
Sumber Gambar: Risna/Sketsa
SKETSA – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN ke-VIII di wilayah Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang, Desa Kedang Ipil, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kaltim. Kegiatan yang dihadiri oleh masyarakat adat, organisasi masyarakat, dan sejumlah akademisi tersebut dibuka pada Senin (14/4) kemarin.
Mengangkat tema “Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Pembangunan yang Merusak”, Rakernas AMAN ini akan dilaksanakan selama tiga hari ke depan hingga Rabu (16/4).
Rangkaian kegiatan yang dihadiri oleh peserta dari berbagai provinsi di Indonesia ini terdiri atas Pawai Adat, Dialog Umum, Konferensi Pers, Rakernas, serta Pameran dan Pagelaran Budaya.
Dimoderatori oleh Abdon Nababan, Rakernas AMAN menggaet sejumlah narasumber yang berasal dari pemerintah dan lembaga yang berkaitan dengan isu masyarakat adat. Narasumber tersebut di antaranya Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN Rukka Sombolinggi, perwakilan komunitas Masyarakat Adat terdampak IKN Dahlia, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yance Arizona, dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Provinsi Kaltim Puguh Harjanto.
Tidak hanya itu, acara tersebut juga mengundang Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Basuki Hadimuljono yang kemudian diwakili oleh Deputi bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN (OIKN) Alimuddin.
Keresahan Masyarakat Adat
Dialog publik dalam rangkaian Rakernas tersebut membahas dinamika pembangunan IKN serta tantangan dan harapan masyarakat adat di baliknya. Lambannya proses legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat menjadi salah satu isu yang diangkat.
Masyarakat adat menuntut adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka, dengan mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU masyarakat adat yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun.
Pengakuan yang dimaksud ialah dengan memvalidasi dan menghargai keberadaan masyarakat adat dan tidak merenggut wilayah adat mereka untuk kepentingan pembangunan.
“Memaksa pindah dengan kompensasi adalah memaksa. Pelecehan. Karena tidak ada pilihan,” tukas Rukka dalam konferensi pers, Senin (14/4).
Mereka juga menekankan adanya sebuah kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup mereka. Ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Rukka saat konferensi pers berlangsung.
“Seharusnya, yang wajib dilakukan saat ini di IKN adalah, hentikan semua kegiatan di IKN di tempat-tempat yang saat ini ada indikasi bahwa ada masyarakat adat,” tuntutnya.
Rukka menegaskan, jika pembangunan masih terus dilakukan di wilayah adat mereka, maka ‘pengakuan’ terhadap masyarakat adat akan dianggap tidak ada.
Sebelumnya pada dialog publik, Alimuddin menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi di Kaltim mengalami peningkatan setelah adanya pembangunan di IKN.
“Peningkatan pertumbuhan ekonomi Kaltim kurang lebih tujuh persen. Jauh di atas rata-rata nasional,” jelasnya.
Namun, realitanya, masyarakat suku asli di sana tidak merasakan peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut. Dahlia mengungkap, masyarakat kesusahan untuk mencari pekerjaan.
“Orang (suku) Balik-nya itu sangat kesusahan, apalagi anak-anak mudanya untuk mencari pekerjaan juga masih dengan persyaratan-persyaratan yang S-1. Itu yang sangat susah buat kami,” tutur Dahlia dalam konferensi pers, Senin (14/4).
Tidak hanya persoalan di atas, masyarakat adat turut menentang rencana pembuatan taman nasional di Meratus. Sebab, hutan di Meratus merupakan wilayah tempat mereka mengadakan berbagai ritual yang telah dijaga dan dilestarikan selama ini.
“Kami setiap tahun ini ada ritual. Membuka ladang, membuka hutan itu ada ritual. Jadi, kadak (tidak) bisa kalau dijadikan hutan nasional,” protes Mirdianto selaku Ketua Dewan AMAN Hulu Sungai Tengah pada saat konferensi pers berlangsung.
“Kami jelas, Kalimantan Selatan itu menolak bahwa adanya hutan nasional, taman nasional,” tegas Mirdianto.
Problematika lain yang disinggung dalam konferensi pers tersebut ialah pembunuhan tetua adat di Muara Kate yang hingga sekarang belum juga diusut tuntas.
Warga Dayak, Muara Kate Warka Linus menyampaikan, mereka masih terus berjuang agar kasus tersebut dapat menemui titik terang dan pelaku pembunuhan bisa ditemukan.
“Itu sangat menghina kita selaku orang Dayak. Orang tua lagi tidur karena kelelahan, dijagal,” seru Warka Linus.
Melihat berbagai permasalahan yang dialami oleh masyarakat adat ini, Rukka menyerukan, tidak dapat mengandalkan hukum. Ia mengatakan, masyarakat adat akan terus melawan hukum yang tidak adil dan bertentangan dengan hukum tertinggi, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD).
“Kita menolak tunduk pada hukum yang menindas. Dan di tengah-tengah situasi ini, kalau itu terus-terus dibiarkan maka kasus seperti ini akan (selalu) terjadi,” imbuhnya. (ali/myy)