RUU KUHP Picu Kisruh Aturan Hukum Indonesia

RUU KUHP Picu Kisruh Aturan Hukum Indonesia

SKETSA – Beberapa waktu terakhir, media kembali menyoroti hukum di Indonesia. Kali ini mengenai pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (wapres) yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUKHP). Meski masih dalam bentuk rancangan draft, namun adanya pasal ini sudah menuai pro dan kontra.

Ada yang menilai pasal ini akan menjadi “tameng” bagi penguasa untuk dapat melindungi diri, sedang ada juga yang menganggap bahwa pasal ini harus ada. “Jangan kita menjadi sangat liberal, harus tetap ada itu (pasal penghinaan presiden dan wapres), tetapi akan kami soft down (pelaksanaannya),” kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly seperti yang dikutip dari laman kompas.com.

Diketahui pasal ini sebelumnya pernah masuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pasal ini dibatalkan karena bertentangan dengan semangat demokrasi.

Menanggapi ini, Ivan Zairani Lisi, Dosen Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) mengatakan bahwa usulan kebijakan terkait adanya pasal ini sudah lama dicanangkan. Namun, tak kunjung-kunjung mendapat kepastian dan terus menjadi rancangan.

Dikatakan Ivan, KUHP berasal dari peninggalan kolonial Belanda, baik itu aturan, asas, dan juga nilai. Meski begitu, dalam prosesnya akan diubah ke arah nasional, dengan menggali nilai hukum di masyarakat untuk mengkikisi aturan hukum yang tidak sesuai.

“Belanda sudah merubah, sedangkan kita masih mempertahankan. Jadi KUHP ini juga masuk ke dalam kitab hukum pidana yang berlaku untuk daerah jajahan Hindia Belanda. Di situ sudah ada aturan tentang penghinaan terhadap presiden,” terangnya.

Seperti yang tertulis dalam RUKHP dalam Bab II tentang Tindakan Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, pasal 239 mengatakan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambarsehingga terlihat oleh umum, atau mendengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum.

Meski begitu, saat ini penghinaan kadang dianggap sebagai salah satu bentuk ekspresi menyampaikan kritik. Menurut Ivan, jika seseorang bermaksud mengkritik, maka yang dinilai adalah substansi kinerja presiden atau wapres. Sedangkan jika disampaikan dengan cara yang tidak baik ataupun hal lain yang tidak ada kaitannya dengan hal tersebut, maka sebagian besar itu dapat dikategorikan adalah penghinaan. 

“Banyak sekali saat ini anekdot dan gambar-gambar di media sosial saat ini yang merendahkan presiden, secara filosofis orang berekspresi itu harus dibatasi, agar bentuk kritikan itu tidak jatuhnya menjadi negatif (penghinaan),” terangnya.

UU MD3, Kebutuhan atau Kepentingan?

Permasalahan hukum tak hanya satu atau dua, hal kontroversi lainnya ialah tentang revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau disingkat UU MD3. Sama halnya dengan pasal penghinaan presiden, pro dan kontra juga mengiringi adanya revisi UU MD3.

Adanya revisi ini, dinilai akan menjadikan pemangku kekuasaan akan menjadi kebal dan anti terhadap kritik, terlebih terhadap pasal di dalamnya yang memberikan kewenangan atau otoritas kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR.

Banyak suara yang menentang adanya kebijakan ini, salah satunya di Samarinda. Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Pejuang Demokrasi Kaltim (GMPDK) menggelar aksi Senin (26/2) kemarin. Dengan merangkul seluruh mahasiswa di Samarinda, mereka melancarkan titik aksi di Gedung DPRD Kaltim. Mirisnya, aksi yang dilaksanakan ini berakhir tidak kondusif, bahkan terkesan ricuh.

Namun suara lain datang dari Ketua Badan Legislasi DPR Supratman, dilansir melalui laman bbc.com, ia menganggap bahwa pasal ini bukan untuk memberikan batasan atau ruang kepada DPR untuk menjadi anti kritik, namun untuk menjaga martabat negara.

Abdul Hamid, salah satu mahasiswa Fakultas Hukum menilai bahwa dari segi manfaat, sejatinya UU dibuat untuk rakyat. Artinya, jika substansial UU MD3 ridak merugikan masyarakat, maka ia merasa tidak ada yang perlu dipersoalkan. Meski begitu, ia merasa ada beberapa pasal yang terkesan menjadi pelindung bagi oknum di DPR.

“Pasal 122 huruf K, saya pribadi mendukung, untuk menjaga kewibawaan para wakil kita di parlemen, tapi sepanjang mereka menjalankan tugas sesuai SOP, tanpa menutup ruang kebebasan berpendapat dan harus siap menerima kritik dari seluruh elemen tanpa menjadikan pasal sebagai alat untuk membungkam suara masyarakat,” bebernya.

Ia juga menambahkan, bahwa ketika anggota parlemen sedang menjalankan tugas konstitusional, yang bersifat kenegaraan maka mereka mempunyai hak untuk dilindungi dengan pasal 122 huruf K. Namun, tidak jika tugas tersebut di luar tugas kenegaraan.

“Sebagai masyarakat awam, saya menunggu dulu UU MD3 dijalankan, apakah sesuai dengan kebutuhan atau hanya untuk kepentingan segelintir golongan,” ujarnya. (adl/adn/els)