Teater Pranadipa Gelar Pementasan Naskah Orang Asing

Teater Pranadipa Gelar Pementasan Naskah Orang Asing

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

SKETSA - Mengakhiri semester ganjil tahun ini Prodi Sastra Indonesia (Sasindo) A 2019 FIB melaksanakan pementasan teater. Bertempat di Aula Gedung FIB, Teater Pranadipa berhasil tampil dengan apik pada Rabu malam (15/12). Mengangkat naskah “Orang Asing” karya Rupert Brook, saduran D. Djakusuma, kemudian diadaptasi oleh Halem dan Kadek selaku sutradara pada pementasan tersebut. 

Sebelum menginjakan kaki di aula pementasan, terlihat photobooth sederhana dihiasi polaroid dengan disoroti lampu yang bergonta-ganti warna. Photobooth ini sengaja disediakan panitia sebagai sarana penonton mengabadikan momen. Setelah itu penonton akan diajak menyusuri lorong-lorong sunyi gedung FIB hingga sampai di aula. Dengan berlapiskam kain hitam, dinding tersebut menciptakan kesan lorong yang mencekam. Kendati hanya sejumlah lampu plafon menemani sebagai penerang jalan, hal ini justru menambah kesan murni sebuah pementasan teater.

Sesampainya di aula, mata terasa buta akan kegelapan, hampir tidak ada objek untuk digapai. Hanya ada lampu senter ponsel yang menjadi sumber cahaya di aula, selain itu terlihat samar bayang properti pementasan begitu besar dan putih, seperti sebuah rumah dengan ditemani pohon tanpa daun. Dingin AC di dalam ruangan itu juga membuat penonton yang duduk lesehan di atas karpet bergidik menggosokkan bahu mereka. Hanya ada suara bisik obrolan yang mengisi suasana di aula tersebut.

Hingga pementasan dimulai, acara diawali dengan pembukaan dua orang pembawa acara. Masih dengan suasana kegelapan, kedua prantacara itu hanya disoroti lampu putih terang. Setelah pembukaan, acara berlanjut ke sesi doa bersama serta sambutan-sambutan. Baik sambutan yang berasal dari ketua produksi, maupun dosen-dosen FIB yang turut hadir dalam pementasan itu. Hingga bagian seremonial berakhir, pementasan teaterpun akhirnya dimulai.

Teater kala itu menyajikan cerita tentang seorang lelaki muda kaya yang tersesat di sebuah hutan. Beruntung mendapat tempat menginap di sebuah kontrakan kayu milik keluarga miskin yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang gadis. Tergiur dengan kekayaan si orang asing. Keluarga miskin ini berencana untuk membunuhnya, namun sang ayah ternyata tidak seberani itu untuk melakukannya. Keadaan memaksa si gadis yang perkasa untuk melakukan pembunuhan itu.

Belakangan terungkap, bahwa si orang asing ternyata adalah anak dari keluarga tersebut yang telah menghilang bertahun-tahun sebelumnya, dia ingin menghadirkan kejutan bagi keluarga itu dengan kemunculannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Si anak hilang telah dibunuh adik perempuannya sendiri. Kini hanya menyisakan kepedihan, sebuah jam tangan mewah, dan koper berisikan uang banyak.

Gemuruh penonton menandai usainya pementasan teater “Orang Asing”. Naskah yang dibawakan ini diungkapkan Nur Halimah selaku sutradara dan astrada Teater Pranadipa, ia terinspirasi dari rekannya yang memiliki pengalaman dan memberikan referensi terkait naskah tersebut. Kemudian mendiskusikan  pada anggotanya, hingga mencapai kesepakatan.

“Biar enggak telalu mirip (naskahnya) biar gak dianggap imitasi, jadi kami sekaligus ngadaptasi ke kultur Samarinda. Dan kita mengangkat isu-isu pandemi,” ucap Nur Halimah selaku sutradara dan astrada teater, Rabu (15/12).

Halem sebutan akrabnya, menghela nafas dan berterus-terang tentang berbagai kesulitan yang dialami selama proses persiapan pementasan. Meski berlapis masker tapi mata perempuan berambut cepak itu memberikan keyakinan bahwa menurutnya, semua ini dapat diselesaikan dengan kebersamaan, kesimbangan, baik secara pemikiran, emosi dan juga solidaritas.

Dirinya turut tegas menyatakan dalam teater tidak hanya berisikan satu orang, sehingga dalam menyatukan pemikiran butuh usaha yang lebih besar. Tidak sampai di situ, kekhawatiran terkait kadar kualitasnya sebagai sutradara dalam mengatur pementasan juga menambah beban pikirannya.

“Kalo kita benar-benar berkesenian, benar-benar berteater itu bakal banyak kena mental lah istilahnya. Misalnya sutradara melihat aktornya (itu) dialognya salah atau misal intonasinya ganti. Tiba-tiba ganti nanti aktornya kesal bisa-bisa dilempar sendal, gitu.”

Meski pementasan telah selesai, ia mengelus dada dan merasa belum puas dengan hasil yang ada. Ia meyakini, masih ada potensi aktor untuk mendalami peran hingga mencapai emosi yang diinginkan. Di akhir, dirinya berharap semua elemen yang terlibat dapat memahami proses dalam teater.

“Kalo harapannya, tidak bakal ada orang yang meremehkan teater, secara garis besarnya (seperti) itu,” tutupnya. 

Pementasan ini seharusnya dilaksanakan pada Selasa (14/12) lalu, namun  pemadaman listrik yang terjadi pada hari itu, memaksa Teater Pranadipa menunda pementasan hingga esok harinya. Hal ini tentu berdampak pada seluruh elemen, Devi Safitri selaku penonton mengungkapkan kemaklumannya atas kejadian tersebut.

“Perihal blackout itu emang nggak ada yang bisa tahu, tapi seharusnya mereka mempersiapkan lagi kemungkinan terburuknya. Dan kalo saya sendiri mewajarkan blackout ini ngga ada yang bisa duga,” jelas Devi pada awak Sketsa, Rabu (15/12).

Meskipun pementasan harus ditunda, Devi tersenyum dan menatap panggung pementasan seraya mengapresiasi acara tersebut sebagai sebuah pencapaian, karena telah berani mementaskan teater dengan maksimal. Dirinya juga mencoba memejamkan mata dan mengingat kembali adegan favoritnya, bagian itu yang ia rasa mendapatkan emosi dari para pemain.

“Saya paling suka scene-scene ending sih, lebih suka bagian situ kalau mereka yang bawakan karena baru berasa di situ feel-nya” tutur Devi pada awak Sketsa, Rabu (15/12).

Devi berharap hal ini menjadi pengalaman asyik untuk para pementas teater. Dirinya juga menambahkan semua orang penting untuk melihat kesenian teater secara mendalam, sehingga menyadarkan bahwa teater tidak hanya soal pementasan. Namun, di balik pementasan juga ada peran krusial lain yang perlu diketahui.

Pementasan dari Teater Prandipa tentunya dianggap sukses dari berbagai kalangan, namun orang perlu tahu proses yang terjadi di balik layar. Khoirun Nisa yang menjadi pimpinan produksi pun menuliskan via pesan Whatsapp apa saja yang terjadi selama mereka berproses. Kamis (16/12), ia menceritakan bahwa pihak kampus tidak memberikan anggaran sedikit pun, proses pencarian dana mau tak mau harus mereka lakukan secara mandiri. 

“Dana yang terkumpul itu dari berbagai sumber. Pertama dari denda harian dan uang kas mingguan, kemudian proposal dan juga pendanaan. Jadi ada tim pendanaan yang menjual beberapa menu makanan dan minuman,” tulis Nisa melalui pesan Whatsapp, Kamis (16/12).

Dengan sulitnya proses pencarian dana, Nisa dan tim teater lainnya perlu memutar otak untuk mendapatkan dana dari manapun. Bahkan penjualan tiket yang tak seberapa, hanya bisa  menutup anggaran mereka saja. Kendati sedari awal mereka sepakat tidak akan mengambil keuntungan dari pementasan, dan semata-mata demi kepentingan akademik.

Terlepas sulitnya mencari dana, pedihnya proses lain yang mereka lewati turut diungkapkan oleh Nisa. Baik dari pengerjaan artristik dan juga aktor yang menurutnya membutuhkan waktu panjang dalam persiapannya.

“Keterbatasan waktu juga agak bikin kelabakan, karena banyak yang dikejar dan kita sambil kuliah dan banyak tugas seperti biasa. Belum lagi susah cari alat-alatnya, harus pinjem ke sana kemari.”

“Ditambah kita masih awal banget berproses di teater, jadi ibaratnya kita buta dalam proses. Tapi kita niatkan belajar, dan jadi pementasan kemarin meski dengan segala kekurangannya," tutupnya. (vyn/nkh)