Sumber Gambar: Nindi/Sketsa
SKETSA — Hiruk pikuk manusia kembali padati gelanggang olahraga (GOR) 27 September milik Unmul akhir pekan lalu. Tak kurang dari 1.546 mahasiswa tercatat resmi menjadi alumni, pada gelombang ketiga tahun 2022, Sabtu (24/9) kemarin.
Berdasarkan data yang awak Sketsa peroleh, peserta wisuda didominasi oleh perempuan dengan persentase mencapai 61 persen. Kemudian disusul dengan laki-laki sebanyak 39 persen dari total keseluruhan.
Ini merupakan kali kedua Unmul selenggarakan prosesi wisuda secara luring setelah sebelumnya terkendala pandemi. Format acara yang diusung juga tak jauh berbeda dari gelombang sebelumnya.
Acara dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan serta beberapa agenda pembuka lain seperti pembacaan doa hingga laporan wakil rektor bidang akademik. Setelahnya acara dilanjut ke sesi inti berupa wisuda program diploma, sarjana, profesi, dan pascasarjana. Lalu ditutup dengan sepatah dua patah kata Rektor Unmul, Masjaya.
Senyum sumringah, tak berhenti menyungging dari salah satu wisudawan asal FKIP, Setiya Umar Doni. Meski telah menyelesaikan sidang pendadaran sejak April lalu, ia belum bisa mengikuti wisuda gelombang dua yang terselenggara Juni lalu akibat mengalami kendala administrasi.
“Sebenarnya kalau dari diri saya sendiri sudah siap untuk ikut di gelombang dua. Cuma kendalanya dari pihak administrasi yang dimana PIN atau penomoran ijazah itu tidak keluar karena ada problem di prodi saya,” tutur pria yang kerap disapa Umar tersebut.
Lulusan asal program studi (Prodi) Pendidikan Jasmani ini berhasil memperoleh predikat kelulusan sangat memuaskan. Tak lantas puas dengan pencapaiannya kini, ia menyebut keinginannya melanjutkan jenjang master.
“Saya mantapkan di Manajemen Pendidikan sih, enggak jauh dari pendidikan sebenarnya, masih di Unmul,” angan Umar bersemangat.
Euforia kelulusan tak hanya dirasakan Umar. Kakaknya bahkan sengaja datang dari Kutai Barat sejak Jumat (23/9) khusus untuk merayakan salah satu hari bersejarahnya itu.
Cerita serupa juga datang dari Redeni. Putri sulungnya, Stephani Pratiwi merupakan mahasiswa asal FMIPA Prodi Matematika tahun 2017.
Demi acara hari itu, ia dan istri beserta adik Stephani rela menempuh perjalanan belasan jam dari Kabupaten Berau.
“Saya dari Berau kemarin ke Samarinda naik kendaraan roda empat. Saya berangkat dari jam 5 subuh hari rabu sampainya malam kamis jam 10 malam waktu Samarinda,” kisah Redeni tersenyum ramah.
Meski dirinya antusias menyaksikan putrinya mengenakan pakaian toga, tak dimungkiri rasa bosan dan kantuk turut menghampiri. Terlebih usianya yang tak lagi muda. Namun, Redeni yang kini berprofesi menjadi PNS di salah satu sekolah dasar tersebut dapat mengerti bagaimana lelahnya acara wisuda semacam itu.
“Memang seperti inilah acara wisuda. Kebetulan saya juga pernah seperti ini. Saya (wisuda) di Jakarta, Tangerang Selatan, di Universitas Terbuka. Apalagi (saat) itu sampai 2.500, ya lama sampai jam 4 sore. Ya mungkin memang karena usia sudah tua, jadi mengantuklah namanya menunggu kan,” jelasnya sambil terkekeh.
Lebih lanjut, ia juga menegaskan jika dirinya akan mendukung jika putrinya ingin melanjutkan studi kembali.
“Kalau dia mau lanjut, ya insyaallah saya dukung. Tadi itu bincang-bincangnya dia sudah dapat tawaran bekerja di BPS-nya Berau untuk lapangan, pengambilan data katanya.”
Di kesempatan yang sama, Sketsa juga berkesempatan berbincang bersama Lindayanti Siregar. Ibu dari Putri Dewi Ayu Lubis, mahasiswi asal FISIP Prodi Pembangunan Sosial angkatan 2016.
Sama seperti Redeni, Linda juga tak mau kalah. Meski ia baru bisa berangkat dari Bontang sejak tengah malam sehari sebelum acara, ia turut serta memboyong suami dan ketiga anaknya. Momen sakral putrinya itu diharap dapat memotivasi adik-adik Putri untuk dapat menamatkan studinya di kemudian hari.
“Kami mau membuat bahwa nilai pendidikan atau target yang mau dicapai ke depan biar terpatri gitu di hatinya melihat kakaknya wisuda, melihat momen seperti ini.”
Sayang, maksud baiknya tersebut tak dapat terealisasi. Untuk masuk ke dalam GOR, masing-masing peserta wisuda dibatasi dengan hanya diperbolehkan membawa satu orang sanak saudara.
“Namun, karena memang dibatasin kan, ya, dan juga ketat banget tadi waktu masuknya, jadi enggak bisa itu kita bawa. Adiknya di luar semua tiga orang,” ungkapnya dengan nada kecewa.
Terakhir, Linda yang kini memiliki kesibukan sebagai seorang ibu rumah tangga sekaligus pengusaha itu membeberkan bahwa dirinya tetap senang dapat hadir di acara tersebut.
“Saya pengin melihat anak saya dari jarak dekat dengan sensasi toganya yang dipindah-pindahin itu. Nah, itu membuat capek saya selama beberapa tahun menguliahkan itu terbayar. Saya bisa foto, saya bisa video, saya senang,” kuncinya. (nkh)