SKETSA - Bertepatan 30 September lalu, kembali mengingat sejarah kelam bangsa Indonesia. Menjadi pelajaran dan demi mengingat tragedi itu, dibuatlah film Pengkhianatan G30S/PKI. Film G30S/PKI telah ditayangkan sejak 1984 dan menjadi tontonan wajib setiap 30 September. Lalu, September 1999, tepat empat bulan setelah Soeharto lengser, penayangan film ini dihentikan baik di TVRI maupun TV Swasta.
Tak heran banyak generasi muda yang tidak memahami sejarah kelam bangsa dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Belakangan pun, ramai beredar isu kebangkitan PKI. Momen September lalu memang pas untuk kembali mengenang peristiwa pahit itu, utamanya bagi militer Indonesia. Bahkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menginstrusikan untuk nonton bareng (nobar) film tersebut. Meski banyak juga tokoh-tokoh masyarakat, bahkan politikus yang berseberangan dengan sang panglima.
Mengutip di laman m.tribunnews.com, Gatot menyebut tujuan pemutaran Film G30S/PKI, bukan untuk mendiskreditkan siapa yang salah dan bukan untuk menumbuhkan dendam, tetapi memberikan gambaran jangan sampai peristiwa pahit dan hitam tersebut terjadi lagi.
Film Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin Chairin Noer itu, bercerita tentang pengkhianatan atau pemberontakan PKI. Serangan fitnah guna mengadu domba antara TNI dengan Presiden Soekarno berhasil memicu panasnya situasi kala itu. Letnan Kolonel Untung yang terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun, memimpin penculikan 6 jenderal dan 1 perwira menengah TNI Angkatan Darat.
Ketujuh korban tersebut di antara lain Ahmad Yani Jend. Anumerta, Donald Ifak Panjaitan Mayjen. Anumerta, M.T. Haryono Letjen. Anumerta, A.H Nasution Jendral Besar (namun berhasil lolos) dan tergantikan oleh Piere Tandean Kapten CZI Anumerta, Siswono Parman Letjen. Anumerta, Suprapto Letjen. Anumerta, terakhir Sutoyo Siswomiharjo Mayjen. Anumerta. Jenazah tujuh perwira TNI AD ini ditemukan dalam sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, tepat ketika TNI merayakan hari jadinya pada 5 Oktober 1965.
Tak ingin melewatkan momen itu, Kampus Benua Etam juga menggelar nobarnya pada Sabtu (30/9/2017) lalu. Pukul 19.30 Wita, agenda nobar digelar Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim (KAMMI) bekerja sama dengan BEM KM Unmul. Nobar di Halaman Rektorat Unmul tersebut, tak hanya dihadiri kalangan Unmul, adapula mahasiswa luar seperti Universitas Kutai Kartanegara dan Universitas Islam Malang. Pun orang-orang yang sekadar lewat menyempatkan diri untuk menonton film tersebut.
Nobar film G30S/PKI selesai jam 00.24 Wita, dilanjutkan dengan tanggapan dari penonton. Salah satunya Wahyudi, mahasiswa dari Universitas Kutai Kartanegara. "Komunis bisa dikatakan seperti pahaman Karl Max yang di mana mau merubah atau mengambil alih hak seperorangan menjadi milik bersama dan dikontrol pemerintah," katanya.
Kemudian Freijae Rakasiwi, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis ini mempersoalkan ketegasan Soekarno terkait tragedi itu. "Soekarno jelas tidak memiliki ketegasan di mana Untung (Letnan Kolonel Untung) juga merupakan antek Soekarno, haram hukumnya komunis untuk tumbuh kembali di Indonesia," ucapnya, kemudian menutup perbincangan singkat pasca nobar.
Namun, perlu diketahui pasca 30 September, tragedi lainnya terjadi pada Oktober 1965. Adanya penumpasan massal, pembuangan dan penangkapan kepada orang-orang yang diduga sebagai anggota PKI. Bahkan, yang tidak terafiliasi ke dalam PKI bisa menjadi korban.
Pembunuhan yang terjadi, baik kepada tujuh jenderal dan penumpasan massal anggota PKI dan korban tertuduh, tentu tidak dapat dibenarkan dari aspek kemanusiaan. Masyarakat, khususnya kaum muda mesti cerdas melihat sejarah dan juga berbagai sudut pandang lainnya. Agar tragedi kelam Indonesia tak berulang kembali. (kus/jdj)