Sumber Gambar : Istimewa
SKETSA – Isu kerusakan lingkungan semakin hari kian memprihatinkan dan belakangan ini terdengar semakin jelas. Satu lagi datang dari Kalimantan Timur yang dikenal dengan sumber daya alam melimpah, terutama sumber daya tambang. Hal itu seolah melanggengkan praktik pembangunan dengan narasi besar menyejahterakan rakyat. Padahal, justru masyarakat yang harus menanggung wajah suram lingkungan sekitar.
Seperti yang diungkap dalam Diskusi dan Bedah Laporan “Membunuh Sungai”, hasil kolaborasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam Kaltim), Tani Muda Santan dan Program Studi (Prodi) Pembangunan Sosial Fakultas Unmul kali ini. Berlangsung secara virtual pada Jumat (11/6) kemarin dengan menghadirkan Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kaltim dan Taufik Iskandarsyah, Ketua Tani Muda Santan sebagai penyaji serta Sri Murlianti, dosen Pembangunan Sosial sebagai penanggap.
Jatam Kaltim secara gamblang mengungkap, bagaimana cengkeraman salah satu perusahaan tambang raksasa PT Indominco yang telah beroperasi lebih dari dua dekade. Diduga, mereka telah mencemari air Sungai Palakan dan Sungai Santan hingga menyisakan lubang-lubang tambang berukuran besar yang belum direklamasi.
Dugaan pencemaran sungai tersebut diulas dengan sangat detail, berdasarkan temuan-temuan berupa data dan penelitian investigasi dalam laporan yang berjudul Membunuh Sungai yang diterbitkan Jatam Kaltim pada Kamis (3/6) lalu. (baca : https://www.jatam.org/pt-indominco-membunuh-sungai-di-kaltim/)
Sebelumnya, Rupang mengungkap bahwa 43% luas daratan wilayah Kalimantan Timur sudah dikonversi menjadi pertambangan batu bara. Besarnya aktivitas pertambangan tersebut berdampak besar bagi perubahan bentang alam. Seperti yang ditemukan Jatam, setidaknya terdapat 53 lubang tambang yang ditinggalkan menganga sejak pertama kali beroperasi hingga diperkirakan tahun 2025.
Ia pun mengungkap bahwa hasil aktivitas pertambangan berupa limbah mengalir melalui anak sungai dan menyebar di Sungai Santan. Sungai tersebut memiliki identitas yang sangat kuat dengan masyarakat sekitar. Selain menjadi sumber ekonomi, Sungai Santan adalah jantung kehidupan desa. Di mana airnya digunakan sebagai sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
“Pertambangan yang dilakukan PT Indominco Mandiri telah meninggalkan warisan maut dan meracuni air Sungai Palakan dan Sungai Santan di wilayah Marangkayu, Kukar, Kalimantan Timur. Limbahnya dibuang ke Sungai Palakan dan Sungai Santan. Bukan lagi menurunkan fungsi ekologisnya, tetapi langsung membunuh eksistensi sungai itu sendiri,” ujar Rupang.
Berdasarkan hasil penelusuran lebih lanjut, tim Jatam Kaltim lalu mengambil sampel dari tiga titik. Hasil uji lab menunjukkan, pencemaran yang konsisten dengan beberapa kandungan membuat air sungai menjadi tak layak pakai. Ditambah dengan kondisi air yang secara fisik sangat keruh dengan warna kecokelatan.
“Ini skema yang dianggap sebagai sesuatu yang normal dan masyarakat dibuat beradaptasi dengan situasi yang sebenarnya merusak dan beracun ini,” tambahnya.
Pemaparan Rupang tadi diperkuat oleh Taufik Iskandarsyah yang memaparkan usaha masyarakat yang bergerak dalam menghadapi aktivitas dan dampak pertambangan batu bara PT Indominco Mandiri.
Sebenarnya, pelantangan suara terhadap penolakan sudah lama terjadi. Beberapa kali pada 2015, warga Desa Santan melakukan aksi perlawanan. Di antaranya dilakukan ketika perusahaan berencana melakukan peningkatan produksi dengan pengerukan dan pemindahan sungai yang kemudian berakhir dengan revisi AMDAL oleh PT Indominco Mandiri setelah proses yang cukup panjang.
Selain pencemaran air sungai dan memburuknya kualitas air, Taufik juga mengungkap bahwa semenjak terjadi aktivitas penambangan, intensitas banjir tak dapat dibendung. Kini, banjir semakin meningkat karena hutan yang seharusnya menjadi daerah resapan air telah digunduli untuk aktivitas tambang.
Satu lagi bukti dari pencemaran lingkungan oleh aktivitas pertambangan didapat dari hasil investigasi langsung dengan melihat perbedaan terhadap badan sungai yang dilewati dan tidak dilewati oleh aktivitas pertambangan. Hasilnya, sungai yang tidak dilewati tersebut memiliki kondisi fisik dengan air yang jernih. Sementara, sungai yang dilewati aktivitas pertambangan terlihat sangat keruh. Dibuktikan pula dengan kesaksian empiris dari warga sekitar Sungai Palakan dan Sungai Santan terhadap kerusakan-kerusakan lingkungan lainnya.
“Ternyata dari krisis lingkungan yang terjadi, masyarakat yang harus merasakan semua beban akibat dari krisis lingkungan di Desa Santan,” tutup Taufik.
Diskusi diakhiri oleh Sri Murlianti yang membawa filosofi Michele Faucault di mana pengetahuan itu diproduksi oleh penguasa. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan dominan yang disokong aparatus, institusi dan instrumen.
Berkaitan dengan isu Sungai Santan, warga terus diberi kampanye bahwa air sungai masih bisa dikonsumsi. Tanpa menjelaskan kadar atau ukuran layak konsumsi serta tidak mengungkapkan kandungan-kandungan berbahaya di dalamnya.
Sri mengatakan, kontrol negara sangat lemah dan negara gagal melindungi warga. Mereka baru muncul ketika rakyat sudah berteriak. Selain itu, dia berpesan kepada para akademisi untuk tidak alergi dengan pengetahuan kritis. Sebab ilmu yang didapat seharusnya dapat menggugah ke arah tindakan yang menghidupkan kemanusiaan. (khn/len)