Pembungkaman dan Pembatasan Hak Mahasiswa Unmul dalam Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Sumber Gambar: Instagram BEM FH
Kebebasan berpendapat adalah hak yang dimiliki setiap orang yang telah diatur dalam aturan konstitusi negara kita. Pasal 28 UUD NRI 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Kebebasan yang dijamin oleh negara merupakan bentuk implementasi dari penggunaan sistem demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia.
Penggunaan sistem demokrasi inilah yang seharusnya membuat sebuah kebebasan menjadi independensi bagi setiap orang yang ingin mengkritik pejabat publik atau badan publik. Dalam pasal 19, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (DUHAM) menyatakan pada tanggal 10 Desember 1948 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; menerima dan menyampaikan informasi dan gagasan atau gagasan melalui media apa pun tanpa ada batasan.”
Pasal “kebebasan berpendapat dan berekspresi” dalam DUHAM PBB kemudian “diperkuat” dalam Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 16 Desember 1966, melalui pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Pasal 19 perjanjian itu tertulis sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak mengeluarkan pendapat tanpa campur tangan (dari pihak lain). (2) Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; Hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan gagasan apa pun, tanpa memandang pembatasan, baik secara lisan, tertulis, dalam bentuk cetakan, dalam bentuk karya seni, atau melalui media lain pilihannya.
Dewasa ini kita sering melihat bagaimana penindasan terhadap pembatasan kebebasan berekspresi terlalu berlebihan oleh pejabat publik itu sendiri. Sebagai contoh kasus baru-baru ini bagaimana Badan Eksekutif Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Unmul yang mengkritik Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin yang tiba di kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Pidato yang disampaikan BEM KM Unmul kepada Wakil Presiden RI tersebut adalah untuk mengkritisi hasil kinerjanya yang selama ini lebih bungkam di ruang publik, melihat betapa banyak kebijakan negara saat ini yang tidak berpihak pada rakyat. Kritik yang dilontarkan BEM KM Unmul berupa sarkasme dengan menggunakan ungkapan “patung keraton merdeka” menimbulkan polemik di kalangan masyarakat, mahasiswa, akademisi dan lain-lain. Polemik ini tentu muncul karena KH Ma'ruf amin merupakan salah satu tokoh NU yang cukup dikenal masyarakat. Di kalangan masyarakat saat ini, banyak yang mengomentari postingan tersebut dengan tanggapan negatif terhadap BEM KM karena dianggap melanggar etika, norma, dan tata cara yang beradab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adanya kericuhan yang terjadi di ruang publik saat ini, juga membuat banyak civitas academica atau pejabat kampus yang meminta kepada BEM KM untuk meminta maaf atau menghapus postingan milik BEM KM Unmul itu sendiri. Hal ini juga terlihat pada postingan yang dikeluarkan oleh akun Instagram resmi Unmul yang mengeluarkan siaran pers untuk meminta BEM KM meminta maaf dan menghapus postingan tersebut.
Sikap Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Unmul:
BEM FH Unmul menilai tidak ada kesalahan dalam postingan yang dikeluarkan BEM KM dengan keluarnya kritik berupa sarkasme yang menggunakan ungkapan “patung keraton kemerdekaan” untuk menyambut kehadiran atau kedatangan wakil presiden KH Ma'ruf Amin di Samarinda. Sebab, kritik yang dikeluarkan BEM KM bukan untuk menyerang pribadi KH Ma'ruf Amin sebagai individu, melainkan untuk mengkritisi kinerja KH Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan banyaknya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang tidak pro kepada masyarakat. Misalnya, adanya UU Minerba, UU KPK, Omnibus Law Cipta Kerja, UU MK dan lain-lain, yang tidak ada manfaatnya bagi masyarakat umum kecuali bagi pemilik modal dan berada di lingkungan keraton. Tentu saja.
Bahwa jika ada yang mencoba mengaitkannya dengan basis ulama atau orang lain, BEM FH tidak setuju karena sama saja mengkhianati nilai-nilai demokrasi dengan menggunakan politik identitas yang terus-menerus dijadikan politik praktis. Kita melihat, bahwa yang terjadi pada kritik tersebut adalah atas dasar bagaimana kinerja seorang KH Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Bukan sebagai individu sebagai ulama.
BEM FH juga meminta Unmul menghapus siaran pers yang dikeluarkan untuk mencoba membungkam independensi atau kebebasan akademik mahasiswa di kampus. Hal ini kami anggap bertentangan langsung dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menjamin kebebasan akademik yang diartikan sebagai kebebasan berekspresi, berpendapat, dan perlakuan yang sama di bidang akademik.
Ditulis oleh Dandi Wijaya, Ketua BEM Fakultas Hukum Unmul.