Gadis Selili dan Orang Utan: Bagian 2

Gadis Selili dan Orang Utan: Bagian 2

Sumber Gambar: Tunas Hijau ID

Ide brilian pun semakin menggelayuti benak sang gadis. Satu persatu kelapa itu ia kupasi kulitnya hingga habis tak bersisa, sampai pada akhirnya menyisakan satu buah kelapa yang akan ia eksekusi dalam penyelesaiannya. Walau telapaknya mulai perih dan kasar, ia tetap bersikeras melanjutkannya. 

Jari-jemari lentiknya menganyam kulit-kulit kelapa tadi, kemudian menyulapnya menjadi bentangan tali yang panjang nan kokoh. Hari demi hari, ia tekun menganyam dengan gigih. Untaian itu lambat laun memanjang, hingga julurannya mulai menyentuh tanah, kemudian ia sampirkan di dahan pohon yang dirasa kuat untuk menopang deritanya.

Pagi ini rasanya sedikit berbeda. Saat orang utan mulai melangkah pergi, ia melihat kesempatannya. Ketelitian sang gadis meningkat sangat tajam. Ia memperhatikan setiap derap langkah kaki orang utan. Ketika sudah mulai jauh, dengan cekatan ia memulai aksinya. 

Dengan napas tertahan dan hati berdegup kencang, ia merayap turun, jengkal demi jengkal, tangan dan kakinya mencengkeram erat. Meski beberapa kali hampir meleset karena kehilangan keseimbangan, matanya tetap awas mengamati sekeliling, berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

Akhirnya, kakinya menjejak tanah. Dengan napas tersengal, ia berlari sekuat tenaga, menyusuri hutan yang selama ini menjadi kerangkengnya. Langkahnya semakin cepat, detak jantungnya berpacu liar, seiring jarak yang kian menjauh dari pohon tempat ia terkukung. Bayangan seram dan suara hutan yang mencekam tak lagi menggentarkannya. 

Ia terus berlari tanpa menoleh, menyerahkan arah pada nalurinya yang tajam, sembari waspada terhadap keberadaan orang utan yang mungkin berada di dekatnya.

Ketakutannya tenggelam akan ambisinya. Setelah lama berlari menyusuri hutan yang tiada ujung, bisikan-bisikan untuk menyerah mulai menggelanyuti telinganya. Namun, gangguan itu sirna begitu ia menghirup udara segar dari tepian sungai. Langkahnya terhenti di tepian Sungai Mahakam. 

Keindahan yang terpampang di hadapannya menghidupkan kembali tekad yang sempat redup. Sungai Mahakam seolah menjadi penanda bahwa keajaiban sudah dekat. Dengan semangat yang membuncah, ia terus berteriak memohon pertolongan. Suaranya menggema, memecah kesunyian alam.

Dalam puncak kegelisahannya, secercah harapan seketika muncul dari kejauhan. Sebuah perahu kecil tampak melintas mengikuti arus Sungai Mahakam. Dengan sisa tenaganya, ia berteriak, suaranya menggema di atas riak air Sungai Mahakam. Teriakannya berhasil menarik perhatian pengemudi perahu. 

Tanpa ragu, orang itu membelokkan arah perahunya, mendekatinya dengan cepat. Harapan yang semula hanya angan, kini menjelma nyata. Saat mata mereka bertemu, ia tahu bahwa keajaiban telah tiba. Perahu itu bukan sekadar sarana, melainkan pintu keluar dari kelamnya hutan menuju terang yang telah lama ia dambakan.

Saat perahu hampir mendekat, dari kejauhan, terlihat sosok orang utan cekatan mengejarnya. Ketakutan kembali mendera tubuhnya yang gemetar, namun tekad untuk melarikan diri tetap menguat. Ia langsung melompat ke atas perahu yang mesinnya sudah menyala, dan tak akan membiarkan hidupnya dibuat sengsara kembali oleh bajingan itu.

Namun, saat perahu mulai bergerak menjauh, perasaan aneh tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam hatinya. Ia merasakan kebingungan saat orang utan itu, yang selalu menjadi sumber penderitaannya, kini mengejarnya dengan menggendong sebuah bayi di lengannya.

Gadis itu terperangkap dalam perasaan yang berkecamuk, tak dapat ia pahami. Sekelibat penderitaan yang telah membelenggunya, kembali terputar di benaknya. Ia merasa dilema di antara dambaan kebebasan yang sudah ada di depan mata, dengan kekacauan emosional saat melihat bayi itu.

Perasaan yang tak dapat dijelaskan itu menghentikannya sejenak. Namun, mesin perahu telah dijalankan, membawanya jauh dari hutan yang selama ini menjadi penjara batinnya. Dengan itu, Tuhan seakan memberi petunjuk, sudah saatnya melepas belenggu, menuju kebebasan yang selama ini ia impikan. Perahu semakin menjauh, membawanya jauh meninggalkan segalanya yang ada di hutan.

Sepanjang perjalanan, gadis itu terdiam, bingung dengan segala yang terjadi, hatinya campur aduk. Di atas perahu yang membawanya, ia melamun, menatap pemandangan yang sudah lama tak dilihatnya. Kini, bukan lagi hutan lebat yang mengelilinginya, bukan lagi pandangan dari atas pohon. Semua terasa asing dan jauh dari apa yang ia kenal.

Akhirnya, perahu itu merapat di sebuah desa di Samarinda Seberang, Desa Mangkupalas, destinasi yang menjadi titik kebebasannya. Pengemudi perahu segera membopong gadis itu menuju desa dan meneriakkan permohonan pertolongan. 

Penduduk desa yang terkejut langsung membawanya ke rumah kepala desa. Kepala desa pun langsung menghubungi keluarga gadis itu di Selili untuk mengabari kembalinya sang anak.

Cerpen ini ditulis oleh Nurul Wahdini, mahasiswi Program Studi Sastra Inggris FIB Unmul 2023, berdasarkan hasil wawancara bersama warga daerah Samarinda Seberang, Agus Ahmad Fauzi