Sumber Gambar: Website Freepik
Aku Ray.
Mahasiswa yang tinggal di pusat kota yang sangat padat dan sibuk. Di tengah kegiatanku menyelesaikan timbunan tugas, tentunya aku butuh kegiatan yang dapat menolongku dari rasa stres yang sering menggelayuti kepala. Dulu aku sama seperti orang kebanyakan, tidak peduli bahkan tidak percaya dengan makhluk gaib. Namun, akhir-akhir ini, aku mencoba untuk berkumpul dengan orang-orang yang percaya ‘hal-hal’ seperti itu. Meskipun tidak turut percaya, rupanya cerita-cerita itu mampu mengurangi beban di kepala.
Mendengar cerita mereka membuatku dapat melupakan dunia nyata sejenak. Belum lagi mereka juga terkadang pergi ke tempat yang mereka anggap horor untuk mencari keberadaan makhluk gaib. Aku pernah ikut tur yang dilakukan di akhir pekan dengan mendatangi tempat-tempat tak terurus yang mereka anggap angker di malam hari. Hasilnya, aku tidak melihat atau merasakan apapun. Tempat yang mereka anggap angker itu hanya sekadar tempat yang sudah lama tidak ditinggali.
Setelah tur kala itu, aku jadi jarang berkumpul dengan mereka. Bukan bosan, tugas-tugasku yang semakin menggila. Aku tidak menyangka semakin bertambah semester, maka semakin bertambah juga tumpukan tugas yang harus dikerjakan. Bagiku, lebih horor mengejar deadline dibandingkan hantu-hantu yang berkeliaran di luar sana, jika ada. Jadi, aku lebih sering menghabiskan waktuku untuk mengerjakan tugas di indekos ataupun di perpustakaan tua yang gedungnya diimpit bangunan-bangunan toko terkenal. Mungkin itu juga yang jadi alasan perpustakaan ini jarang dilirik. Mereka memiliki lebih banyak waktu untuk mengejar diskon di toko terkenal dibandingkan harus masuk ke sebuah perpustakan tua.
Dan terpaksa aku jujur, perpustakaan ini memang sangat tidak menarik, baik luar dan dalamnya. Di dalam kamu hanya dapat menemukan arsipan penelitian dan juga buku-buku referensi belajar setebal 500 halaman. Huh, melihatnya saja sudah membuatku enggan membaca. Jaringan WiFi dari toko besar yang sangat mulus lah yang menjadi alasan terbesarku betah mengerjakan tugas di perpustakaan itu. Ditambah jaraknya yang dekat dari kosku.
Dengan kondisinya yang terkesan berbeda dengan peradaban saat ini, membuat sebagian orang meyakini kalau tempat penuh buku ini adalah ‘perpustakaan hantu.’ Tentunya informasi itu kuketahui dari komunitas pecinta horor yang kuikuti. Di antara mereka bahkan bersaksi pernah melihat ‘perempuan kaki buntung’ yang sedang duduk di bagian rak paling atas. Huh, jujur sekali ingin rasanya aku mengatakan bahwa aku yang selalu datang ke perpustakaan itu setiap hari tidak sekalipun menemukan hal berbau mistis. Jika sampai ada perempuan yang bertengger di rak buku, pasti sudah diusir habis-habisan oleh penjaga perpustakaan galak itu. Meskipun begitu, aku mencoba mencari hal apa yang membuat perpustakaan itu terkesan horor selain karena suasananya yang sepi dan bau kayu yang khas.
“Kau akhir-akhir ini banyak memperhatikan lorong di pojok itu ya, Ray.”
Aku sedikit terkejut dengan suara lembut yang tiba-tiba muncul di sampingku. Bukan, itu bukan suara makhluk halus atau semacamnya. Dia Vanila. Sama sepertiku, dia pengunjung setia perpustakaan ini bahkan dia yang lebih dulu. Kita berkenalan setelah beberapa hari aku rutin ke perpustakaan ini dan selalu ada dia.
“Hahaha mungkin perasaanmu saja,” ucapku.
“Apakah kau percaya jika di perpustakaan ini ada hantunya?” tanya Vanila.
Jujur saja aku terkejut dengan pertanyaan itu. Kebetulan sekali bukan? Aku sedang mencari tahu.
“Emm tentu saja tidak. Perpustakaan ini selalu ramai bukan? Mana ada makhluk seperti itu.” Tapi aku lebih memilih untuk tidak buka suara tentang rasa penasaranku itu.
“Hahaha kau benar. Di era modern ini mana ada hantu,” celoteh Vanila.
“Tapi kau tahu tidak? Lorong yang kau perhatikan tadi, terdapat lukisan tua di pojoknya. Aku sempat bertemu dengan kumpulan orang menyebalkan yang mengatakan bahwa penunggu lukisan itu adalah hantu perempuan buntung. Tega sekali mereka menyebutku perempuan buntung. Syukurnya penjaga perpustakaan yang galak itu langsung mengusir mereka karena terlalu berisik.”
Aku menebak pasti yang datang itu adalah komunitas pencinta horor yang ku ikuti. Tapi ku rasa mereka tidak pernah membahas tentang lukisan.
“Oh ya? Aku baru tau kalau ada lukisan di pojok itu,” ucapku ragu. Vanila menoleh, kemudian tersenyum miring.
“Ada. Kau bisa memeriksanya nanti,” ucap Vanila. Aku hanya mengangguk polos. Ya, nanti saja lebih baik aku menyelesaikan tugasku ini.
Namun, entah kenapa aku jadi penasaran dengan lukisan yang dimaksud Vanila. Aku pernah sekali melewati lorong pojok itu dan aku tidak memperhatikan keberadaan lukisan yang dimaksudnya. Perlahan aku bergerak dari dudukku dan berjalan pelan menuju lorong itu. Aku melewati beberapa orang yang fokus membaca buku. Kemudian, aku berjalan sambil memperhatikan dinding lorong mencari lukisan. Tepat di pojok akhir lorong, aku menemukan lukisan dengan wajah perempuan yang tersenyum di sana. Sesaat aku terpaku melihat lukisan itu.
Aku berbalik dan berjalan dengan cepat. Sudah ku bilang bukan, aku tidak pernah percaya atau menemukan hal-hal mistis yang dipercayai oleh teman-temanku di komunitas pecinta horor. Tapi melihat lukisan di pojok itu, berhasil membuatku merinding takut untuk pertama kalinya. Aku langsung mengemasi seluruh barang-barangku dan cepat-cepat keluar dari perpustakaan.
Saat aku keluar dari perpustakaan, hari sudah gelap. Ah ini sudah biasa. Aku memang selalu lupa waktu kalau sedang mengerjakan tugas di perpustakaan itu. Aku iseng kembali melihat ke arah perpustakaan tua itu. Deg! Kenapa suasananya menjadi seakan-akan perpustakaan itu telah tutup. Di tengah kebingunganku, aku merasa ada tangan yang menepuk pundakku. Aku menoleh cepat.
“Hey Ray, sedang apa kau di sini malam-malam. Mau uji nyali?” huh, ternyata dia Brian, orang yang menceritakan kisah horor tentang perpustakaan ini.
“Tidak. Aku baru saja keluar dari perpustakaan,” ucapku sambil menunjuk perpustakaan tua yang penampakannya masih sama, gelap tanpa penerangan seakan sudah tutup, “ada apa?” lanjutku.
Sambil memelankan suaranya Brian berkata, ”Kau tahu Ray, Perpustakaan itu selalu tutup ketika pukul 5 sore dan penjaganya yang galak itu selalu mengunci pintunya. Bagaimana bisa kau masuk atau keluar di jam segini dari perpustakaan itu?” Brian menghentikan perkataannya dan berdeham, “jangan bilang kau sedang mengalami hal mistis?” tanyanya.
Tentunya aku terkejut bukan main. Kali ini aku menuju ke arah pintu masuk dan dari sana semakin jelas bahwa suasana perpustakaan itu gelap tanpa adanya penerangan. Aku meraih gagang pintu dan mencoba membukanya. Dan tentunya, terkunci.
“Bagaimana? Kau percaya sekarang?” ucap Brian.
Aku terdiam. Akhirnya, aku merubah semua pendapatku tentang dunia yang tidak terlihat itu.
“Kau tahu Brian. Penunggu perpustakaan yang kau ceritakan beberapa waktu lalu, nampaknya dia tidak suka kau sebut buntung.”
Selesai.
Cerpen ini ditulis oleh Siti Mu'ayyadah, mahasiswi Program Studi Sastra Inggris FIB 2022