DI KOTA itu tertib, agamis, mandiri, aman, dan nyaman adalah moto. Dipampang dengan huruf besar di bawah senyum wali kota dan wakilnya. Di atas median jalan yang memisahkan dua arus lalu-lintas dekat Plaza Taman. Papan reklame di tengah kota.
Tak jauh dari situ, berdiri Rumah Sakit Amelia dekat simpang empat jalan. Melewati lampu merah, belok ke kanan. Lalu beberapa ke kiri dan ke kanan lagi sebelum sampai di tujuan.
Seorang perempuan menyambutnya di teras rumah. Senyumnya mengembang, ada “Selamat Datang” yang ia tangkap pada lengkung bibirnya, meski tersirat. Barangkali senyum wali kota dan wakilnya sama maknanya. “Selamat Datang”. Sehingga tak heran kota itu dipenuhi para pendatang. Segera perempuan itu mengajaknya masuk ke dalam rumah.
“Ayo masuk,” bujuknya.
***
Perempuan bernasab Bugis itu hadir dalam hidupnya pada sebuah acara konser yang megah pada suatu malam. Jantungnya berdebar-debar ketika tatapan mereka beradu.
Kau kenal dia? Jarinya menunjuk perempuan itu.
“Kenal.”
Siapa namanya? Ia kembali bertanya.
“Ina,” Sahabatnya menyahut. “Ina Mariana. Mau kukenalkan?” Ia mengangguk.
Sejak malam itu ia percaya ada cinta sejati, dan ia yakin telah menemukannya. Lalu keberanian itu datang setelah kencan mereka yang ketiga. Ia mengatakan “I love you,” sembari menekuk lutut di hadapannya, dan… ditolak.
Atas saran sahabatnya ia lantas menegak Topi Miring. Katanya, obat sakit hati yang mujarab adalah teler. Ia memang dungu.
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu…
Di rumah, lagu itu didengarnya berulang-ulang sambil mewek. Karena tiga tahun setia dalam penantian yang menjemukan, ia pikir, sia-sia juga ujungnya. Tapi seperti halnya semua kenangan, pada akhirnya, ya begitulah…
***
DI KOTA itu ia tak datang untuk kembali patah hati. Ia sekedar meminum Batavia Coffee sembari membaca Rich Dad Poor Dad di sebuah kafe, menikmati waktu senggang yang jarang ia miliki. Ia punya sepekan, semacam bonus sebelum tenggelam lagi pada pekerjaannya begitu kembali ke Samarinda.
Tiga cangkir kopi telah tandas dan sepanjang itu ia hanya membaca. Tidak ada yang istimewa hingga telepon genggamnya menjerit-jerit di atas meja.
+6285250486471 tertera di layar ponselnya. Nomor baru gumamnya.
“Halo,” ia menjawab.
“Hei, kudengar kau ada di kota ini?” Suara perempuan.
“Ini siapa?” ia bertanya.
“Kau lupa denganku?” sahutnya, “Sudah kuduga.”
Perempuan itu lantas menyebut nama, disertai sedikit masa lalu tentang mereka, dan semua segera menjadi jelas.
“Dari mana kau tahu aku ada di kota ini?”
“Aku lihat dari beranda Facebook. Statusmu, kau katakan akan pulang dan seminggu akan liburan, begitu.”
“Bagaimana kalau itu bohong?”
“Aku yakin kau tidak berbohong.”
Ia tidak menyanggah, takut membuatnya tersinggung. Toh, dia memang benar, ia sekarang ada di kota ini. Untuk berlibur, awalnya...
“Aku ingin kita bertemu. Kau masih ingat letak rumahku?”
“Masih.”
“Datanglah. Esok aku tunggu!”
“Baik.”
Telepon ditutup. Jantungnya berdebar-debar.
***
DI KOTA itu ia memang tak datang untuk kembali patah hati. Kedatangannya semata atas permintaan sahabatnya yang hendak menikah.
“Kau bisa datang kan, Bro?” bujuk sahabatnya ditelepon tempo hari. “Ayolah!”
Maka ia pun berada di kota ini. Kembali mendengar lagu “keramat” itu berulang-ulang di hotel tempat ia menginap.
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu…
Entah kenapa lagu itu sukses membuatnya melankolis. Jantungnya masih berdebar-debar. Ia telepon sahabatnya, hendak meminta saran:
“Sobat, apa yang harus aku lakukan?”
“Aku tidak tahu,” jawab sahabatnya, “Sekarang mabuk-mabukan tidak zamannya.
“Lebih baik kau tidur saja, Bro.”
Dan ia menuruti nasehat sahabatnya.
***
“KAU tahu, aku sudah menunggu-nunggu pertemuan ini.” Dia angkat bicara setelah lelaki itu menaruh cangkir kopinya kembali di atas meja.
“Maaf, aku tidak tahu.”
“Tak apa,” sahutnya. “Sekarang kan kau sudah tahu.”
Pandang beradu pandang. Sepasang mata itu masih bersinar seperti dulu. Sepasang mata milik bidadari. Yang ia cintai begitu dalam. Pada sepasang mata itulah pertama kali ia menemukan cinta, sekaligus luka akibat mengatakannya.
“Sejak malam itu aku mencari-carimu.”
“Mencariku?” telisik lelaki itu.
Huruf-huruf tersusun menjadi kata, lalu kalimat, kemudian paragraf, dan menjadi sebuah cerita. Malam itu dia ingin bilang, “Aku juga merasakan hal yang sama denganmu”. Tapi kata-kata itu justru tertahan dalam tenggorokannya.
“Aku ingin mengujimu, tapi kau justru pergi. Teleponmu tidak pernah aktif. Aku ke rumahmu, tapi di sana tidak ada siapa-siapa, dan Facebook baru menjangkaumu setelah kau benar-benar jauh. Aku merasa bersalah…”
“Kumohon lupakan itu.” Ia segera memotong. “Aku datang bukan untuk bicara soal masa lalu. Tapi alasanmu kenapa memintaku ke mari?”
Sembari tersenyum tangannya menyodorkan sebuah undangan. “Sebab aku ingin memastikan kau hadir.”
Keningnya berkerut membaca dua nama pada undangan itu. Pernikahanku, sambungnya, acaranya seminggu lagi.
*Penulis Fitra Wahyuliansyah, Fakultas Ilmu Budaya 2012