikulum).

Lantas apa bentuk konkret penetrasi neolib dalam kurikulum pendidikan tinggi kita? Bentuk konkretnya, kampus sengaja mendesain kurikulum agar sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja. Mata kuliah yang mengancam dan kritis dihilangkan, karena dirasa tidak berguna di dunia kerja.

Kampus yang awalnya menjadi tempat transfer of knowledge, serta kultur para intelektual pemikiran kritis, pun bertransformasi layaknya tempat pelatihan kerja, atau pabrik pemasok calon-calon pekerja yang siap untuk bursa pasar kerja.

Disamping itu lulusan akan menjadi lulusan yang efisien khas pasar (lulus cepat dengan IPK tinggi), dipuji-puji bak dewa, sedangkan mereka yang memiliki IPK menengah ke bawah dan tidak lulus cepat dipandang sebelah mata. Sehingga membuat mahasiswa berlomba-lomba mengejar lulus cepat dan nilai terbaik agar bisa dibilang berprestasi.

Padahal lulus cepat ber-IPK tinggi belum menjamin, apalagi tidak berkorelasi positif dengan soft skill-ya. Ditengah sibuknya jadwal perkuliahan, mahasiswa saat ini juga didorong untuk mencari “kesibukan” sebanyak-banyaknya hanya untuk mempertebal CV mereka. Guna menentukan harga jual mereka di bursa pasar kerja nanti.


Jadi Kita Harus Berbuat Apa ?

Apa yang harus kita lakukan setelah melihat kondisi pendidikan tinggi kita sedang sakit? Jawabannya, mari sama-sama rebut kembali pendidikan tinggi kita. Seperti apa menggeprek pendidikan tinggi? Dengan cara merebut kampus dan menyuarakan demokratisasi pendidikan tinggi secara penuh.

Demokratisasi kampus harus dilaksanakan, karena dalam hal ini akan dipandang sebagai subjek kebijakan bukan objek kebijakan. Mengingat demokratisasi kampus adalah langkah kita untuk mengawal serta berkontribusi dalam menentukan arah kebijaksanaan kampus.

Dengan cara ini kita akan mengetahui transparansi UKT yang setiap semesternya kita bayarkan. Kita akan tahu indikator kampus menetapkan besaran UKT kita. Terlebih, kita pun tahu uang sebanyak itu dipakai untuk apa? Apakah murni dikembalikan kepada sang pembayar?

Ataukah malah sebaliknya, digunakan untuk hal-hal yang berbau elitis? Dengan cara ini, kita akan mengetahui mengapa kita dididik seperti ini. Melalui demokratisasi kampus, kita dapat mengupayakan apa yang sebenarnya kita (baca: mahasiswa) inginkan dalam sistem kurikulum.

Melalui demokratisasi kampus, kita akan mampu mengembalikan marwah kampus, sebagai perpanjangan tangan dari negara menjamin pendidikan tinggi yang terjangkau. Tak kalah pentingnya, dengan demokratisasi kampus kita dapat menyingkirkan neoliberalisme di bidang pendidikan.

Pada titik inilah, apa yang dimaksud dengan “mengabstraksikan problem konkret". Ketika, kita mengetahui apa logika yang ada dibalik sistem pendidikan kita, maka arah dan tujuan menjadi jelas. Oleh karena itu, kita harus melawan logika yang sedang digunakan oleh para pemimpin perguruan tinggi kita.

Sebab, selama logika umum yang digunakan adalah logika neoliberal, maka selama itu pula sistem pendidikan kita mengikuti logika tersebut. Semua ini tidak akan terwujud, apabila tidak ada kesadaran dari kita (baca: mahasiswa),yang merasa ditindas dengan sistem pendidikan kita melalui kebijakan UKT.

Upaya-upaya tersebut tidak akan membuahkan sebuah perubahan ketika kita tidak bergerak secara kolektif. Maka oleh karena itu teruntuk saudaraku yang ditindas, bersatulah kita lawan kezaliman, yang menjangkit perguruan tinggi kita!


Sumber referensi: 

[i]. Wibowo dan Francis Wahono. 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas

[ii]. Nugroho, Heru. 2002. Mcdonalisasi Pendidikan Tinggi. Yogyakarta : Kanisius

[iii]. O,neil, William F. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

[iv]. Jatmika, Sidik . 2008. Telaah Sosiologis Folklor Jogja. Yogyakarta : Kanisius

[v]. Al-Fadhil, Musa. 2016.Mazhab Pendidikan Kritis; Proses Humanisasi Pendidikan. Banda Aceh : Jurnal Mudarrisuna.


Ditulis Aditya Ferry Noor

Ketua BEM FEB Unmul 2016/2017