Panggilaku Bunga, alumni Fakultas Ekonomi yang dulu ingin menjadi HRD teladan. Saat itu, ketika menjadi mahasiswa baru, aku memilih masuk kelembagaan kampus di fakultasku yaitu BEM. Namun, kali ini aku ingin menceritakan tentang pintu sekretariat BEM-ku.
Kenapa aku menceritakan pintunya? Bukan anggotanya? Bukan kinerjanya? Bukan ruangannya?
Bukan. Ia menjadi saksi bisu kisahku saat itu. Terutama dengan sosok pria yang juga setara denganku, pria yang ramah, pria yang pernah membuatku berbunga-bunga, dan pria yang pernah membuatku kecewa karena telah menaruh hati padanya.
-----
Walau hanya menjadi pintu, aku sangat menyukai pekerjaanku, menjaga ruangan sekre saat tidak ada orang di dalamnya. Dan aku juga suka saat melihat aktivitas para anggota yang beragam. Ada yang bermain gitar, ada yang mendengarkan musik melalui handphone-nya, ada yang saling bermain game dengan smartphone mereka di tangan masing-masing, ada yang bergosip, ada yang numpang mengerjakan tugas, dan ada pula yang saling jatuh cinta dengan saling melirik walau jarak duduk mereka cukup renggang.
Oh, seseorang yang bernama Bunga itu datang kepadaku. Dengan khasnya sebelum dia masuk ruangan, bergelayutan di tubuhku sambil melepas sepatunya, kemudian memanggil satu nama anggota dengan nada seperti orang mabuk.
“Oh, Tangkai! Mau numpang meja belajarmu bentar!”
Orang yang dipanggil Tangkai pun hanya mendongakkan kepalanya dan menatap Bunga dengan cengo. Dipanggil Tangkai pun karena punya badan yang tinggi dan kurus, kadang aku merasa kasihan dengan badan kurusnya yang jarang makan nasi itu.
“Nggak boleh! Pake mejamu sendiri sana!” seru Tangkai.
“Ih! Cuma numpang bentar! Bentaaaar aja kok, ya?”
“Nggak!”
Yah, begitulah pertengkaran mereka yang berlangsung selama sepuluh menit, hanya karena satu meja lipat milik Tangkai.
-----
Sekitar tujuh bulan semenjak Bunga dan Tangkai resmi menjadi staf BEM, mereka pun semakin akrab dengan cara mereka, bertengkar. Mulai dari air minum Bunga yang dihabiskan oleh Tangkai, perkara rebutan meja lipat, saling menuduh jika jadwal piket mereka tiba, dan lain sebagainya. Namun, aku suka memandang mereka yang bertingkah demikian, layaknya para pasangan yang menikmati hubungan mereka.
Tapi suatu ketika aku menangkap sorot mata Bunga yang berbeda dari biasanya, dan tindakan yang dilakukan oleh Bunga selalu tertuju pada Tangkai. Kemungkinan Bunga menaruh hati pada Tangkai.
Dan aku juga melihat hal yang sama pada Tangkai, matanya selalu berbinar kala Bunga datang mengunjungi sekre, dan reaksinya pun berlebihan ketika Bunga memanggil namanya.
“Oi! Bunga!” seru Tangkai sambil melepas sepatunya. Tetapi Bunga hanya menatap sesaat, lalu melanjutkan membaca komik di tangannya.
Tangkai yang tidak suka mendapat reaksi demikian, langsung menghampiri Bunga dan merampas komik dari tangan Bunga.
“Kenapa sih?! Ganggu mulu!” seru Bunga sambil mencoba mengambil kembali komik dari tangan Tangkai.
“Bagus kamu ya, buang muka ke aku!” amuk Tangkai dengan memegang kepala Bunga.
“Rese! Sini komikku!”
“Jangan buang muka lah! Nanti aku nggak ada temen berantem lagi.”
“Apaan dah? Ribut! Sana kamu!”
Kemudian, Tangkai meninggalkan Bunga. Dan sesaat, aku melihat sedikit senyuman dari sudut bibir Tangkai, begitu pun dari Bunga.
-----
Aku masih ingat, saat itu hari Kamis pukul 8 malam dan para anggota BEM baru saja berhambur keluar setelah rapat koordinasi penyambutan mahasiswa baru. Aku juga ingat itu adalah jadwal piket Bunga dan Tangkai. Biasanya, mereka bertengkar dalu soal siapa yang mengumpulkan sampah tisu, namun kali ini mereka berdua terlihat akrab dan terus membersihkan ruangan tanpa bersuara. Setelah Tangkai selesai menyapu ruang depan, dia menaruh sapu di balik tubuhku dan mengambil tasnya untuk bergegas pulang.
“Tangkai! Tunggu bentar!” seru Bunga yang segera mengambil tasnya, lalu menyusul Tangkai yang sedang mengikat tali sepatunya didekatku.
“Ada apa?” tanya Tangkai sambil menatap Bunga.
“Gini, aku mau bilang sesuatu. Sebenernya udah lama aku su—“
“Tangkai, pulang yuk?” sosok wanita cantik itu datang menghampiri Tangkai, kemudian dia menggandeng lengan Tangkai.
“Ayo, sayang,” sahut Tangkai kepada wanita itu yang tak lain adalah kekasihnya. Seingatku, wanita itu dari UKM Tari, dan dia juga populer di kampus.
“Bunga, kami pulang dulu, besok aja kalo mau ngomong,” ujar Tangkai pada Bunga yang menatapnya sendu. Bunga hanya membalasnya dengan mengangguk.
Selepas Tangkai pergi, kulihat bulir air mata mengalir di pipi Bunga. Aliran itu makin deras seiring suara tangisan Bunga yang semakin nyaring namun tertahan.
-----
Empat tahun berlalu semenjak hari wisuda Bunga dan Tangkai, ruangan sekre berubah drastis dilihat dari ukurannya yang diperlebar dan aroma cat putih yang masih baru. Di dinding dekatku terpajang beberapa foto keanggotaan, termasuk foto saat beberapa anggota seangkatan Bunga dan Tangkai baru saja menyelesaikan acara yusidium mereka.
Walau aku sudah cukup lama menjadi penjaga ruang sekre dan beberapa kali melakukan perbaikan pada engselku, entah apa yang ada dipikiran sang dekan hingga ia tidak pernah memindahkan posisiku. Mungkin aku dirasa masih dapat dipercaya untuk tetap menjaga ruangan sekre BEM ini.
Hari itu, sekre sedang tidak ada orang dikarenakan masa liburan semester genap. Seseorang memegang lengan gagangku dengan lembut, dan mendorongku perlahan. Sosok wanita dengan pakaian kerja yang anggun melirik ke dalam ruangan sekre dengan hati-hati, mengamati sudut-sudut dinding dan juga foto-foto yang tergantung. Kemudian, wanita itu tersenyum kecil.
Kupikir ia mencoba masuk, tetapi ia malah bergelayut di tubuhku dengan pandangan yang terus memandang ke ruangan sekre. Ah, aku jadi rindu Bunga, pun rindu dengan kelakuannya.
“Bunga?”
Wanita yang dipanggil Bunga tadi tercengang melihat sosok yang memanggilnya tadi. Pria tinggi dan kurus, berambut klimis, memakai kemeja hijau tua yang dipadukan dengan celana panjang berwarna khaki. Sungguh, dia tampan dengan pakaian itu.
Dan aku masih mengingat wajahnya, itu adalah Tangkai.
Kulihat tatapan Bunga seperti pandangan orang yang sangat merindukan Tangkai. Tangkai hanya terkekeh melihat reaksi Bunga yang cukup lama memandangnya.
“Sudah lama nggak lihat kamu. Sudah nikah, ya?” tanya Tangkai dengan santai.
Kini aku menjadi saksi bisu yang kesekian kalinya, menyaksikan dua insan bertemu dan memori lama mereka terputar kembali dalam ingatan mereka masing-masing. Rona kemerahan perlahan muncul di pipi mereka.
Ditulis oleh Mahmudah Syarifatunnisa, mahasiswi Manajemen FEB 2016.