Sumber Gambar : Freepik
SKETSA – “You’re cancelled!” kalimat tersebut tampaknya tak asing bagi kita karena sering kita jumpai di media sosial, khususnya Twitter. Hal tersebut umumnya dikenal dengan istilah cancel culture. Hal ini kerap diibaratkan sebagai pedang bermata dua karena bisa berdampak positif dan berdampak negatif bagi seseorang.
Istilah cancel culture marak digunakan sebagai upaya untuk menyudutkan ataupun memboikot seseorang yang melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap ofensif dan problematik. Tidak ada definisi mutlak mengenai cancel culture ini, sehingga bisa dimaknai secara berbeda-beda bagi sebagian orang.
Tren ini dapat menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat, di mana sebagian merespons positif dan sebagian lainnya merespons negatif.
Cancel culture dinilai sebagai suatu budaya yang baik buruknya dapat dilihat dari bagaimana kebudayaan ini digunakan karena kita tidak bisa langsung menjustifikasi apa yang dianggap benar dan tidak benar.
Penting untuk mencari informasi mengenai suatu hal secara mendalam untuk melihat validitasnya karena tren ini bisa membuat seseorang mudah menghakimi dan mengadili orang lain.
Budaya cancelling acap kali memberikan dampak yang serius bagi seseorang terutama figur publik karena jika sudah di ‘cancel’ maka dapat memengaruhi kehidupannya, seperti rusaknya image baik di mata publik dan hilangnya pengaruh di ruang digital maupun nyata.
Tak hanya itu saja, dampak lain yang didapat dari cancel culture ini, yaitu terbentuknya sifat judgemental di dalam diri karena menilai perbuatan seseorang hanya dari subjektivitas yang kita percaya seperti dari media sosial dan omongan orang lain tanpa mengetahui kebenarannya.
Tren ini juga menjadikan seseorang sulit menerima perbedaan pendapat. Sebenarnya, tidak ada salahnya untuk memberikan pendapat yang kita percaya dan yakini benar, tetapi sebagai pribadi, tak bijak mengatakan bahwa apa yang kita yakini ialah sebuah kebenaran yang mutlak.
Sebaliknya, tren ini juga dapat memberikan dampak yang positif, seperti membantu meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai sebuah isu dan membantu korban penyintas ketidakadilan bersuara bersama-sama demi tercapainya suatu keadilan. Singkatnya, jika cancel culture dilakukan sebagai alat perubahan ke arah yang positif dengan tujuan dan alasan yang jelas, maka hal tersebut tidak ada salahnya untuk dilakukan.
Nah, sebagai warganet yang cerdas, sudah sepantasnya kita menerapkan etika dalam bermedia sosial untuk meminimalisir terjadinya cancel culture dengan memberikan kritik yang membangun, berpendapat menggunakan bahasa yang sopan, memastikan kebenaran suatu informasi, dan berhati-hati sebelum memberikan suatu komentar. (fsf/rst)