Mbah Karso seharusnya pantas, apabila ia menerima penghargaan sebagai wakar kampus paling profesional. Selama ini, tidak pernah aku menemukan wakar yang selain rela berdiam dan menjaga kampus sendirian, tapi juga tetap selalu tersenyum di pagi hari, kalau para mahasiswa mulai datang.
Fakultas Ilmu Budaya memang tidak besar. Luas daerahnya tak lebih dari separuh fakultas-fakultas Unmul yang lain. Fakultas seni yang masih menyandang gelar rintisan ini, memiliki barang-barang yang di dalamnya bisa dikatakan buka bungkus. Komputer-komputer dosen, alat-alat ajar, sampai ke kursi-kursi kuliah pun, semuanya masih lumayan laku mahal kalau dijual ulang.
Belum lagi, alat-alat musik tradisional mahasiswa Etnomusikologi yang masih mulus-mulus. Barang etnik berharga mahal yang kalau sampai ada maling yang berani mencuri, bisa jadi si maling akan tiba-tiba jadi jutawan mendadak dan bikin banyak minimarket. Semoga dia tidak mencalonkan diri jadi presiden. Amiinn!
Satu-satunya jangkar penyelamat itu semua adalah mbah Karso. Dia yang bertanggung jawab dengan keamanan semua barang yang ada di dalam kampus, hampir 24 jam.
Tak pernah aku melihatnya pulang, walaupun sebenarnya ia punya rumah. Ketika aku datang untuk masuk kuliah jam pertama di pagi hari, dia baru saja selesai menyapu seluruh halaman kampus. Tidak pernah aku tahu, ia mulai menyapu kampus jam berapa. Jangankan aku, cucunya yang juga menjadi teman satu kelasku di kampus, tidak pernah tahu kapan mbah Karso tidur dan bangun.
Karjo sendiri merupakan cucu ke 15 dari mbah Karso. Cucu yang sangat istimewa, karena hanya dia satu-satunya cucu yang sadar akan pentingnya pendidikan, serta pun mampu juga dalam berprestasi.
Cucu mbah Karso yang lain tidak tahu nasibnya bagaimana. Ada yang kerja tambang dan tak pernah pulang. Ada yang jadi TKI tapi tak pernah mengirim kabar, mitosnya sudah tak bernyawa namun ada yang bilang malu pulang karena sudah berbadan ganda. Ada juga cucu mbah Karso yang sangat sukses bernama Karto, atlet sepak bola terkenal yang juga membela timnas Indonesia. Sayangnya, tak pernah ia mengakui keberadaan mbahnya.
Satu-satunya cucu kebanggaan mbah Karso adalah Karjo. Cucu yang sadar pendidikan dan juga akhirnya mampu berkuliah, selain juga berprestasi di luarnya.
Karjo pun menjadi satu-satunya idola semua dosen yang masuk ke kelas Sastra Indonesia kami. Ia berpengetahuan tiga langkah lebih maju dari mahasiswa lainnya. Ketika muncul pertanyaan yang tidak terpecahkan dalam satu mata kuliah ketika berdiskusi, dosen tidak langsung menjawabnya sendiri. Langsung lah mereka meminta Karjo untuk menjawabnya dulu dan dengan lancar pun ia menerangkannya. Tentu saja ia menjawab dengan sangat benar!
Bukan hanya cerdas, Karjo pun termasuk pemilik bakat public speaking nomer wahid di fakultas atau mungkin bahkan universitas. Kakak tingkat yang sudah hampir skripsi dan mengulang satu mata kuliah di kelas kami pun, harus tutup mulut rapat-rapat karena berhasil dibungkam ketika tanding argumen dengan Karjo.
Waktu Karjo mendapatkan kesempatan presentasi, ia akan memanfaatkan semua itu dengan sangat baik, bahkan seperti kami tidak punya celah untuk bertanya, apalagi protes! Ujung-ujungnya, kami akan bertanya hal-hal yang terlampau sepele.
“Apa definisi kata?”
“Apa definisi kalimat?”
“Kenapa titik hitam yang menempel di kulit itu, namanya tahi lalat?” Padahal kami tahu yang Karjo presentasikan saat itu adalah tentang sejarah sastra. Iya! Kami tak cukup pintar!
Sebaliknya, ketika kami yang melakukan presentasi, Karjo akan menghabisi kami dengan berbagai macam pertanyaan. Pertanyaan yang tidak biasa. Selalu dikaitkannya dengan hal-hal kekinian atau bahkan pertanyaan yang seolah berjembatan dari pertanyaan satu ke pertanyaan lain.
Hanya aku satu-satunya orang yang bisa meredam pertanyaan Karjo, itupun karena aku teman dekatnya. Aku memang tidak bodoh, namun juga tidak terlalu pintar, apalagi sampai melampaui Karjo. Kemampuanku sebatas pengetahuan dari sedikit buku yang kubaca. Tapi, ketika aku melakukan presentasi dan memaparkan penjelasan, tidak ada pertanyaan dari Karjo. Ia bungkam, diam, seolah itu tanda bahwa ia tidak ingin menyusahkanku. Walaupun aku tetap ingin ia memperlakukanku sama seperti teman-teman yang lain.
Karjo selalu mendapatkan IP yang sempurna. Angka 4 kerap kali ia peluk. Aku hanya mampu membuntutinya di tempat kedua. Sekitar 0,05 atau 0,10 selisihnya. Wajar kalau universitas bangga padanya.
Sekarang, tak bisa aku membayangkan mbah Karso menahan perih. Senyumnya pagi ini membuatku kembali kagum. Sekali lagi, dia sangat professional dalam pekerjaan.
Kawanku Karjo tewas dua hari yang lalu di kontrakannya dengan mulut berbusa putih. Diperkirakan, ia menenggak racun yang kebetulan ikut tercampur dalam bungkusan keripik singkong yang ada tepat berada di samping ia terbaring kaku. Tidak ada yang tahu pasti, apakah cemilan itu ia beli sendiri atau dari orang lain. Saat Karjo tewas, tidak ada siapa pun selain dia.
Raut wajah mbah Karso sangat palsunisme. Begitu bencinya ia pada sang pelaku, sampai dengan kuat ia berjanji untuk tidak akan pernah memaafkan orang yang telah berani membunuh cucu terbaiknya.
Aku sangat tersindir dengan senyum palsu itu. Kepedihannya benar-benar nyata. Sebagai teman dekat Karjo, mungkin aku tahu sesuatu yang mbah Karso tidak tahu.
Aku baru selesai untuk mata kuliah hari ini. Kulihat mbah Karso sedang duduk di salah satu sudut kampus dengan mata yang memandang tidak jelas. Aku tahu benar, siapa yang sedang mencoba memenuhi pikirannya saat ini.
Kudekati. Kulempar senyum. Sangat ikhlas ia membalas. Kujabat tangannya sembari pelan aku berkata, “Mohon maaf mbah Karso, atas segala apa yang saya perbuat.”
Ditulis oleh: Pandu Pratama Putra, Fakultas Ilmu Budaya, Sastra Indonesia 2014. Penulis buku Jomblo Ngenest (2016)