Kedua orang ini sedang berada di pelataran penginapan. Keduanya acuh pada keraimaian sekitar, hanya menatap langit.
Nisfu : “Malam ini rembulan berpancar bulat penuh. Apa yang ada dalam pikirmu, Dek?”
Laila : “Entah, Mas. Aku hanya menikmati masa-masa ini. Rembulannya seperti tertawa pada kita yang lama tak bersua. Engkau masih ingat pertemuan terakhir kita, kan? Nah itulah. Dia tertawa sekarang. Berapa kali dia bersaksi atas percakapan kita di tengah malam seperti gabungan nama kita. Kita bersautan sajak hingga malaikat berganti giliran mencatat amalan. Kalau kita tak pamit sembahyang malam, maka subuh pun kita tabrak. Sedang apa yang ada di benakmu, Mas?”
Nisfu: “Ini jam berapa? Oh, belum juga tengah malam. Tak jauh beda, Dek. Tapi aku sedang melihat bintang sekarang. Mereka bertabur menemani rembulan. Sama seperti dirimu yang menemaniku tiap malam. Ketika kita sama-sama menyesap kopi dari kejauhan dipisahkan jarak dan zona waktu, kita tak peduli. Masing-masing menghadapi perkamen masing-masing yang berisi materi beda. Tapi toh rindu kita sama, bukan?”
Laila : “Mas, bagaimana dengan pertemuan kita sebelum ini?”
Nisfu : “Kita sama-sama tak ingat pertemuan pertama kita. Iya, ingat dalam acara itu, tapi kita berdua sungguh tak mengenal satu sama lain. Ini adalah pertemuan ketiga. Pertemuan kedua kita, ah, tak sanggup logikaku, Dek. Pertemuan kedua menyerocos aku tentang galauku waktu itu. Dirimu diam terpekur mendengarkan, wajahmu datar. Satu kalimat saja: Mas, aku nggak menyangka, ada ya cerita kayak kamu, kukira Cuma di FTV atau Film. Waktu itu aku geli. Memang kenapa?”
Laila : “Seperti yang kau katakan beberapa hari setelah kita memulai percakapan serius kita waktu itu Mas. Ini semua maktub. Tertulis. Aku dan kau sama-sama tak paham. Percakapan kita menjadi serius bahkan tak lebih lama daripada kau menyesap habis kopimu waktu itu. Ingatkah? Waktu itu engkau sedang membaca The Alchemist, engkau langsung bilang: ini maktub, destiny, takdir, Dek. Yah, bacaanmu waktu itu pas sekali, menerangkan tentang misteri ilahi bernama takdir. Masih ingat, bukan?”
Nisfu : “Tak bisa lupa aku, Dek. Waktu itu juga, kita mengalami takikardi. Hitunglah punyaku, pasti di atas seratus. Bagaimana tidak? Cepatnya minta ampun. Bagaimana satu komentar, dilanjutkan satu pertanyaan serius satu sama lain, dan tiba-tiba saja kita sudah saling rindu. Aku ingat esoknya engkau meminta aku saran tentang blog, padahal engkau sedang sibuk sekali. Tak mungkin juga dirimu akan membuat saat itu juga. Kau hanya mencari alasan supaya ada topik berbicara denganku, bukan? Ah, aku tak sepolos itu, Dek.”
Laila tersenyum, kemudian dia berdiri dan masuk ke dalam bangunan.
Nisfu : “Dek… mau ke mana?”
Laila : “Aku masih ingat permintaanmu pagi itu, dirimu meminta kopi buatanku bukan. Aku berencana membuat secangkir, masih berminat?”
Nisfu : “Jangan secangkir, tolong. Dua. Satu untukmu. Aku tak ingin menikmati syahdunya malam hanya disaksikan satu cangkir.”
Laila tersipu. dia meneruskan langkahnya, Nisfu tak mengalihkan pandangnya hingga punggung Laila menghilang ditelan bangunan. Tak lama, Laila membawa dua cangkir dengan asapnya yang masih mengepul.
Laila : “Kesukaanmu kopi pahit, sedikit gulanya, iya ‘kan?”
Nisfu : “Engkau masih ingat saja aku mengurangi gula.”
Laila : “Daku masih ingat, pada tiap jengkal percakapan kita, meski hanya aksara.”
Profil Penulis:
Alif Bareizy
Fakultas Kedokteran Unmul 2013