Sumber Gambar: Pexels
SKETSA – Di berbagai platform media sosial dewasa ini, algoritma memiliki peran krusial tersendiri. Apabila kamu menilai konten atau informasi yang hadir dalam lini masa media sosialmu sangat sesuai dengan preferensimu atau dalam tanda kutip ‘seragam’, maka itu adalah dampak dari filter bubble. Meski begitu, algoritma media sosial juga tidak terlepas dari berbagai risiko pengguna.
Algoritma tampak membantu sebagian besar pengguna untuk menyaring konten agar menyuguhkan konten relevan yang disukai pengguna, daripada unggahan konten secara acak. Singkatnya, algoritma di media sosial adalah cara menyortir unggahan di umpan pengguna, berdasarkan relevansi alih-alih waktu dan publikasi.
Di dalam teknis algoritma, terdapat machine learning yang mempelajari kesukaan pengguna dalam hal konten. Dengan demikian, tidak membutuhkan manusia untuk memperhatikan kesukaan setiap pengguna media sosial yang jumlahnya terbilang banyak.
Jejaring sosial memprioritaskan konten mana yang akan dilihat pengguna di umpan mereka terlebih dahulu, dengan harapan pengguna benar-benar ingin melihatnya. Bagi segelintir pengguna media sosial, tak berlebihan jika algoritma disebut-sebut mendatangkan pundi-pundi rupiah.
Ini berlaku ketika sebuah produk yang dipasarkan di platform, tak berhasil menjangkau algoritma kesukaan audiens. Dengan begitu, pemasar produk harus membayar sejumlah uang untuk mendorong konten agar bisa terjangkau audiens. Sebagian pemasar juga mengetahui media sosial memprioritaskan konten berbayar agar konten tepat kepada segmen yang dituju.
Sebagai anak muda, kamu bisa mulai mencoba menaikkan engagement rate di seluruh media sosial dengan mengajak audiens berinteraksi dengan akunmu. Di Instagram misalnya, riuh rendah audiens di kolom komentar hingga banyaknya likes yang diperoleh seseorang dapat meningkatkan popularitas konten di tab explore. Tak berbeda jauh dengan Instagram, Twitter juga kerap menunjukkan cuitan populer yang sedang viral berbasis topik yang biasanya kamu akses di lini masa.
Di lihat dari perspektif pemasaran digital, algoritma dalam media sosial dapat dikatakan lebih efektif terhadap iklan. Sebab para pengiklan dapat dengan mudah melakukan segmentasi pasar berdasarkan data yang terekam dalam machine learning. Tak heran, kamu akan lebih mudah menerima iklan terkait suatu produk yang kamu sukai dan bisa jadi mendorong kamu membeli barang secara spontan.
Pengguna media sosial yang tak memahami keadaan ini rentan untuk terperangkap dalam fenomena filter bubble yang penuh hoaks. Sebab perlu diingat, algoritma media sosial hanya menyaring konten berdasarkan preferensi pengguna dan tidak menjamin validitas suatu informasi. Maka besar potensinya ketika kualitas akun dan informasi di media sosial seseorang buruk, maka konsumsi itu yang terus-menerus diikuti oleh konsep swaatur dari algoritma media baru.
Salah satu yang merasakannya adalah mahasiswi Prodi Bimbingan Konseling 2021, Aisha Azizah Andriani Mahardika. Ia akrab dalam penggunaan media sosial sehari-hari. Meski dirinya mengaku sistem algoritma cukup membantunya dalam memperoleh informasi secara cepat, risiko atau kekurangan dari sistem algoritma tersebut tak disangkalnya.
“Kekurangan dari algoritma yang dapat saya rasakan yaitu kurangnya eksplorasi terhadap konten lain jika saja saya tidak mencarinya terlebih dahulu,” jelas Aisha melalui Whatsapp Senin (13/6). (lau/ani/nkh)