Takut Kena Imbas Polemik UKT, Angkatan Muda Dukung BEM

Takut Kena Imbas Polemik UKT, Angkatan Muda Dukung BEM

SKETSA - Penerapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sejak 4 tahun lalu, memang timbulkan pro-kontra. Mahasiswa 2013, mesti menanggunggnya lebih dulu. Lalu, kekhawatiran akan UKT timbul lagi. Ketika mahasiswa 2013 yang melewati semester 8, dan tak ada kuliah, hanya tersisa tugas akhir pun pendadaran, mesti bayar penuh. Notabene, mahasiswa akhir pun tak sedikit mengeluarkan uangnya di fase akhir ini.  

Merasakan kegelisahan mahasiswa 2013, BEM KM dan BEM pun ambil langkah meringankan beban mereka. Sayangnya, upaya BEM, ditolak dan dikecam rektorat. Beberapa fakultas dikonfirmasi pun jawabannya tak cukup memuaskan mahasiswa 2013.

Persoalan tak habis di situ, jika nantinya BEM gagal mengadvokasi, praktis angkatan selanjutnya, akan mewarisi hal yang sama. Kemungkinan, tak ada penyesuaian bagi mahasiswa akhir yang kesulitan ekonominya.

Seperti Elizabeth, mahasiswa Fakultas Pertanian 2015 ini turut merasakan kekhawatiran. Mengetahui ketidakjelasan permasalah UKT mahasiswa 2013, ia takut hal tersebut menimpa angkatannya.

"Yang ada mahasiswa takut lulus," kata mahasiswi Agroekoteknologi ini.

Apalagi, Elizabeth mendapat UKT golongan 5, besarnya Rp 5 juta yang harus ia bayarkan tiap semesternya. Belum lagi, orang tuanya mesti membayar biaya sekolah sang adik. Tak habis pikir, jika ia sampai melewati semester sembilan, lalu membayar dengan harga rasa kuliah lagi.

Jika memang demikian, ia sadar ia masih berstatus mahasiswi aktif. "Mau tidak mau, bayar," katanya, kepada Sketsa (13/7).

Di sisi lain, Aprilian Kurnia Putra juga keberatan jika mesti membayar penuh di semester akhir. Jelas, ia pun mendukung penuh aksi advokasi BEM KM.

Menurut mahasiswa Sastra Inggris 2016 itu, jika UKT tidak dapat diturunkan, artinya fungsi UKT telah bergeser. Terlihat jelas, penggolongan UKT hanya untuk mengelompokkan mahasiswa mampu dan tidak.

Padahal, pemerintah mengubah kebijakan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) menjadi UKT bukan tanpa alasan, yakni membantu yang kurang mampu. Namun, yang dirasakan Putra ini hanya tipu daya dan terkesan tak adil. Orang tuanya yang hanya sebagai petani harus membayar UKT sebesar Rp 4 juta.

“Universitas negeri, tapi UKT mahasiswa yang kurang mampu sampai golongan 5, apa bedanya dengan swasta,” keluhnya.

Nova Rohmawati, mahasiswa FISIP 2014 berpendapat setidaknya rektorat harus melihat lagi kondisi mahasiswa. Sebab, tidak semua mahasiswa di Unmul tergolong mampu. Ia berharap, rektorat dapat membantu meringankan UKT mahasiswa.

Lain halnya dengan Delya Mentari, merasa tidak khawatir dengan problematika UKT tersebut. Menurut Delya, jika nanti angkatannya tetap dikenakan biaya UKT full  pada semester akhir, itu merupakan bentuk balas budi.

"Kampus sudah beri kita ilmu dan gelar sarjana," kata mahasiswa Hukum itu.

Delya juga mendapat UKT golongan 5, namun besarnya Rp 3 juta per semesternya. Ia tak merasa rugi, jika kelak tetap membayar UKT penuh.

"Walaupun akhir kuliah, kita tetap pakai gedung, waktu dan jasa dosen," imbuhnya. (els/adl/jdj)