Tak ada yang spesial dari sebatang pohon, tidak hingga aku mengenalmu dan merajut detik disaksikan sebatang pohon. Ini bukan kisah bahagia sepasang kasmaran di tengah hutan atau di tengah taman. Ini hanya sebuah kisah tentangku, tentangmu dan sebatang pohon di parkiran kampus. Tentu saja ada sedikit rindu dendam, cinta, senyum dan seiris luka.
***
Pagi itu aku terlambat bangun. Pukul tujuh kurang lima menit aku sudah memacu motor menuju kampus. Masih sepi. Tapi untuk memulai menulis rangkuman 1 bab buku dengan dua belas halaman folio bergaris ditambah 10 soal yang tidak kumengerti, sepagi ini terasa telat. Belum lagi aku harus mengambil buku yang tersimpan dalam loker di sekretariat lembagaku. Itulah mengapa aku menganggap diriku terlambat. Parkiran masih kosong, hanya ada seorang lelaki, duduk di motor dan sibuk dengan smartphonenya. Tempat yang bagus, karena dahan pohon yang rindang meneduhkan bagian itu. Aku parkir di sebelahnya. Buru-buru meletakkan helm dan bergegas ke kelas.
“Hei tunggu, kau belum mencabut kunci motormu.”
Aku berhenti, dan melihat ke belakang. Aduh, bodohnya! Sembrono membiarkan kunci motorku bergelantungan begitu saja. Sambil tersenyum menahan malu, aku kembali ke motor.
“Tak usah terburu-buru. Ini masih pagi, belum ada dosen,” kau tersenyum padaku.
Sebenarnya aku ingin mendiamkanmu saja, tapi rasa terimakasih membuatku membalas teguranmu.
“Kau sendiri sepagi ini sudah di sini? Mau nyontek ya?” ucapku sembarang.
“Aku menunggu teman. Jangan-jangan malah kamu yang mau nyontek? Sampai terburu-buru begitu?”
Ups, salahku berbicara tanpa berpikir. Sehingga apa yang aku ucapkan tak lain refleksi diriku sendiri. Terlanjur malu, aku bergegas meninggalkan tempat itu. Bahkan lupa mengucapkan terimakasih.
Pagi itu, ya pagi di bawah dahan pohon itu lembar kisah kita dimulai.
***
Esoknya aku berangkat kuliah pagi-pagi. Jam tujuh lewat lima belas menit sudah siap. Meskipun kelasku baru dimulai jam 10. Bukan, kali ini tak ada lagi tugas yang mesti ku contek atau rangkuman yang harus ku salin. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Apakah pagi ini kau tetap menunggu teman seperti kemarin? Salahkah aku ingin bertemu denganmu lagi? Lagipula aku masih berutang kata terimakasih.
Aku tidak kecewa, kau masih di tempat yang sama terlihat seperti menunggu seseorang. Kau mengenakan kaus berkerah berwarna abu-abu. Dengan sebuah buku di tanganmu.
“Hai, menunggu temanmu lagi ya?” Aku parkir di sebelahmu.
“Temanku sudah datang dari tadi,” jawabmu sambil menunjukan buku yang kau pegang.
“Kau meminjam buku temanmu setiap pagi?”
“Temanku yang meminjam dariku, jadi setiap pagi aku harus mengambilnya.” Jadi itulah sebabnya mengapa dia datang pagi-pagi.
“Kenapa masih di sini? Atau kelasmu baru di mulai siang ya?” tanyaku.
“Aku suka di sini. Ini tempat favoritku. Pohonnya bikin sejuk. Lagipula aku menunggu, seseorang yang lain.”
“Siapa?”
“Kamu.”
Aku terbengong bego. Sampai tak sadar bahwa kau sudah melangkah menuju kelas. Aku benar-benar bengong sampai lupa mengucapkan terimakasih yang menjadi tujuan utamaku menemuimu.
Selepas kuliah langsung pulang memang terlihat menyenangkan. Namun jauh lebih seru jika banyak kegiatan yang bisa kulakukan di kampus. Karena itulah aku memilih bergabung bersama BEM kampus, lumayan banyak hal yang bisa kulakukan setelah kuliah. Seperti siang ini, aku memilih duduk di depan sekretariat menunggu waktu rapat yang akan dimulai setengah jam lagi. Merasa bosan, langkah kaki membawaku ke parkiran. Aku duduk di motorku, benar katamu. Tempat ini tetap sejuk meski siang ini begitu terik. Dedaunan pohon yang lebat, meneduhkan sekitarnya. Pantas saja ini menjadi tempat favoritmu.
Tiba-tiba kau datang, mengejutkan. Duduk di motormu dan tersenyum.
Lalu kita bercerita banyak. Dari perbincangan itu aku tahu kalau kau adalah anggota himpunan jurusan, lalu kita sama-sama tertawa menyadari sekretariat lembaga kita ternyata bersebelahan namun tak pernah melihat satu sama lain. Kau bercerita perihal hobimu, mata kuliah kesukaanmu sampai lomba debat yang sering kau juarai. Dan aku bercerita mengenai kepanitiaan berbagai tingkat yang pernah ku ikuti. Apalagi yang bisa kuceritakan? Aku bukan penggemar kompetisi apalagi penggila prestasi. Aku cukup puas bersosialisasi dan menambah relasi. Dua orang satpam sejak tadi lalu lalang di depan kami. Patroli. Tapi itu tidak mengganggu obrolan, hingga kusadari aku sudah lewat jam rapat sejak satu jam yang lalu.
“Maaf aku harus kembali ke sekre,” aku menutup obrolan. Kita memang biasa menyebut sekretariat dengan sebutan sekre.
“Oh iya, aku lupa. Namaku Verda”
“Sukma”.
Semesta sepertinya mendukung kisah kita. Besok-besoknya aku selalu pakir di bawah pohon itu, begitupun kamu. Meski untuk itu aku harus datang pagi setiap hari. Sesekali motorku hanya sendiri, karena kau masih sering ikut lomba ini itu ke luar kota. Tapi tak masalah, karena kau akan selalu kembali ke pohon itu. Kita akan bertukar cerita di bawah pohon itu. Tak peduli betapa banyak rapat yang harus diikuti, seabrek tugas yang harus dikerjakan atau seberapa banyak kepanitiaan yang mesti disiapkan. Selalu ada waktu untuk berbagi.
Waktu melaju seperti peluru, hitungan hari sudah kita lewati di bawah pohon itu. Pohon yang akhirnya menjadi saksi tempat kita menyuarakan perasaan masing-masing. Pohon yang namanya saja aku tidak tahu. Kita biasa menyebutnya pohon parkir. Temui aku di bawah pohon parkir. Aku menunggumu di bawah pohon parkir. Atau aku melihatmu di bawah pohon parkir adalah kata-kata yang sering kita ucapkan hingga berbulan-bulan kemudian. Hingga dua orang satpam yang mungkin bosan melihat kita di sana. Tapi tak bisa melarang, karena apa yang kita lakukan cuma duduk di atas motor masing-masing.
Semua baik-baik saja.
***
Suatu pagi di hari Senin, aku datang dan pohon itu menghilang! Benar-benar menghilang karena helai dedaunan jatuh pun tak kelihatan. 2 orang satpam yang biasa lalu lalang merokok di pos satpam. Aku mendatangi petugas kebersihan yang kebetulan lewat. Ternyata pohon itu sudah ditebang hari Minggu. Alasannya dahannya sudah terlalu tua, merunduk terlalu dalam dan berpotensi membahayakan. Pihak fakultas tak mau pusing ambil risiko, memutuskan membabat habis pohon itu menyisakan sedikit akar yang mencuat takut-takut.
Aku terdiam di sana. Sekarang tempat ini terasa panas. Tak kulihat motor biru dengan helm hitam yang biasa parkir d situ. Kamu kemana?
“Aku parkir di depan sekre. Panas di situ,” jawabmu ketika kuhubungi via telepon. Ternyata tak cukup pohon itu saja yang menghilang. Kamu juga susah kutemui selepas pohon itu tak ada lagi. Jarang sekali aku menelponmu karena kita terbiasa bertemu langsung.
“Itu hanya pohon Verda, kita masih bisa bertemu di mana saja dan kapan saja. Aku memang sedang sibuk saat ini,” katamu menjawab kerisauanku.
Ya, itu hanya pohon. Bukankah kita sudah saling memahami perasaan masing-masing? Kamu sedang sibuk. Aku yang tidak mau mengerti.
Namun, berhari-hari setelah itu, kau makin susah ditemui. Aku tak terbiasa mencari ke sekretariatmu. Meski kau ada di sana, kaupun tak pernah berusaha menemuiku. Kabar darimu perlahan mengabur, kalau bukan aku yang bertanya duluan. Aku setia bertanya kabarmu melalui pesan-pesan singkat, walau tak jarang pesan itu hanya kau baca seperti koran. Aku masih saja menghibur diri, mengingat perjalanan kisah kita. Meski sekarang hanya aku yang berjalan.
“Maaf Verda, kita akhiri saja semua ini,” ucapmu suatu siang.
Saat itu aku bersiap pulang. Kumatikan kembali mesin motor yang baru kunyalakan. Menunggu kelanjutan kata-katamu.
“Aku terpilih menjadi ketua himpunan jurusanku. Aku tidak yakin bisa menemui lagi setiap hari.”
“Tak apa Sukma, aku tidak minta ditemui setiap hari. Lagipula apa gunanya hape?” aku berusaha mempertahankanmu. Karena aku tahu menjadi ketua jurusan hanyalah sebuah alasan.
“Semua sudah selesai Verda, aku tidak ingin melanjutkan. Kau hanya banyak terlalu terbawa perasaan setiap kali kita di bawah pohon parkir.”
Sekelebat memori bermain di kepalaku. Apa artinya semua ini? Salahku kah yang terbawa perasaan? Obrolan kita di bawah pohon parkir, senyumannya setiap pagi kala menungguku, kepanikannya saat aku sakit, usahanya untuk menenangkanku saat aku panik, bahkan obrolan tidak penting via telepon sepanjang 1 jam 7 menit 38 detik. Akankah semua bergulir tanpa makna?
“Terimakasih,” jawabku lirih.
Karena memang itu kata yang seharusnya ku ucapkan dari dulu. Harusnya pagi ketika aku lupa mencabut kunci motor itu, cukup mengucapkan terimakasih lalu berbalik. Sehingga aku tak perlu melihat senyum itu, tak perlu tahu betapa sejuknya pohon parkir itu. Sehingga keberadaan pohon parkir tidak ada bedanya. Sehingga aku tidak perlu sesakit ini.
***
Kawan, kalau kau sempat ke FEB coba tengoklah di belakang ruang 16. Di situ ada sisa akar pohon yang mencuat sedikit. Dihabisi tanpa ampun. Seperti perasaan kami yang menghilang terbawa pergi dalam setiap helai dedaunan. Tawa bahagia kami yang tersapu bersama rerantingnya. Jangan lupa lihat di samping sebelah kiri jejak pohon itu. Ada Motor merk Honda dengan jenis Vario 150. Itulah motorku yang saat ini sendirian saja parkir di situ. Tak ada motor biru seperti dahulu. Lalu rasakanlah, betapa terik tempat parkir itu. Bahkan 2 orang satpam yang biasa merokok di bawah pohon parkir tak pernah lagi ke situ.
Panas!
Ditulis oleh Rabi'atul Husna. Mahasiswi Akuntansi FEB 2015.