SKETSA - Hakikat orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek) sebenarnya sangat sederhana yakni bertujuan untuk mengenalkan kampus kepada mahasiswa baru. Tidak ada yang mesti direpotkan. Namun, dalam praktiknya di kampus-kampus acap kali itu menjadi rumit dan berisi tendensi yang serius. Tak terkecuali di Unmul.
Saat ini Fakultas Hukum (FH) tengah disorot karena dua kegiatan Masa Penyambutan Mahasiswa Baru (MPMB) dan Latihan Kepemimpinan (LK). Muncul dugaan dari BEM KM Unmul bahwa dua kegiatan yang terlaksana itu mengandung unsur perpeloncoan. (Baca: http://sketsaunmul.co/berita-kampus/bahaya-laten-pelonco-di-unmul/baca)
Di lain sisi, Muhammad Rizaldy selaku Presiden BEM Hukum, menolak bahwa kegiatan ospek di kampusnya membawa rasa perpeloncoan. Cara seperti membentak, perintah “cium tanah air”, hingga “tembak bintang” sepenuhnya, tiada lain, ditujukan untuk menguatkan mental mahasiswa Hukum. (Baca: http://sketsaunmul.co/berita-kampus/mpmb-dan-lk-mencetak-mental-baja-atau-biasa-saja/baca)
Yang jadi soal tidak semua maba Hukum ternyata sepercaya itu akan manfaatnya. Beberapa di antaranya merasa MPMB dan LK tidak sedang serius membina karakter, bahkan tercatat 27 maba tidak mengikuti kegiatan tersebut, kemudian berujung larangan organisasi dan berkegiatan di fakultas dan universitas. Ada alasan sentimental yang membuat mereka merasa demikian.
“Masing-masing manusia itu unik dan punya skema sendiri di kepalanya. Selama belasan tahun hidup dia punya pengalaman baik dan buruk. Pengalaman itu yang bisa membuat timbulnya indikasi pemahaman yang berbeda,” kata Wahyu Nhira Utami, seorang psikolog klinis dari RSUD AW Sjahranie, Samarinda.
Tidak semua orang didesain untuk dibentak. Beberapa orang malah sangat benci dengan ucapan nada tinggi. Jika dirunut dari benang merahnya akan tampak pengalaman-pengalaman hidup yang sudah dilalui. Sehingga membentuk sebuah skema berpikir di kepala orang tersebut. Dengan skema itu, kata Nhira, seseorang dapat menentukan apa yang aman dan berbahaya baginya.
Bisa jadi ada orang yang tidak suka dibentak karena sewaktu kecil tingkat keterpaparannya dengan nada tinggi amat intens, sehingga memicu timbulnya pengalaman buruk. Bisa jadi pula, dia tidak menyukai nada tinggi karena jauh berbeda dengan lingkup keluarganya yang santun dan ramah. Barang tentu, jika sudah tahu itu tak cukup baik buat dirinya, ia wajar menolak. Dalam kasus ini, ospek yang sesak akan senggak.
Mental Kuat Dulu atau Optimal Dulu?
Benarkah dengan membentak seseorang selama dua atau tiga hari akan langsung membuat mentalnya jadi kuat? Nhira menyebut, bahwa dalam psikologi pendidikan atau perkembangan karakter itu tidak didapat hanya dalam kurun waktu sehari, seminggu, atau sebulan. Melainkan harus dilakukan secara konsisten.
“Kalau cuma hanya beberapa hari, secara pengetahuan mungkin dia akan paham. Tapi, apakah mentalnya terbentuk? Nanti dulu, itu perlu konsisten, perlu berulang. Dengan cara demikian baru karakter bisa dibentuk,” ujarnya kepada Sketsa.
Ini bisa dilihat dari bagaimana kebiasaan mencium punggung tangan orang tua tercipta. Ajaran ini dilakukan sejak dini, diingatkan dengan cara yang baik dan konstan sehingga nilainya pun diterima. Dalih penguatan mental mestinya dilakukan sepersisten itu juga.
“Pertanyaannya, apakah membangun karakter harus selalu dengan cara dibentak?” ucap alumnus Universitas Gadjah Mada itu.
Alih-alih bermental baja, ospek dengan suguhan nada tinggi juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan diri. Menurut Nhira, saat mahasiswa tidak nyaman dengan perpeloncoan efek yang tercipta bisa macam-macam. Mahasiswa bisa jadi sangat tunduk dengan aturan karena takut atau dia bisa sangat membangkang. Atau mahasiswa itu jadi lebih meraba-raba situasi, saat ada banyak yang kontra dia akan nimbrung, pun ketika ada yang pro dia ikut.
Meski begitu, gelombang perpeloncoan sangat rentan berkembang jadi masalah psikologis. Kampus yang semestinya jadi rumah kedua, malah berubah jadi suaka yang penuh puaka. Niat hati mencari ilmu, rupanya bagai rusa berkunjung ke markas singa.
“Jangan heran nanti anak-anak ini tingkat kepercayaan dirinya akan berkurang. Mestinya, salah satu tujuan ospek agar mahasiswa ini bisa berfungsi optimal,” imbuhnya.
Ospek sebenarnya tak perlu muluk-muluk menguatkan mental, yang penting sehat dulu secara mental. Setidaknya, papar Nhira, ada tiga jenis sehat itu yakni sehat fisik, psikis, dan mudah berinteraksi sosial dengan baik. “Tiga hal ini mestinya yang berusaha dicapai di fakultas mana pun,” tandasnya.
Masa jenjang S1 memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan karakter seseorang. Itu pula dulu yang dirasakan oleh Nhira. Di tahap ini seseorang akan berusaha mencari keoptimalan dirinya, kepercayaan diri, dan perannya di masyarakat. Mestinya, ini lantas yang dijadikan sebagai pondasi dasar. (wal/jdj)