Lamun

Lamun

HUJAN sering jatuh di sela keramaian kota kusam kami. Rimba beton yang menjulang menantang langit menjadi ciri kota. Kepul asap kendaraan hal yang biasa. Buah tangan yang bisa kau bawa adalah batuk dan asma. Warganya hanya robot-robot pekerja. Bahan bakarnya benda yang biasa kau sebut uang. Tanpa bahan bakar, kota ini mati.

Kami punya tempat makan terenak seantero bumi, Restoran Cepat Saji. Menu utamanya Makanan Daur Ulang, minuman terlarisnya Air Sulingan Got. Anak-anak di kota ini tidak pernah mengganggu tetangga. Mereka tak pernah memecahkan kaca jendela dengan bola, karena mereka jarang terlihat bermain bersama, remaja di sini juga sangat baik, tidak ada lagi tawuran seperti dulu, mereka sekarang hobi pukul-pukulan di dunia maya.

Kami berkomunikasi tanpa ekspresi, kami jarang bersuara. Kotak kecil bercahaya yang mengirimkan pesan yang kami ketik sudah cukup untuk menyampaikan kata. Pemerintah kami sangat baik, mereka mengawasi kami 24 jam melalui kamera pengawas yang mereka pasang di setiap sudut kota. Jadi tak akan ada penjahat yang akan mengganggu kami, tak akan ada pemuda radikal yang berkoar-koar soal keadilan, menurutku itu sampah.

Hujan jatuh lagi hari ini, di minggu ketiga bulan Juni. Badanku terasa lemas sekali, padahal aku sudah tidur satu hari. Ku lihat hujan yang mengalir di jendela. Begitu lambat alirannya hingga membuatku ngantuk lagi. Entah mengapa aku merasa begitu sendirian kali ini.

Suara dari kesunyian bercampur detak-detik jam memecah lamunanku. Aku harus ke dokter segera. Dokter-dokter di kota ini ada di gang-gang kumuh nan sempit, mereka bersembunyi dibalik bayang-bayang setiap gedung pencakar langit.

Jalanan di luar becek, belum lagi busuknya air hujan menyengat hidung. Mobil-mobil lalu-lalang tak peduli genangan air di lubang-lubang jalan. Aku mendekap jas hujan berponcoku erat, takut terciprat lumpur jalanan. Nada yang tak asing kudengar. Suara wanita mekanik membahana ke seluruh penjuru kota.

“BREAKING NEWS: Amerika Serikat memutuskan untuk  tidak menyerah pada Timur Tengah, sementara itu Presiden Rusia kembali mengirim rudal ke Turki. Bom nuklir juga su…” Aku tak mau tahu lebih banyak. Politik selalu menyebalkan. Warga kota ini kebanyakan tak suka politik. Selama mereka bisa kenyang, mereka tenang.

“Mau apa?” suara serak dokter di sudut gang gelap. Wajahnya tak begitu terlihat, tertutup ponco yang ia pakai. Yang jelas bibirnya ungu kehitaman.

“Obat,” jawabku singkat.

“Aku tahu goblok! Obat apa?!” hardiknya dalam desis.

“Alphamin dan Maladorphin,” jawabku lemas. Ia lalu menyerahkan plastik bening kecil berisi banyak pil merah dan hijau, aku segera menyerahkan uangku yang lusuh. Lalu aku pergi dari sana dengan melewati jalan memutar menuju rumah, takut terlihat kamera pengawas. Biasanya polisi datang jika melihat sesuatu dari monitor. Mereka selalu meminta uang kami dengan paksa.

Tengah hari aku baru sampai di apartemenku. Buruh-buruh berpayung  terlihat berjalan bergerombol di bawah, jam istirahat siang sudah tiba. Aku tak pernah melihat mereka berangkat ke pabrik, aku hanya melihat mereka saat siang buta dan malam menjelang waktu mereka pulang. Entah kenapa aku rindu Ibu.

Kamarku kesepian ditinggal beberapa jam, kasur belang-belangku dingin. Aku merebahkan diri, meminum pil merah dan biru itu sekaligus tanpa air. Aku memejamkan mataku. Menunggu waktu.

Aku melihat anai-anai terbang di kepalaku. Berhamburan di warna-warna yang tak tentu. Kulihat pintu, kubuka. Kulihat diriku berbaju SMA, masih muda. Kutengok ke kaca, wajahku beda. Sayup-sayup kudengar suara.

“Kapan kita pulang?” suara itu beradu dengan angin.

“Sabar, ku antar kau pulang,” kataku. Ku tengok ke belakang, aku melihat wajah pacarku. Kami di atas motor sekarang. Ia tersenyum manis. Ia mendekap pinggangku dari belakang. Aku tersenyum, entah mengapa aku merasa rindu.

Aku terbangun di atas aspal. Kepalaku pening. Tadi sekelebat cahaya cepat lewat, mataku buta. Aku pingsan kukira, karena aku melihat langit-langit yang bisa kupastikan adalah langit-langit rumah sakit.

“Sungguh, kukira ia sudah mati. Kondisi pacarnya memprihatinkan.”

“Sayang sekali, hanya dia yang selamat.”

Bisik-bisik dari luar terdengar. Entah suara siapa. Aku hanya yakin pada suara tangis yang kurasa tangisan ibu. Ah, ibuku, entah apa kabarnya. Kupejamkan mata.

“AKU TIDAK PEDULI! KAMU SELINGKUH!”

“BUKAN ITU YANG KITA BAHAS TADI! JANGAN MENGALIHKAN PEMBICARAAN!”

Teriakan ibu dan ayah membangunkanku. Tubuhku terasa ringan. Kulihat tanganku yang seperti anak SD. Aku bersandar pada kepala ranjang. Terus mendengar teriakan dan makian yang tak berkesudahan. Mendengar suara piring pecah, dinding yang dipukul, benda-benda yang dihempas.

PLAK! Ayah menampar ibu lagi. Kasihan ibu.

BRAK! Suara pintu dibanting. Ayah selalu begitu.

Aku menghela napas panjang. Kamarku berubah menjadi padang ilalang. Rasanya tenang karena aku sendirian. Walau sedikit terik, aku tak kepanasan. Aku lihat di kejauhan anak-anak bermain bola di tanah kosong belakang masjid. Tanah kosong yang sekarang sudah menjadi kantor pajak.

Aku buka mata. Kipas angin masih berputar perlahan. Kamar apartemenku berantakan sekali. Aku bangun, kulihat tubuhku di cermin, kurus kering karena jarang makan. Lalu aku duduk di jendela. Kuhisap dalam rokokku. Pening bercampur sesal sesaat. Air mataku mengalir di pipi. Tapi aku yakin wajahku tegar. Beberapa tahun terakhir aku tak pernah merasa hidup, aku hanya menghabiskan waktu yang tersisa untuk detak jantungku. Aku ingin lari dari kota ini. Tapi aku sudah terjerat, aku sudah tenggelam di kota ini. Aku lihat buruh-buruh sudah kembali dari istirahat mereka. Jalanan penuh sesak. Aku angkat kepalaku, aku menatap angin. Badanku merasa tidak nyaman. Aku buka mulutku, kutelan pil itu empat sekaligus. Aku tenggelam dalam neraka warna.

“TIDAAAAK!!!” teriakku dan pacarku. Cahaya lampu truk itu menembus otakku. Aku terhempas jauh. Cairan hangat mengalir dari kepalaku. Kulihat samar tubuh pacarku tergeletak lemah.

BRAK! Bantingan pintu ayah membuatku tersadar. Kulihat ibu tersungkur menangis. Aku dekati dia, Kuusap kepalanya. Aku tak mampu menatap matanya.

Kulihat pusara ibu di hadapanku. Aku menangis meraung-raung memeluk gundukan tanah yang menutup tubuh ibu. Ayah bahkan tak kembali untuk melihat mantan istrinya terakhir kali.

Aku tersentak. Badanku menggigil. Tanganku gemetar. Kulihat kipas anginku masih berputar wajar. Kulihat hujan sudah berhenti. Aku tertawa sekencang-kencangnya. Tak takut orang lain terganggu, toh, nyatanya aku tinggal sendirian di apartemen tua yang bahkan aku tidak tau apakah ada pemiliknya.

Aku masih terkikik-kikik tidak wajar selama beberapa menit. Entah kenapa aku merasa geli. Tangan gemetarku meraba-raba kasur, mencari sisa pil. Kutelan semua pil yang tersisa. Aku lepas menjauhi kota.

Kulihat mayat pacarku di peti mati. Aku menjerit kesetanan. Aku mengutuk semua orang bahkan Tuhan.

“Tenanglah nak! Tenang! Ini bukan hukuman!” kata seorang pendeta.

“JIKA INI BUKAN, LALU APA?!” sambarku. Kuhantam wajahnya. Ia tersungkur. Sekarang seluruh orang mencoba menangkapku, seakan-akan aku binatang buas yang baru lepas. Aku tetap menlengkingkan jerit setan.

Aku terdiam di dalam bis. Polisi bilang mereka akan mengusut lebih dalam kasus pembunuhan seorang buruh pabrik minuman kaleng. Kemarin ibuku ditemukan mati tak wajar di WC pabrik. Ada indikasi bahwa ia diperkosa sebelum dibunuh.

“Dia tak ada harganya!” kata mandor pabrik kemarin. Sudah kuhantam wajahnya jika tanganku tak  segera dihentikan oleh polisi.

“MANDOR PEMBUNUH! MANDOR PEMBUNUH!” teriak rekan-rekan ibuku. Mereka berkumpul di halaman pabrik untuk membela ibuku.

“Para pekerja diharap tenang! Polisi akan mengusut lebih jauh mengenai kasus ini. Mohon tak ada tindakan main hakim sendiri!” ujar seorang polisi menenangkan massa.

“Bapak harus bertindak benar!” kataku pada seorang polisi yang pangkatnya lebih tinggi. “Ibu saya butuh keadilan! Kami butuh keadilan! Tangkap dan adili yang bersalah pak!”

"Tengan saja sodara, kami akan bertindak profesional dalam menangani kasus ini,” kata polisi itu. Sekilas aku melihat tangan kirinya diam-diam memasukkan uang ratusan ribu ke kantong celananya.

Tiba-tiba aku duduk di padang ilalang. Memandang anak-anak bermain bola. Aku tersenyum getir. Aku mengusap keringat di dahi dengan lengan bajuku yang lusuh. Sudah seharian aku berjalan, aku tak juga berhasil mendapatkan pekerjaan. Tak satupun instansi dan perusahaan menerima ijazah SMA-ku. Kutinju tanah kering. Sedihku tiada tara. Dunia seperti menghukumku. Tak bisakah aku bahagia?

Mataku terbelalak. Tubuhku mengejang. Kupegang erat kepalaku. Pusing tak terkira. Atap apartemenku berputar dengan kencang. Aku berteriak keras. Aku mual, ingin muntah. Aku berguling-guling di kasur. Seluruh tubuhku terasa seperti terbakar. Seperti ada yang menyambukku dengan tali api. Aku coba bangkit, ku ambil gelas air di meja. PRANG! Rupanya tanganku tak cukup kuat menggengamnya. Aku terhuyung mundur. BRAK! Kutabrak kursi. SRAK! BRUAK! Aku terjatuh terpeleset kertas.Aku bangkit lagi.Aku panik.Kulihat tubuhku di cermin, tubuh kurus tinggal tulang, mata cekung tak karuan, rambut rontok hampir botak. Kuhantam cermin.

“AAAAAAAKHHH!!” tanganku kananku berdarah, perih. Segera kubongkar lemari, ku ambil tali, kunaiki kursi, ku gantung leherku.

Semua begitu cepat. Di tengah kesadaranku yang masih tersisa, sayup-sayup kudengar suara dari luar jendela:

“BREAKING NEWS: Bom Nuklir yang meledak tadi pagi menewaskan jutaan warga, akibat ledakan yang sangat dahsyat diperkirakan pola musim dan cua..akan ber.. bah.. pa.. ilmu.. an.. su… kr.. sssk… sssss.“

Ditulis oleh Mochammad Fernanda Fadhila, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP 2016