SKETSA - Unmul saat ini telah memberlakukan sistem UKT dengan V (lima) kategori (kecuali prodi Pendidikan Dokter yang memberlakukan VI kategori). Kategori I dan II diarahkan untuk mahasiswa yang kurang mampu. Kategori III untuk mahasiswa dengan ekonomi rata-rata, serta kategori IV dan V untuk mahasiswa tergolong mampu.
Lebih lanjut, Wakil Rektor Bidang Umum, Sumber Daya Manusia dan Keuangan Abdunnur menjelaskan sistem ini menganut subsidi silang. Antar mahasiswa yang kelas ekonomi, layaknya borjuis dan proletar. Sehingga, persentase mahasiswa yang mengisi slot kelompok I dan II (misal 30 persen), mesti imbang dengan slot kelompok IV dan V (harus pula 30 persen), agar subsidi silang benar-benar terimplementasi. Sedang kelompok III masuk sebagai kelompok penengahnya.
Realitanya kini, perencanaan ideal dari sistem UKT tersebut tak terimplementasi baik di beberapa PTN, termasuk Unmul. Diakui Abdunnur, banyak mahasiswa yang kelas ekonominya tergolong berada, justru mengajukan permohonan penurunan biaya UKT. Terlebih, jumlah pengajuan tersebut tidaklah sedikit. Tentu hal ini tidak sinkron dengan niat subsidi silang tersebut.
“Realisasinya yang ada sekarang tidak demikian. Seluruh mahasiswa Unmul yang menerima kelompok IV dan V per semester hanya 5-10 persen. Faktanya, sekarang golongan 1-2 per semester ini (telah) diisi oleh 30 persen mahasiswa aktif sekarang,” bocornya.
Abdunnur memberi perbandingan, antara kebijakan di Unmul dengan perguruan tinggi lain. Seperti PTN di Jawa, yang malah mengeluarkan kebijakan sumbangan pendidikan bagi mahasiswanya.
“Di Unibra (Universitas Brawijaya), mereka memberlakukan sumbangan pendidikan. Dan itu sah-sah saja diberlakukan, karena memang ada aturan yang mengizinkan itu. Minimal Rp 15 sampai Rp 30 juta (per mahasiswa) untuk regular. Kalau di Unmul tidak menerapkan seperti di Unibra, kalau kita berlakukan pun boleh saja. Cuma kita belum mau sampai kesana membebani mahasiswa," bebernya.
Betul saja, dilansir Tribunews.com berita yang terbit dua tahun lalu itu menerangkan, Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan (SPFP) di Unibra bahkan telah disepakati dan dibuatkan Permen-nya oleh Kementerian Keuangan RI. Nominal terendah diampu prodi Sosiologi sebesar Rp 9 juta, dan terbesar pada Pendidikan Kedokteran yang mencapai Rp 232 juta.
Ia pun mencontohkan lagi, di Universitas Airlangga. Universitas asal Jawa Timur ini, menyepakati sumbangan pendidikan, sebesar Rp 500 juta.
"Tapi kita mau seperti itu? Tentu tidak. Terus (dengan keringanan biaya kuliah di Unmul sekarang) mahasiswa protes, mau protes lagi? Padahal, mereka masuk (Unmul-pun) tanpa dibebani uang gedung," ketusnya.
Namun, ternyata Abdunnur keliru, dilansir dari Kompas.com biaya sumbangan bisa mencapai Rp 800 juta. Itu baru biaya masuk, belum kuliah per semester. Dalam pengumuman resmi di situs unair.ac.id, minimal SP3 Fakultas Kedokteran Umum adalah Rp 150 juta. Bisa meningkat sampai Rp 800 juta, lantaran SP3 diterapkan secara dinamis tergantung minat dan tren pendaftar.
Anggaran BOPTN Tak Sama
Pemberian anggaran BOPTN berbeda antar PTN se-Indonesia, baik di kawasan barat maupun timur. Ada beberapa indikator yang menjadi pedoman pemerintah pusat. Pertama, akreditasi institusi. Jika akreditasi menjadi indikator pertama, jelaslah BOPTN akan lebih banyak diserap PTN di kawasan barat yang mayoritas menyandang akreditasi A.
Kedua, jumlah rasio mahasiswa. Semakin banyak mahasiswa yang ditampung, maka semakin banyak pula BOPTN yang didapatkan. Dengan catatan, rasio mahasiswa tidak boleh jomplang dengan jumlah dosen, harus sesuai standar. Ketiga, berdasarkan tata kelola keuangan institusi. Keempat, banyaknya kerjasama institusi dengan pihak ketiga. Dan indikator lainnya.
Unmul yang telah dapatkan akreditasi A, sejak Juli lalu, juga berupaya tingkatkan indikator yang belum maksimal itu. Tentu, agar pendapatan dari BOPTN setiap tahunnya dapat ditingkatkan.
Semisal prestasi tata kelola keuangan, Unmul berhasil mendapat Opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Opini WTP adalah level tertinggi yang disematkan BPK, bagi laporan keuangan yang dianggap telah terapkan prinsip akuntansi secara baik. Artinya, tata kelola keuangan Unmul telah sesuai dengan standar akuntansi pemerintah.
Melacak Komponen-komponen UKT
Selasa siang (21/6/2016), ruang rapat Rektorat lantai III menggelar sebuah meeting. Inisiasi forum mahasiswa yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Mulawarman. Audiensi tersebut terdiri dari mahasiswa, perwakilan rektorat, dan pimpinan dekan lintas kampus se-Unmul. Duduk perkaranya, yakni meminta kejelasan perihal sistem UKT.
Dalam momen itu Abdunnur menyampaikan komponen-komponen apa saja yang dibayar mahasiswa melalui UKT. Komponen unit cost UKT per mahasiswa, per semester itu terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung. Kemudian, disebutkan ada 16 komponen dalam biaya langsung sumber daya manusia.
Mengutip yang dirilis BEM KM 2016, ke-16 komponen tersebut antara lain: Penerimaan mahasiswa, upacara penerimaan mahasiswa, kuliah perdana, orientasi mahasiswa baru, kuliah secara tatap muka, kegiatan praktikum, pengisian KRS, dan kegiatan praktikum. Delapan komponen terakhir adalah: UTS dan UAS, koreksi ujian, KKN regular, pengajuan judul skripsi, pembimbingan skripsi, ujian komprehensif, yudisium, dan terakhir, wisuda.
Itulah ke-16 komponen di dalam UKT yang ditanggung angkatan 2013-2016. Seketika menyeruak, tidak ada satupun komponen UKT menanggung biaya pembuatan jas kuning yang dimiliki mahasiswa Unmul: almamater. Kas Unmul lah yang menanggungnya selama ini.
Selain almamater, ada pula semester pendek, asuransi untuk mahasiswa KKN, dan keamanan kampus yang tidak masuk dalam komponen UKT. Sementara, tahun kemarin asuransi KKN masih dibebankan mahasiswa, dan semester pendek juga berbayar sesuai kebijakan di tiap fakultas. Keamanan kampus yang sama sekali tak masuk dalam komponen UKT, menjadi alasan terbengkalainya beberapa portal keamanan di pintu gerbang Unmul.
Komponen di Luar Pembiayaan UKT
Gelagat kepayahan pihak Unmul menutup selisih BKT dan UKT akhirnya merembet pada sektor-sektor lain, tak terkecuali keamanan kampus. Terbengkalainya, portal keamanan di tiga pintu gerbang menjadi bukti sahih bahwa pihak Unmul benar-benar kepayahan. Unmul pun kini diakui Abdunnur masih terus mencari pihak ketiga untuk membantu pengelolaan keamanan kampus.
“Untuk portal jelas kami masih kesulitan, karena pembiayaannya berada diluar komponen UKT. Kami juga masih kesulitan menemukan pihak yang mau membantu di sektor ini. Kalau mahasiswa tidak mau, apakah kita harus lagi membebankan keamanan kampus melalui UKT?" akunya.
Pihaknya juga tak ingin memberatkan mahasiswa dalam pengelolaan aset semisal sewa gedung. Maka, perihal ini tidak benar-benar dieksplorasi Unmul untuk mengeruk keuntungan maksimal. Kalau kita fokus ke usaha nanti mahasiswa protes lagi, kok semua aset disewakan, kami menggunakan harus bayar biaya sewa, ujarnya menirukan keluhan mahasiswa.
Unmul pun Teriak
"Untuk memenuhi standar minimal saja, kita harus membagi Rp 33 miliar (dari BOPTN) kepada seluruh mahasiswa lintas angkatan yang masih aktif berkuliah. Itu jadi beban kita dari selisih BKT dan UKT yang tidak terpenuhi. Makanya kami bilang sama-sama teriak kita (Unmul)," katanya.
Secara eksplisit Abdunnur, mengapresiasi kinerja BEM di era terdahulu saat menyampaikan aspirasi. Tidak hanya di kancah regional, namun juga di kancah nasional.
Bahkan pernah perwakilan BEM diundang oleh presiden untuk menyampaikan keluhannya. Artinya itu yang harusnya bagus dilakukan. Bersuara jangan di internal (Unmul) saja, melainkan kepada pusat selaku perumus kebijakan. Karena kita (Unmul) sama-sama kesusahan, tandasnya.
Upaya berteriak meminta keadilan lewat forum pimpinan PTN se-Indonesia masif digalakkan oleh jajaran pimpinan Unmul. Namun, tidak solidnya gerakan di tingkat akar civitas akademika, cukup menghambat ritme gerakan mereka.
"Kita sudah berupaya lewat forum se-Indonesia itu, namun kita masih digandul-gandulin sama masalah-masalah di dalam (Unmul) kan? Ya mahasiswa, ya dosen, ya tentang remunerasi lah juga. Kalau saya senyum saja menyikapi ini," simpelnya.
Belum satu frame-nya perjuangan di tingkat atas dan bawah, ditengarai belum majunya nilai Unmul di kancah nasional. Bahkan diakui Abdunnur pula, seorang asesor pernah memberikan pandangannya mengapa Unmul tak maju-maju, meski sudah berdiri lebih dari separuh abad.
Kata asesor itu, alotnya cara berpikir mahasiswa dan dosen jadi faktor, Unmul sulit maju secara kualitas. Mau tak mau, jalan World Class University, pun masih tertutup kabut gelap. (dan/jdj)