Tertolak Seleksi KIP-K, Fadillah: Saya Tidak Menyerah

Tertolak Seleksi KIP-K, Fadillah: Saya Tidak Menyerah

Sumber Gambar: Sari/Sketsa

SKETSA Besaran uang kuliah tunggal (UKT) kerap kali jadi beban bagi sebagian besar mahasiswa. Akhir-akhir ini, aksi tuntutan penurunan biaya UKT masih gencar disuarakan oleh himpunan mahasiswa dan BEM di berbagai fakultas Unmul. Ini disebabkan oleh banyaknya jumlah mahasiswa yang tak mampu membayar UKT akibat terdampak pandemi.

Melansir dari Detik.com, berdasarkan data dari statistik Pendidikan Tingkat Tinggi 2020 Kemendikbud 2020, angka putus kuliah di tahun 2019 menyentuh 7 persen atau setara dengan 608.208 dari jumlah mahasiswa terdaftar sebanyak 8,4 juta orang.

Tingginya biaya pendidikan menjadi salah satu pemicu membludaknya angka putus kuliah. Mengutip dari Muljani A. Nurhadi (2006) dalam jurnal yang berjudul Desentralisasi dan Mahalnya Biaya Pendidikan, dikatakan bahwa tingginya biaya pendidikan di Indonesia salah satunya adalah ketimpangan pendanaan pendidikan di daerah. 

Proses desentralisasi di bidang pendidikan diikuti dengan penyerahan pendanaannya yang disalurkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang besarnya lebih didasarkan atas perimbangan pendapatan dari pertambangan dan kehutanan, jumlah penduduk, dan luas daerah. 

Berdasarkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, hanya sekitar 30 persen dari sekitar 318 kabupaten/kota yang dapat menikmati proporsi DAU per-kapita yang cukup lumayan, sehingga APBDnya dapat membiayai pendidikan di daerahnya dengan baik. Tetapi sisanya, memperoleh pendapatan dari DAU yang terbatas sementara PAD-nya kecil sehingga dana pendidikan yang dapat disediakan melalui APBD sangat terbatas, bahkan sebagian hanya sekadar dapat untuk membiayai gaji guru.  

Untuk meringankan beban tersebut, Presiden RI kemudian memberlakukan program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) bagi mahasiswa yang tidak mampu. Dengan adanya KIP-K, besaran UKT tak lagi dibebankan pada mahasiswa. Meski demikian, program ini tak bisa dinikmati oleh seluruh mahasiswa. Sebab untuk memiliki KIP-K, mahasiswa perlu melalui proses seleksi terlebih dahulu.

Adanya proses seleksi memungkinkan masih terdapat mahasiswa dengan ekonomi menengah ke bawah yang tidak mendapat keringanan untuk membayar biaya UKT. Itulah yang kemudian bermuara pada problematika baru. Tak jarang sebagian mahasiswa yang tak lolos seleksi harus merelakan impiannya untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, sebab sudah dibayang-bayangi kekhawatiran finansial.

Hal inilah yang turut dirasakan oleh Nur Fadillah Riska Rismawan, mahasiswi baru Fakultas Hukum angkatan 2022. Diwawancarai melalui Whatsapp pada Senin (1/8), Fadillah menyebut, ketika dirinya tak dinyatakan lulus KIP-K, ia sempat terpikir untuk tidak melanjutkan pendaftaran. Hal tersebut lantaran ia memperoleh UKT dengan kategori tertinggi, layaknya UKT mahasiswa yang tak mendaftar KIP-K.

“Saya dapat UKT golongan VI dan yang paling tertinggi, yaitu UKT-nya 3,5 juta. Dan menurut saya itu memberatkan."

Meskipun sempat patah semangat dan ingin mengurungkan niatnya untuk melanjutkan tahap registrasi, perjuangan Fadillah untuk dapat diterima di jurusan impiannya melalui jalur SMMPTN, membuat dirinya kembali bertekad untuk tetap melanjutkan proses registrasi dan validasi UKT di hari terakhir proses registrasi.

“Saya usahakan biar bisa bayar UKT di hari terakhir ini. Karena saya merasa rugi, soalnya saya sudah lulus, masa iya saya tidak melanjutkan untuk validasi dan registrasi. Jadi, saya tetap melanjutkan (tahap registrasi), walaupun nantinya saya nggak bisa bayar UKT atau apa, saya akan berusaha mencari beasiswa lainnya,” tutupnya.

Tony Ajis Saputra selaku Ketua Umum Gamadiksi Unmul turut buka suara terkait kasus yang dialami oleh Fadillah. Banyaknya jumlah mahasiswa yang tidak lolos seleksi KIP-K, bebernya, disebabkan pengurangan jumlah kuota untuk universitas dalam beberapa tahun ke belakang.

“Seperti yang kita ketahui, bahwa untuk jalur SMMPTN sendiri jika reguler maka akan masuk ke golongan tertinggi karena itu masuk pada kebijakan murni dari universitas. Mungkin kalau ditanya terkait tanggapan saya selaku ketua Gamadiksi, saya tidak bisa memberikan tanggapan apa-apa karena tim penyeleksi KIP-K maupun UKT itu semua dari birokrat,” tuturnya ketika dihubungi awak Sketsa melalui pesan teks Whatsapp pada Kamis (4/8).

Meskipun demikian, Gamadiksi secara konsisten terus berupaya untuk melakukan mediasi dengan pejabat kampus seperti rektor, untuk menangani kasus tersebut. Tony mengaku, pihaknya tak bisa membantu seluruh mahasiswa yang mengalami kasus serupa, sebab pihaknya tidak memiliki data mahasiswa yang tidak lolos seleksi.

Akan tetapi, pihaknya mengaku terbuka membantu apabila terdapat mahasiswa yang melapor, terlebih jika yang bersangkutan benar-benar membutuhkan.

Ketua Umum Gamadiksi itu juga menuturkan bahwa kasus seperti ini bukan hal yang baru. Kasus yang dialami oleh Fadillah ini, sebutnya, kerap terjadi di fakultas saintek seperti Fakultas Kedokteran dan Fakultas Farmasi.

“Itu karena biasanya fakultas rumpun saintek memiliki UKT yang lebih besar, ditambah beberapa fakultas memiliki SPI untuk jalur SMMPTN,” tutupnya. (sya/amg/dre/nkh)