KITA selalu suka saat hujan turun. Apalagi saat merdu suara musik kesukaan kita menelusuri telinga. Berdua kita habiskan waktu menuju senja, di ruang tengah rumahmu, sambil mengerjakan tugas sekolah. Aku suka hujan, tapi aku benci kamu. Karena kamu selalu hinggap di kepala, bermain-main dengan nalarku. Kadang tugasku hanya selesai separuh karena terlalu banyak melihat wajahmu. Sehingga aku selalu jalan jongkok esok harinya.
Kita selalu suka puding cokelat buatan ibumu. Apalagi ada susu hangat yang menemani kita menjawab soal aljabar atau membuat ringkasan tentang pahlawan yang dilupakan rakyatnya sendiri. Aku suka puding cokelat dan tetap benci kamu. Karena kamu selalu mengoreksi jawaban matematikaku, yang mana aku tidak peduli hasilnya. Otakmu memang secantik parasmu, tapi jeleknya kamu sering ngambek.
“Maaf ya, tadi pulpenmu hilang lagi.”
“Ih, kok bisa sih?Aku baru beli kemarin tau. Ganti!”
“Yaelah, pulpen doang. Ikhlaskan ajalah.Ya?”
“Gak mau! Nggak usah tegur aku lagi!”
“Eh, malah pergi. Rin! Erin! Yaelah…”
Salah satu hal yang kusuka dari kamu adalah kenyataan bahwa kamu gak bisa ngambek selamanya. Sejauh ini, paling cepat dua hari dan rekor terlama itu seminggu. Kamu selalu mencari alasan untuk menegurku duluan. Entah apapun salahku, kamu selalu memaafkan.
“Mar, sudah belajar buat ujian?” tanyamu suatu waktu di lorong kelas.
“Loh, kok bisa negur?” tanyaku dengan senyum dalam hati.
“Bisa dong, kan punya mulut, hehe”
“Bukannya dua hari lalu kamu bilang nggak mau ditegur?”
“Tapi nggak bilang nggak mau negur kamu kan? Lagi pula itu cuma pulpen,”
“…”
Mukaku datar.
Yah, kamu memang spesial, seperti nasi goreng. Hal yang paling kubenci di cerita kita adalah ketika kita sudah hampir tiba di gerbang akhir perjalanan kita sebagai pelajar SMA, Ujian Nasional. Kita terlalu sibuk dengan buku, semua waktu habis hingga minggu. Belajar terlalu banyak membuatku mabuk. Seharusnya sisa waktu yang ada kita habiskan berdua. Tapi perjalanan kita masih teramat panjang, bahkan aku rasa kita bahkan belum melangkah. Kita belum bisa mengukir cita-cita bersama, bahkan aku yakin kita belum pernah membayangkannya sama sekali. Sama seperti yang kamu maksudkan di pos satpam depan gerbang sekolah usai Ujian Praktik Biologi waktu itu.
“Hujannya awet nih, kita nggak bisa pulang jadinya.” Matamu mencoba menelisik langit yang berwarna seperti debu.
“Ya. Tapi kenapa kita harus berteduh di sini sih?” tanyaku agak nyinyir.
“Bukan kenapa-kenapa, aku cuma mau kita punya tempat untuk berdua. Lagi pula selama tiga bulan terakhir kita nggak pernah punya waktu seperti ini.”
Kamu tersenyum menatap hujan yang jauh jatuhnya. Aku takjub sejenak, kupandang wajahmu yang mulai terasa asing.
“Mungkin kita sudah nggak bisa ketemu lagi…”
Kamu bilang sesuatu yang seharusnya sudah bisa aku duga. Aku diam.
"Kita bakal punya hidup kita masing-masing setelah ini…”
Suaramu makin parau. Aku yakin matamu berair walaupun aku tidak mentapnya.
"Jakarta itu jauh…” Kini tanganmu mencoba memainkan tirai hujan yang menjuntai dari atap. Aku hanya bisa menatap noda lumpur di sepatuku.
“Rin, aku..”
“Makasih Mar, selama tiga tahun terakhir kamu sudah jadi sahabat terbaikku.”
Aku terdiam, mataku menelusuri wajahmu yang sudah sembap dibasahi air yang bukan air hujan. Dan senyummu yang bahkan tetap manis saat kamu menangis membuat detak nadiku berhenti sepersekian detik. Lalu kita berdua kembali memandang cuaca, terdiam seribu dua ratus bahasa. Keberadaan kita mungkin memecahkan rekor dunia dalam rangka suasana tersepi sedunia.
“Jadi, kapan kamu berangkat, err.. Rin?” Aku memecah sunyi.
“Besok pagi, Mar.” Jawaban singkatmu itu membuatku tak mau lagi menjadi pemecah sunyi. Tanganku sama seperti tanganmu, memainkan tirai hujan, hanya saja aku mencoba menggenggamnya.
Kamu pulang dengan jemputanmu tanpa ada kata, hanya senyum tipis yang menyapu sisa-sisa hujan, yang ku anggap kata perpisahan. Aku bahkan terlalu pengecut untuk mengucapkan selamat tinggal. Bahkan selama tiga tahun aku menyimpan rahasia darimu, aku sayang kamu.
Belasan tahun sudah berlalu dan selama itu pula kita tidak saling mengontak. Mungkin wajahmu tidak berubah sama seperti fotomu yang selalu kusimpan di dompetku. Mungkin hanya ada corak yang biasa kita sebut keriput. Hanya itu satu-satunya fotomu yang aku punya, hanya itulah yang bisa aku gunakan untuk mengingatmu yang entah ada dimana sekarang.
Istriku selalu bertanya-tanya mengapa aku tak mencoba mencari nomor teleponmu. Selalu kujawab bahwa itu tidak perlu, dia puas dengan jawabanku itu. Padahal alasanku sebenarnya bahwa aku takut mendengar suara anak-anakmu di seberang ruangan, aku takut kalau aku merusak apa yang kau bangun dengan seseorang yang bukan aku. Biarlah aku mengenangmu melalui monolog-monolog di kepalaku, biarlah aku membayar kepengecutanku bertahun-tahun lalu, biarlah hujan tetap turun membawa kisah yang bisa ku dongengkan kepada anakku.Dan sekarang, Aku masih suka bila hujan turun dan tetap benci kamu, karena kamu buat rindu.
Ditulis oleh Mochammad Fernanda Fadhila, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP 2016