Tilam Pengganti

Tilam Pengganti

WAKTUMU tidak lebih dari delapan jam sebelum pisau itu melumpuhkan cemburu di kepalamu. Kupersembahkan sepasang bantal dan kubalut tilam itu dengan seprai merah darah, warna kesukaanmu. Waktumu tidak lebih dari itu.

Tak pernah ada rindu yang semerindu ini. Setelah dua tahun benar-benar menempatkanku pada wadah yang melankoli. Katamu kau akan menemuiku besok, tapi:

“Jangan menghubungiku.”

Tanpa perlu dijelaskan aku sudah mengerti, kau tak ingin Si Gendut curiga, tapi kau selalu mengulang penjelasan yang sama seolah-olah aku akan ceroboh. Kau begitu serampangan dalam memaknai kebersamaan kita. Atau aku yang masih terlalu kekanakan dalam melihat hubungan kita.

Sayang, waktumu tidak lebih dari delapan jam. Tidurlah di sisiku sebelum matahari keluar dari timur.

Aku tidak menyangsikan ketika matamu tidak lebih dari delapan jam saja dapat kunikmati. Sudah sering kukatakan bahwa berilah aku waktu satu jam lagi untuk bisa bermalas-malasan bersamamu, di atas seprei merah darah kita, tapi kau selalu berkilah tentang Si Gendut yang tak mampu kau tinggalkan itu. Aku masih ingat ketika kau katakan bahwa ia sedang merengek minta dikeloni di atas kasur tanpa seprai itu. Padahal aku tahu, kau tidak betah berlama-lama di atas kasur tanpa seprai seperti itu.

Katamu “Cepat bikin gerah, bau ompol si kecil lagi” aku hanya tersenyum mendengar keluhmu. Bukankah selama dua tahun belakangan ini kau memiliki tilam baru yang dibalut seprai dengan warna merah darah. Warna kesukaanmu.

***

Datanglah sebentar, mungkin ada rindu yang belum selesai kita ramu bersama dua malam yang lalu. Bukankah rindu-rindu kita tidak pernah akan selesai. Bukankah Si Gendut selalu jadi penghalang kebersamaan kita. Kalau boleh memberi saran. Jangan pakai alasan yang sama lagi, mungkin Si Gendut sudah mulai curiga pada tilam barumu ini. Mungkin alasanmu mulai kusam. Tapi dia barangkali akan mencurigai rekan kerjamu yang suka pakai rok mini. Mana mungkin dia mengira tilam baru suaminya adalah aku.

Selesaikan saja dulu urusan alibi-alibimu dengan Si Gendut. Temuilah aku diam-diam setelah kau menidurkannya. Tidak masalahkan, jika kau pura-pura mencium keningnya. Ya, sekadar basa-basi. Toh, cinta memang suka berbasa-basi kan. Dia memang perempuan pintar bahkan dia sangat cepat naik pangkat. Tapi dia bodoh dalam merawat tilamnya. Tidak pernah pakai seprai.

Alasannya, “Aduh sayang, aku malas nyuci nanti juga diompolin Nala, kamu kan tahu aku sibuk. Nyuci aja cuma bisa sekali seminggu” kau ceritakan itu sambil menirukan suara Si Gendut. Dan aku selalu antusias setiap kali kau bercerita sambil memendam kepalaku ke dalam ceruk dadamu.

***

Kalau kau selalu menuntutku untuk menunggumu dengan batas waktu yang tak ditentukan seperti ini, mungkin aku akan segera berkunjung ke rumah sakit jiwa dalam waktu dekat ini. Kau tahu sayang, banyak sekali waktu yang kuhabiskan untuk menunggumu di atas tilam yang setiap hari kujemur, kalau-kalau kau datang tilam ini nyaman untuk kita tiduri. Tapi kedatanganmu tidak pernah setiap hari. Bahkan sudah dua hari kau tak memberi kabar dan kau tak membolehkan aku menghubungimu.

Kau pikir aku akan bertahan berapa lama lagi dengan permainan ini? Dua tahun, setahun, sebulan, atau sehari lagi?

Senyuman yang kusuguhkan mungkin mampu menentramkan jiwamu yang kusut. Namun tidak pernah bisa mewakili kondisi hatiku yang carut-marut. Kau lupa bahwa aku juga perempuan yang bisa menangis, meskipun aku tidak pernah menunjukannya di hadapan kedua bola matamu? Aku hanya perempuan yang bersedia membagi tubuh lelaki yang kucintai untuk wanita yang tidak pernah mampu untuk ditinggalkannya.

Dua tahun yang lalu aku terpesona oleh sepasang mata itu. Tajam sekaligus meneduhkan. Sebab, kepergian bapak membuatku tidak tahu mesti bagaimana menatap mata seorang lelaki. Tatapan itu seperti menelanjangiku, mungkin akulah yang lebih dahulu benar-benar menelanjangi diri. Bukan kau yang terlebih dahulu melepas segala kain yang membalut tubuhku.

Tak pernah aku senyaman ini ketika bersama lelaki. Bahkan kekasihku saat itu. Mungkin memang benar bahwa kita tidak pernah bisa memilih untuk menjatuhkan hati pada siapa.

Tak satu pun wejangan tentang percintaan yang ingin kudengar dan kulihat dalam kurun waktu dua tahun ini. Sebab hanya rasa bersalah dan kekosongan yang kuperoleh setelah mendengarnya. Sebab cinta yang kuyakini kebenarannya jauh lebih hebat ketimbang penghakiman atas perempuan yang rela menjadi kasur baru bagi lelaki yang sudah memiliki istri. Toh, lelaki itu jauh lebih mencintaiku ketimbang istrinya yang mungkin sudah melar dan menumpuk lemak di tubuhnya. Nyatanya setiap orang punya streotipenya sendiri tentang cinta, begitu pun aku.

***

“Dia sudah tidur. Ngorok pula,” seperti biasa kau berkata-kata sambil membenam kepalaku dalam dadamu. Aku hanya mendengar saat kau mengeluhkan Si Gendut yang kau tinggalkan di atas tempat tidur tanpa seprai itu. Aku juga tidak pernah uring-uringan untuk mendengarnya, bahkan aku sudah hafal dengan keluhanmu itu. Aku hanya prihatin dengan sepupuku itu yang semakin hari semakin berlemak. Sampai-sampai suaminya numpang tidur di tilamku.

“Aku suka mikir deh, dia kok gak mau diet ya? Seandainya dia mau, kamu gak mungkin bobo dan bikin aku jatuh cinta sama suaminya begini.[i]

“Biarpun jaga badan, aku mungkin tetap bobo dan tetap berhasil bikin kamu jatuh cinta sama aku. Saskara, mungkin kamu gak pernah tahu rasanya pacaran lebih dari lima tahun ditambah perkawinan yang sudah berjalan lima tahun.” Jawabanmu itu sudah cukup menerangkan tanpa perlu kau lanjutkan, intinya kau bosan. Dan aku hanya pelarian atas kebosananmu? Kalau memang begitu, kecupan di keningku hanyalah basa-basi? Mirisnya, aku harus mengasihani diriku sendiri lagi.

“Sayang, ngelamun lagi kan?”

Aku tersenyum dan kau membalasnya dengan kecupan di mata kananku kemudian melumat bibirku. Selalu begitu, karena aku selalu malas menjawab sergahanmu di antara lamunanku.

Sayang. Waktumu sudah habis, sudah kubilang kan. Berikan aku perpanjangan waktu satu atau dua menit lagi maka kau bisa lolos dari rinduku yang jahanam. Tidurlah di pangkuanku, kemudian nikmatilah sisa-sisa kehangatan yang tak pernah kita wujudkan dalam senyata-nyatanya kebersamaan.

Sekarang kau pasti mengerti, betapa bahayanya meninggalkan istrimu di rumah bersama perempuan yang selama dua tahun telah merelakan waktu dan tubuhnya untuk menjadi tilam pengganti.

Samarinda, coffeeshop dan kost, 2 Januari 2016 

Ditulis oleh Sesa Sariana, Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya 2013