
Sumber Gambar: Freepik
SKETSA - Hari Pers Nasional, Minggu (9/2) kemarin bukan sekadar perayaan, tetapi pengingat pentingnya kebebasan pers sebagai pilar demokrasi. Pers yang bebas dan independen berperan besar mengawal transparansi, mengungkap ketidakadilan, serta memberi suara bagi mereka yang kerap terpinggirkan.
Namun, kebebasan pers di ranah mahasiswa masih menghadapi berbagai tantangan. Intervensi terhadap berita sering terjadi karena lingkupnya masih di dalam wilayah kampus, di mana ada berbagai kepentingan—baik dari birokrasi, organisasi mahasiswa, maupun pihak lain yang merasa dirugikan oleh pemberitaan.
Padahal, setiap berita yang diterbitkan telah melalui proses verifikasi dan menjunjung tinggi akurasi. Jika ada keberatan terhadap data atau kutipan, ruang diskusi selalu terbuka—termasuk melalui ‘Hak Koreksi’ dan ‘Hak Jawab’ setelah berita dipublikasikan. Sayangnya, intervensi yang terjadi sering kali bukan sekadar perbaikan substansi, melainkan bentuk kontrol terhadap narasi yang ingin disampaikan.
Pers mahasiswa (Persma) telah lama menjadi salah satu benteng kebebasan berekspresi di lingkungan akademik. Namun, di beberapa kejadian, Persma mendapat tekanan saat wawancara dengan narasumber. Efeknya bisa mengurangi keberanian untuk bertanya secara kritis.
Narasumber, terutama mahasiswa, juga sering meminta agar identitas mereka disamarkan karena takut terkena dampak dari pendapat yang disampaikan. Jika budaya diam (culture of silence) ini terus dibiarkan, kampus bukan lagi menjadi ruang belajar yang bebas, melainkan tempat di mana kritik menjadi langka dan ketakutan lebih dominan daripada keberanian.
Akan tetapi, di sinilah pentingnya Persma sebagai wadah pembelajaran jurnalisme yang kritis dan independen. Jika sudah terbiasa menghadapi intervensi sejak berada di lingkungan kampus, ini justru bisa menjadi latihan untuk menghadapi tantangan yang lebih besar di dunia jurnalisme profesional. (xel/ner)