Beritagar.id
SKETSA – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) resmi disahkan menjadi Undang-Undang pada Selasa (6/12) lalu. Pengesahan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna di Gedung Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Kendati demikian, sejumlah masyarakat menilai KUHP yang telah disahkan masih mengandung sejumlah pasal karet yang multitafsir.
Diwawancarai melalui pesan WhatsApp pada Sabtu (24/12), Sri Murlianti, Dosen Prodi Pembangunan Sosial FISIP Unmul turut mengutarakan pendapatnya. Tuturnya, KUHP merupakan warisan kolonial, yakni produk yang dulunya dibuat untuk memotivasi atau menundukkan suatu bangsa.
“Sesuatu yang sudah susah payah dilawan bangsa Indonesia selama perjuangan revolusi, dihidupkan lagi selama masa kekuasaan Soeharto. Susah payah dilawan di masa reformasi, malah sekarang dihidupkan lagi,” tulis Sri.
Sri turut menyampaikan bahwa adanya gelombang penolakan dari kelompok masyarakat sipil merupakan bukti yang sangat gamblang untuk membungkam sikap kritis dan kontrol rakyat atas kekuasaan.
“Proses pengesahan yang sangat abai terhadap penolakan publik ini jelas mencerminkan kekuasaan yang memihak pada dirinya sendiri, ke depan akan lebih mudah kekuasaan untuk membungkam suara kritis atas nama hukum legal. Ini artinya di lembaga-lembaga tinggi negara juga sistem kontrol tidak jalan, semua berada di bawah eksekutif, bahkan ketika ada penolakan luas, DPR tidak bergeming.”
Awak Sketsa juga berbincang dengan Ikzan Nopardi, Presiden BEM KM Unmul untuk meminta pendapatnya terkait hal tersebut. Ditemui secara langsung pada Kamis (15/12), terangnya BEM KM Unmul turut mengawal perjalanan KUHP sejak 2019 lalu. Hal tersebut menurutnya kerap menuai protes dan aksi mahasiswa secara masif hingga berujung penundaan pengesahan KUHP.
Papar Ikzan, protes dari kalangan mahasiswa bukannya tanpa sebab. Beberapa pasal karet dan multitafsir jadi alasan maraknya gelombang penolakan. Salah satunya pada pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
“Di situkan, ada pasal atau kalimat multitafsir, apakah kritik termasuk penghinaan atau bagian dari bentuk negara demokrasi? Kita ketahui, Indonesia itu menerapkan sistem presidensial, bukan sistem monarki atau kerajaan. Sehingga, ketika sistem presidensial, Presiden itu bukan simbol negara. Maka, kritik itu merupakan hal yang wajar, apalagi di Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi,” tutur Ikzan tegas.
BEM KM Unmul bersama dengan sejumlah BEM universitas lain di Samarinda telah berupaya melakukan aksi penolakan Undang-Undang KUHP di depan Gerbang Unmul beberapa waktu lalu.
“Semangat yang kami tuangkan ke masyarakat adalah bagaimana KUHP ini tidak hanya mengenai, misalnya, ancaman jurnalis atau ancaman terhadap mahasiswa, tapi siapa pun bisa kena, dengan tagline utama ‘Siapa pun Bisa Kena’,” jelas Ikzan.
Menyikapi hal tersebut, Ikzan sangat berharap kepada teman-teman mahasiswa untuk lebih peduli terhadap isu-isu politik. Terkhusus perihal UU KUHP. Baginya, dampak negatif Undang-Undang ini dapat mengecam semangat demokrasi dan reformasi.
“Ayo sama-sama menyuarakan. Entah kalau tidak bisa turun aksi ke jalan, minimal menyuarakan pasal-pasal kontroversial di media sosial. Dengan hal tersebut, kita bisa sadar dan aware bahwa situasi negara kita sedang tidak baik-baik saja,” kunci Ikzan mantap. (sya/kya/dre)