Sumber Gambar: Website Pixabay
Hai Awan …
Apa kabarmu di atas sana? Kulihat kau melayang dan berjalan ke manapun angin membawamu. Hari ini entah lukisan apalagi yang ingin kau perlihatkan kepada dunia. Aku mohon izin untuk meminta bantuanmu untuk menjaga cerita tentang dia yang membuatku melihatmu dengan pandangan yang berbeda.
Dulu hingga saat ini aku selalu takjub dengan matahari yang tidak pernah lelah untuk bersinar. Entah ketika dia baru memulai hari timbul di ufuk timur sana, atau ketika menjulang di atas kepala dengan ditemani oleh birunya cakrawala, atau pada saat dia tertutup awan tebal nan hitam yang siap memulai tangisannya, atau saat dia mulai turun dari takhtanya berganti dengan gelap malam.
Aku selalu berdiam sebentar menikmati momen-momen itu. Dan untungnya, di desa ini, rumahku berada di atas bukit. Jadi, aku bisa leluasa memandangnya selama yang ku bisa tanpa terhalang oleh apapun.
Ada momen lain yang aku suka. Momen yang singgah kepadaku saat desaku berada di penghujung musim kemarau. Biasanya seluruh warga kampung akan bergotong royong membantu salah satu tetangga untuk menabur benih padi gunung hingga sore hari.
Kami semua bekerja hingga petang. Di saat itulah momen yang kukatakan tiba. Aku akan naik ke bagian bukit yang lebih tinggi hingga aku bisa memandang matahari yang menguning menyiram semesta. Di momen itu lah dia, Awan, mengenalkanku dengan keindahanmu.
“Kamu tahu tidak apa yang membuat matahari terbenam di penghujung kemarau semakin indah?”
Aku masih ingat suaranya kala itu. Ketika aku sibuk menikmati matahari yang semakin turun, dia duduk di sampingku melontarkan pertanyaan itu. Anehnya belum sempat aku berucap, dia langsung menjawab pertanyaannya itu sendiri.
“Karena mentari ditemani oleh kawanan awan. Coba perhatikan, awan-awan kelabu itu berubah menguning tertimpa cahayanya. Ukirannya membuat semesta begitu indah dan luar biasa.”
Itu pertama kalinya kami berkenalan. Aku belum pernah menemukan orang yang menyukai awan seperti dia. Momen itu membuat penghujung musim kemarau yang kulalui terasa spesial sekali.
Hari ini juga, awan. Setelah sibuk membantu menebar benih seharian, kusempatkan tuk melangkah dengan riang menaiki bukit di belakang ladang. Beberapa saat menyusuri padang ilalang, akhirnya aku sampai di daerah tertingginya. Dari sini terlihat dari bawah sana anak kecil berlarian atau para warga yang berkumpul dan berbincang santai melepas penat setelah bekerja seharian.
Aku tersenyum melihat pemandangan di bawah sana. Beberapa bulan lagi ladang itu akan menjadi hamparan hijau tak terbatas. Kemudian aku mengalihkan pandanganku ke atas dan aku sedikit menyipitkan mata karena silaunya matahari. Cantik sekali warna jingganya.
Andai saja dia ada di sini, pasti dia sudah heboh menunjuk-nunjuk lukisan yang dibuat olehmu itu. Tak ada benda di langit yang membuatnya terkagum-kagum sebesar dia mengagumi putih-kelabu-jinggamu yang kini berarak memenuhi cakrawala. Lihatlah, kau yang kelabu itu menjadi penanda musim hujan sudah membuka gerbangnya.
Dia bukan hanya memperkenalkan kamu di saat itu saja, awan. Kau tahu? Pagi itu setelah hujan mengguyur deras di malam pertama musim penghujan, aku membuka jendela kamarku. Dari kejauhan sana, kulihat sinar matahari yang muncul malu-malu karena tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan hitam yang tersisa.
“Hey! Coba dongakkan kepalamu!”
Aku tersenyum mengingat teriakan dia dari atas sepedanya kala itu. Dia melihatku dari arah jalan yang tepat berada di bawah bukit dimana rumahku berada. Setengah keluar dari jendela aku mendongakkan kepalaku ke atas. Aku masih ingat pemandangan kala itu, matahari pagi menyembur mewarnai gumpalan besar awan kelabu yang menjadi atap bumi pagi ini. Lagi-lagi dia menunjukan lukisan semesta yang sangat indah.
“Kamu cantik sekali pagi ini, rasanya seperti melihat awan merah muda.”
Ah… suaranya lagi-lagi terngiang dan membuatku tersenyum mengingat kata-katanya saat menghampirinya pagi itu. Dulu kuanggap itu hanyalah lelucon belaka. Namun kalau dipikirkan lagi, leluconnya itu membuatku tersipu malu hingga muncul rona merah muda di pipiku. Waktu itu aku belum tahu jatuh cinta itu apa tapi menyenangkan bisa mendengar suaranya.
Awan…
Kepingan kenangan itu kadang menghantuiku. Jika ada yang bertanya apakah aku merasa terganggu, kurasa tidak. Dalam diam aku berharap itu semua dapat kembali kepadaku. Namun apa daya semua hanya masa lalu. Aku harus bergerak maju. Toh jika memang suatu saat kita bertemu, kita tidak memiliki penyesalan. Kita sama-sama berjuang di jalan masing-masing. Satu yang masih menjadi pertanyaanku. Apakah jika kita bertemu lagi kita masih akan saling mengenal?
Haha. Rasanya tawaku hambar sekali. Sepertinya aku terlalu banyak berharap. Mungkin itu saja yang bisa kuceritakan padamu, awan. Dalam kertas putih ini bisakah kau menyampaikan kepadanya jika nanti dia datang lagi? Aku akan menggantungnya di dalam plastik di atas pohon ini agar tanganmu sampai untuk menjaganya dan tangismu tidak akan menghancurkannya.
Salam hangat dariku, Mentari.
***
Awan menepati penjagaannya.
Musim dan tahun berganti. Kertas titipan Mentari masih terpasang erat di tangkai pohon yang kian meninggi. Sang empu kini tak lagi akan pernah menghampiri bukit itu. Sebagai gantinya, petang itu, terlihat dari kejauhan seorang pemuda menerobos ilalang yang tinggi. Niat hatinya hanya ingin mengenang kembali tempat dimana dirinya pernah menemukan gadis yang tengah duduk menikmati senja di penghujung kemarau.
Entah karena tak sengaja atau memang semesta telah mengaturnya, pandangannya tertuju pada gulungan putih di atas pohon yang terbungkus dengan plastik bening. Diliputi rasa penasaran, dengan susah payah dia mengambil bungkusan itu. Ketika berhasil mengambilnya, pemuda itu langsung membuka gulungannya dan membacanya perlahan.
Tanpa dia sadari ada tetesan air mata yang terjun dari kelopak matanya saat dia sadar sedang tersenyum membaca isi kertas itu. Dia tentu saja mengenali siapa penulis surat yang ditujukan kepadanya itu. Dia adalah Mentari, perempuan yang mampu menarik perhatiannya untuk membagikan makna-makna keindahan awan di atas sana. Sayang sekali, Mentari tak lagi bisa menikmati semesta ini bersamanya. Atau mungkin telah menikmati surga yang lebih indah di atas sana, pikir pemuda itu.
“Awan, surat ini telah sampai, terima kasih,” ucap pemuda itu sembari menatap arakan awan putih di atas sana yang pergi seakan memberi tanda bahwa tugasnya telah selesai.
Dia yang namanya Awan kini bergegas menuruni bukit. Semoga memang tidak ada penyesalan di antara mereka.
Cerpen ini ditulis oleh Siti Mu'ayyadah, mahasiswi program studi Sastra Inggris, FIB Unmul 2022